Minggu, 17 Januari 2016

Review : Revered Back by Inggrid Sonya



Judul : Revered Back
Harga : Rp 73.800,-
Jumlah Halaman : 418 hal
Genre : Teenlit
Penerbit : Elex Media Computindo

-Membunuh luka? Katanya, memaafkan adalah caranya-

Warning : Review ini bersifat subjektif dan berpotensi spoiler!

Dari mana aku harus mulai? Novel ini sukses bikin aku baper dan histeris sepanjang 418 halaman!
Kalimat demi kalimat yang membangun paragrafnya benar-benar sempurna dan diksinya mahadewa. Outline ceritanya kompleks. Karakternya jempolan. Aku sampai nggak percaya, serius nih penulisnya lebih muda 4 bulan dari aku?! #edisienvy

Dari awal baca aku udah kasian banget sama Jana, sebel kuadrat sama Dimi, dan nggak sabar nunggu kemunculan Cakra. Penulisnya benar-benar mahir menyiratkan tentang cinta bertepuk sebelah tangan, pembacanya jadi berasa baca diary *digeplak Inggrid wkwkwk* berhubung ada banyak yang mau aku bahas, aku bagi jadi 2 poin. Pertama poin-poin yang bikin aku histeris, kedua poin-poin yang bikin aku berkerut kening.

I. Poin-poin yang bikin aku histeris :
1. Lagu All Time Low. Fix, didetik aku baca Cakra muter lagu That Girl di radio sekolah, aku jatuh cinta sama dia. Terus di beberapa halaman kemudian dia nyanyi Bad Enough for You, aku jejeritan! Aku fans mati ATL, bayangin dinyanyiin gitu … panas-dingin! #kode wkwkwk
2. Hal 134 : Cakra bilang dengan polos (yang aku yakin nggak terlalu polos) “Udah. Nggak usah nangis lagi. Tuh, lihat Doraemon-nya udah pelukan sama Nobita.” Hahaha asli di sini antara pengen nyekek sama meluk. Nih cowok di saat-saat nyesek sempet banget ngelawak.
3. Hal 143 : Cakra bilang, “Kalau Bapak emang nggak sayang sama anak Bapak lagi … Bapak bisa kan untuk nggak nyakitin orang yang saya … sayang?” Wahhh semaput aku baca ini. Kalau aku jadi Jana, udah aku geret Cakra ke KUA terdekat! *ditimpuk fans Cakra*
4. Hal 226 : “Mekanisme pertahanan hidup. Itu yang lo lakuin selama ini.” Cakra menoleh, menatap Jana lekat. “Lo bukan monster.” Dan aku cuma bisa nangis sambil bilang makasih. Makasih, Cakra. Kamu ngasih jawaban yang selama satu minggu ini aku cari :’)
5. Hal 307 : Menentukan notasi sel volta. Taruhan era kekinian. Asliiii bikin ngakak guling-guling. Yang bikin lucu karena gurunya bahkan helpless lihat anak muridnya rebutan temen duduk kayak anak TK.

II. Poin-poin yang bikin aku berkerut kening :
1. Penggunaan kata ia dan dia. Dua kata pengganti ini nggak konstan pemakaiannya. Kadang ia, kadang dia. Bahkan ada di satu kalimat nyampur. Ini bukan hal besar, nggak ngaruh ke novelnya juga, tapi aku sebagai pembaca yang rewel agak ganjel bacanya. Semoga novel berikutnya lebih konsisten ya ^_^
2. Penggunaan kata jengah. Ini terlaluuuu banyak diulang. Okelah diksinya memang jempolan, jadi ini bisa tertutupi. Terus ada di beberapa halaman, kata jengah ini kurang cocok buat dipakai. Lebih cocok pakai kata kesal atau sebal. Ini penilaian subjektif aku ya, no offense.
3. Penggunaan kata mendengus. Ini juga sama, banyak diulang. Bahkan ada satu paragraf mendengusnya dua kali. Bukan apa-apa, aku jadi keinget sapi XD maaf, Inggrid~
4. Hal 166 tiba-tiba langit cerah lagi. Padahal di beberapa halaman sebelumnya, dideskripsikan langit kelabu, kayak hatinya Jana. Lalu pindah setting ke rooftop dan simsalabim langitnya cerah lagi. Mungkin bisa smooth perpindahannya kalau dikasih kalimat penjelas semacam langit yang gelap kini mulai cerah lagi karena bla bla bla atau lain-lain.

Terlepas dari poin-poin di atas, aku benar-benar suka novel ini. Aku terserap ke dalamnya. Tersihir sampai nggak bisa berhenti baca sebelum bukunya habis. Ini rekor setelah 3 tahun terakhir aku berhenti baca teenlit. Aku benar-benar suka cara penulisnya merangkai kata. Perkara istirahat aja bisa jadi istimewa. Belum lagi nama-nama karakternya yang ‘segar’ hahaha sesuai seleraku! Sebab-akibatnya jelas, ceritanya juga mengalir lancar. Aku rasa, apa pun yang mau penulisnya sampaikan lewat novel ini sukses tersampaikan. Banyak pembelajaran juga dari novel ini. Dan benar, remaja itu bukan cuma soal sekolah dan cinta. Ada banyak di antara mereka yang punya luka terpendam dan hidup yang gelap. Novel ini secara nggak langsung ngajarin kita buat terus bertahan. Kita nggak sendirian. Setiap yang bernyawa pasti punya masalah, yang bikin dia ngerasa kematian bukan hal buruk lagi, tapi kita nggak bisa nyerah. Karena itulah hidup. Nggak terus tentang sedih, nggak melulu tentang bahagia.

Pokoknya aku suka banget novel ini! <3