Selasa, 31 Desember 2013

Rival In New Year's Eve

Cloudy melangkah memasuki kelas barunya, lalu duduk di bangku dekat pintu tanpa menoleh untuk melihat teman sekelasnya. Ini adalah tahun pertamanya di SMA, namun Cloudy tidak merasa harus mencari teman. Alih-alih mengajak berkenalan orang di belakangnya, ia justru mengeluarkan novel Angels and Demons karya Dan Brown dan selanjutnya tenggelam dalam cerita itu.
            Ares bersiul pelan seraya memutar stik drum di tangannya. Kakinya menjejak mantap seiring dengan langkahnya yang mendekati pintu kelas. Ini adalah tahun pertamanya di SMA, dan Ares sungguh tidak sabar untuk bertemu dengan teman-teman barunya. Ares memandang berkeliling, dan tanpa sengaja menghentikan putaran stik drum di tangannya. Tak ayal stik drum kesayangannya melayang bebas dan mengetuk kepala seorang gadis.
          Sontak suara gaduh yang mengisi ruang kelas lenyap. Setiap pasang mata memandang ke arah bangku deretan depan, dan setengah tidak percaya ketika melihat Ares—siswa terpopuler angkatan tahun ini versi MOS—sedang mengusap kepala seorang gadis tidak dikenal.
        “Lo nggak apa-apa, kan? Maaf ya, gue nggak sengaja.” ucap Ares tulus.
      Cloudy menatap Ares dengan pandangan dingin, lalu menepis tangan Ares dari puncak kepalanya. Tanpa menyahut, Cloudy menunduk dan kembali membaca. Mengabaikan Ares.
        “Gue benar-benar minta maaf. Lo nggak marah, kan?” tanya Ares.
        Kini di sekeliling mereka sudah berkumpul penonton yang didominasi oleh siswa perempuan. Tentu saja mereka sibuk mencari perhatian Ares, namun Ares mengacuhkan mereka dan tetap menunggu dirinya dimaafkan oleh gadis bermata dingin di hadapannya.
         “Ayolah, kita ini teman. Sebagai teman harus saling memaafkan.” lanjut Ares.
         “Gue bukan teman lo dan sampai kapan pun gue nggak akan jadi teman lo.” sahut  Cloudy datar.
        Terang saja sahutan dari Cloudy mendapatkan banyak protes dari penonton. Mereka balas mencela Cloudy dan membela Ares. Namun sekali lagi, Ares mengabaikan mereka.
        “Kenapa lo nggak mau jadi teman gue?” tanya Ares dengan rasa ingin tahu yang murni. Sama sekali tak terdeteksi nada lain yang mengindikasikan bahwa Ares tidak serius.
          Cloudy mendongak, menatap Ares tepat di bola matanya tanpa ekspresi sedikit pun.
      “Karena lo tipe cowok yang nggak punya masa depan. Cuma bisa mengandalkan tampang dan kekayaan orangtua, menganggap sekolah sebagai ajang untuk pamer, dan satu-satunya mata pelajaran terpenting adalah bergaul.” jawab Cloudy tenang.
          Penonton semakin riuh protes, sementara Ares tersenyum mendengar jawaban itu.
          “Jadi menurut lo cowok yang punya masa depan itu seperti apa?” tantang Ares.
         “Yang masuk ke sekolah unggulan tanpa uang sogokan, selalu datang tepat waktu, selalu mengerjakan tugas, nggak nyontek saat ujian, jadi siswa aktif berprestasi, dan bisa jadi pemimpin di kelompok apa pun. Sudah pasti, masuk peringkat satu di kelas adalah kewajiban utama.” jelas Cloudy.
       Ares memudarkan senyumnya, lalu membalas tatapan Cloudy dengan kilat tegas dalam matanya. Dengan nada terkendali yang menekan setiap katanya, Ares membuat Cloudy mematung.
           “Gue akan buktikan kalau gue mampu jadi cowok yang punya masa depan versi lo. Gue bahkan bisa jadi lebih baik dari itu. Saran gue, lo harus siap-siap untuk mengakui gue sebagai teman lo. Dan saat hari itu datang, dengan segala hormat gue meminta lo untuk mengubah pemikiran dangkal lo dalam menilai orang lain. Karena orang yang lo nilai jelek, mungkin akan jadi lebih baik dari lo.” ujar Ares tegas.
         Setelah itu, Ares berjalan menuju bangku deretan belakang dan menyapa teman-temannya. Cloudy mengikuti setiap langkah Ares dengan tatapan datarnya, lalu kembali menunduk dan melanjutkan bacaannya. Sementara Ares menatap Cloudy dengan seulas senyum tipis yang sulit diartikan.

***

          “Pertanyaan terakhir!” seru Pak Kean, guru PKn yang menjadi pembaca pertanyaan di lomba Cerdas Tingkat Satu tahun ini. Beliau sengaja mengulur waktu, membuat suasana semakin menegangkan dan lebih dramatis.
         Setiap tahun SMA Blueshine selalu mengadakan pekan pelajaran di akhir tahun, yang isinya adalah berbagai jenis lomba berbau pelajaran. Hampir seluruh mata pelajaran dilombakan, dan lomba yang paling dinantikan adalah lomba Cerdas Tingkat Satu. Selain karena seluruh siswa diwajibkan berpartisipasi, lomba ini juga sebagai alat pengukur wawasan dan ingatan para siswa. Sudah pasti pemenang dari lomba Cerdas Tingkat Satu adalah siswa tercerdas di SMA Blueshine.
        Tahun ini, dua peserta terakhir yang memperebutkan gelar siswa tercerdas kelas sepuluh adalah Cloudy Navasli dan Ares Pragata. Mereka berdua bersaing ketat hingga babak terakhir, bahkan skor mereka pun sama. Pertanyaan terakhir inilah yang akan menjadi penentu kemenangan untuk siswa tercerdas tahun 2012.
        Ekspresi tegang penuh tekad tergambar jelas di wajah Cloudy. Gadis itu bahkan sudah meletakkan tangan di atas tombol bel. Sementara Ares yang berada di seberangnya, duduk bersandar dengan santai. Cowok itu sungguh tenang dan penuh percaya diri.
            “Akan tumbuh menjadi apakah spora tumbuhan lumut?” tanya Pak Kean lantang.
            Cloudy langsung memencet tombol.
            “Protalium.” jawab Cloudy tegang.
            “Salah! Kesempatan menjawab dilempar pada Ares!” seru Pak Galih, juri jawaban.
            Ares mendekatkan bibirnya pada mikrofon.
            “Protonema.” jawab Ares tenang.
            “Benar!” seru Pak Galih.
            Seluruh penonton yang memenuhi aula bertepuk tangan dan bersorak gembira. Sejak awal mayoritas siswa yang menonton memang mendukung Ares, bahkan beberapa guru juga. Tentu saja hal ini berdasarkan fakta bahwa Ares adalah siswa yang aktif, mempunyai lebih dari satu lusin sifat terpuji, salah satu atlet taekwondo paling berbakat, dan musisi terhebat yang dimiliki SMA Blueshine. Bahkan dia sudah dicalonkan menjadi ketua OSIS untuk tahun ajaran berikutnya.
        Setelah menerima piala, Ares turun dari panggung dan menyambut ucapan selamat dari teman-temannya dengan senyum ceria. Ia tertawa lepas dan membalas setiap ucapan dengan kalimat terima kasih yang tulus.
            Semua orang menyukai Ares. Awalnya karena kelebihan fisiknya, namun semakin lama orang-orang menyadari bahwa Ares sangat cerdas dan rendah hati hingga mampu berteman dengan siapa pun.
Berbeda dengan Cloudy yang nyaris tidak memiliki teman dan selalu sibuk dengan dunianya. Hampir tidak ada yang mengenal Cloudy. Yang mengenalnya hanya guru atau teman sekelasnya, yang kebetulan tahu namanya dari buku absensi.
           “Selamat, Cloud. Permainan lo bagus. Gue senang bisa ketemu lo di final dan belajar banyak dari lo.” kata Ares tulus sambil mengulurkan tangan.
            Cloudy menatap Ares dengan tatapannya yang biasa; datar.
            “Tahun depan, gue nggak akan kalah.” balas Cloudy. Kemudian ia membalikkan tubuh dan berjalan keluar dari aula.
Tepat saat Cloudy melangkah melewati pintu, setetes air mata meluncur menuruni wajahnya. Meninggalkan Ares yang berdiri terpaku di tempatnya.

***
           
            Satu tahun kemudian

            Sorak sorai penonton yang penuh dengan semangat, membahana di aula SMA Blueshine. Lomba Cerdas Tingkat Satu yang memasuki pertanyaan terakhir membuat suasana semakin menegangkan.
           Segalanya hampir sama seperti tahun sebelumnya, namun kini yang membedakan adalah skor mereka yang berselisih satu angka—dengan skor Ares unggul—dan bahwa ini lomba Cerdas Tingkat Satu terakhir yang bisa diikuti oleh Cloudy. Setelah ini, sama sekali tidak akan ada kesempatan untuk Cloudy.
            “Pertanyaan terakhir! Sebutkan manfaat dari tumbuhan lumut!” ucap Pak Kean.
          Ares dan Cloudy sama-sama terdiam. Juri memberi kesempatan sepuluh detik untuk berpikir sebelum melemparnya pada Cloudy, lalu pada Ares.
            “Waktu habis! Sebutkan jawaban Anda, Cloudy Navasli.” seru Pak Galih.
            “Sebagai obat kanker.” jawab Cloudy.
            “Salah! Sebutkan jawaban Anda, Ares Pragata.” kata Pak Galih.
            Seluruh penonton mulai bersiap untuk bertepuk tangan, tahu bahwa jagoan mereka akan kembali memenangkan lomba tahun ini.
            Selama sesaat Ares memandangi Cloudy dengan tatapan lekat, namun gadis itu tetap bergeming. Tak mau menatapnya meski untuk satu detik.
            “Saya tidak tahu.” jawab Ares kemudian.
            Semua orang yang berada di aula membelalakkan mata dan menatap Ares dengan pandangan tidak percaya. Jika Ares salah menjawab, sudah pasti mereka bisa mengerti. Namun Ares justru menjawab tidak tahu. Hal ini menciptakan tanda tanya besar di kepala setiap orang, termasuk Cloudy.
            “Skor akhir untuk Ares Pragata adalah tiga puluh tiga dan Cloudy Navasli tiga puluh dua. Dengan ini, Ares Pragata dinyatakan sebagai pemenang lomba Cerdas Tingkat Satu tahun 2013!” seru Pak Dhoni, kepala sekolah SMA Blueshine.
          Penonton langsung berseru dan bertepuk tangan meriah. Mereka bahkan sudah menciptakan lagu untuk kemenangan Ares. Segera saja aula yang tadinya sunyi senyap kini seakan bergetar karena berbagai jeritan dan siulan.
        Ares menerima piala, lalu turun dari panggung dan menerima ucapan selamat dengan senyum. Beberapa kali ia menganggukkan kepala, namun matanya tetap bergerak mencari seseorang. Setelah menemukan orang itu, Ares segera melangkah meninggalkan teman-temannya yang menatapnya dengan bingung.
            “Cloud, tunggu!” seru Ares seraya menarik tangan Cloudy.
            Gadis itu berbalik, lalu menatap Ares. Tatapan datarnya tetap tidak berubah.
         “Selamat atas kemenangannya. Lo memang hebat dan layak untuk gelar siswa tercerdas.” ucap Cloudy tenang.
           Ares menatap Cloudy tanpa mengendurkan cengkraman tangannya. Tidak terasa sakit, namun Cloudy merasa tidak nyaman. Cloudy tahu tak lama lagi air matanya akan mengalir di wajahnya, dan ia tidak mau menangis di hadapan rivalnya.
            “Gue nggak butuh ucapan selamat dari lo.” sahut Ares.
            Cloudy tersenyum miris. Gadis itu tahu, yang diinginkan Ares adalah pengakuan kekalahannya.
           “Jadi lo mau gue minta maaf dan mengakui ke seluruh penghuni sekolah bahwa gue kalah dari lo yang dulu gue nilai sebagai cowok tanpa masa depan? Atau lo punya permintaan lain yang lebih kreatif dari itu?” tanya Cloudy.
            Hening. Tanpa mereka sadari, aula kini sudah berubah menjadi hening. Bahkan tarikan napas pun dapat terdengar dan bergema di ruangan itu.
            “Cukup, Ares.” bisik Cloudy.
            Ares menahan kalimat di ujung bibirnya, melepas pegangannya pada tangan mungil itu, dan sekali lagi membiarkan gadis bermata sekelam langit malam itu melangkah pergi meninggalkannya.

***

Hamparan sawah dengan perbukitan sebagai latar belakang adalah objek yang paling mendekati kesempurnaan bagi Cloudy, atau setidaknya sebelum sosok Ares Pragata menghantui hidupnya dan membuat segala hal di sekitarnya nampak tidak berarti.
Cloudy menatap hampa pemandangan indah di hadapannya, membiarkan tubuhnya berguncang mengikuti gerakan mobil yang dikemudikan ayahnya melewati jalan berbatu. Waktu menuju pergantian tahun seakan berlari sementara Cloudy hanya berdiam diri. Merenungi nasib; menyesali dua kali kegagalannya mengalahkan Ares dalam lomba itu.
“Cloudy, ayo turun.” ajak Vander—kakak Cloudy—seraya menepuk lengan adiknya.
Cloudy menghela napas, lalu melangkah keluar dari mobil dan langsung berhadapan dengan sebuah danau yang di kelilingi villa unik bernuansa kayu. Udara di sekelilingnya yang sangat sejuk mendukung kilau warna oranye lembut yang tengah menyelimuti langit, seakan mencoba menina-bobokan saraf-saraf yang tegang. Cloudy mengerjap kagum dan memutuskan dalam hati bahwa ia menyukai tempat itu.
Sementara Cloudy membiarkan matanya menjelajahi villa itu, Vander sibuk dengan ponselnya untuk mengetik. Tak lama kemudian ponselnya berbunyi, membuat Cloudy melayangkan pandangan bertanya.
“Ya, gue di Bogor. Nama tempatnya Panjang Jiwo, di kampung Cijulang. Balik ke Jakarta lusa. Lo ikut gabung saja. Orangtua gue pasti nggak keberatan. Gue tunggu ya.” ucap Vander lugas.
            Setelah Vander menurunkan ponsel, ia membalas tatapan adiknya yang lebih muda tiga tahun darinya dengan seulas senyum riang.
            “Kamu ingat cerita tentang teman satu klub taekwondo Kakak itu, kan?” tanya Vander.
            “Ya. Dia lebih muda dari Kakak tapi kemampuannya lebih hebat dan yang membuat Kakak semakin kagum adalah karena dia itu punya cerita hebat yang sayangnya nggak mau Kakak ceritakan ke aku.” jawab Cloudy.
            Vander tertawa dan mengangguk.
            “Nah, dia mau gabung sama kita. Gimana menurut kamu?” balas Vander.
            “Setelah Kakak minta dia untuk datang, Kakak baru tanya pendapat aku. Memang ada gunanya?” sahut Cloudy datar.
            Gadis itu membalikkan tubuh sementara Vander menggeleng pasrah, menyadari sikap dingin adiknya sudah kembali naik ke permukaan. Vander hanya bisa berharap, kedatangan temannya akan mencairkan dinding es dalam diri Clody.
        Namun harapan tetap menjadi harapan, karena beberapa jam kemudian sikap dingin itu justru membalut Cloudy dengan sempurna. Cloudy bahkan tidak bersedia mengucapkan sepatah kata pun selama makan malam berlangsung. Ia hanya diam, mengabaikan setiap pertanyaan paling sederhana sekali pun.
           Setelah menyelesaikan makannya, Cloudy meminta izin untuk pergi ke kamarnya. Kedua orangtuanya hanya mengangguk, tak ingin mengusik kegundahan gadis kecilnya yang sedang beranjak dewasa. Sedangkan Vander menghela napas lelah melihat tingkah polah adiknya yang sungguh tidak bisa dikategorikan sebagai orang ramah.

***

            Cloudy melangkah cepat menuju tangga demi menghindari sosok itu. Cloudy tidak menyangka hantu dalam benaknya bisa mewujudkan diri secara nyata dalam waktu secepat kilat. Cloudy berpikir ia bisa melewati malam tahun baru dengan nyaman dan membosankan seperti biasa, namun kenyataan berkata lain dengan menghadirkan sosok itu; Ares Pragata.
            “Cloud!” panggil Ares lantang.
        Sontak puluhan tatap mata tertuju padanya, namun ia tidak peduli karena bukan gadis yang dipanggilnya yang menoleh. Ia tetap memanggil dengan suara lantang, sementara kedua kakinya berusaha menjajari langkah Cloudy.
            Ketika akhirnya berhasil membuat Cloudy menghentikan langkah, Ares menghela napas lega.
            “Gue harus jawab pertanyaan lo.” ucap Ares.
            “Gue nggak pernah nanya apa pun ke lo.” sahut Cloudy.
           Ares berdecak, lalu mengacak rambutnya dengan gemas. Tanpa kata, ia menarik tangan Cloudy menuju ujung danau tempat berdirinya puluhan lilin. Alih-alih romantis, Ares merasa konsep itu terlalu berkesan menghemat listrik. Atau mungkin dirinya saja yang tidak diberkati jiwa romantis.
        “Apa dua kali kemenangan atas gue belum cukup, Ares? Bagi gue, lo sudah lebih dari cukup membuktikan diri lo. Gue nggak tertarik untuk terlibat dalam hal apa pun lagi bareng lo. Gue sudah merasa cukup. Lebih dari cukup.” kata Cloudy dingin. Meski begitu, kedua tangannya terkepal erat demi menyembunyikan getarannya.
            Ares memandang Cloudy lekat, membiarkan cahaya lilin membuat bayang gelap dari gadis sedingin es di hadapannya. Ares mengagumi Cloudy, bersamaan dengan kesadaran meresahkan bahwa jantungnya tak mau berdetak normal.
            “Bisa dipercepat? Gue nggak punya waktu selamanya cuma buat berdiri di sini dan membiarkan lo meneliti gue seperti artefak di museum.” ucap Cloudy datar. Tetap tanpa menatap Ares.
            Ares menarik napas dalam-dalam, lalu mempersempit jarak dengan tambahan satu langkah. Kedua tangannya menyentuh bahu Cloudy lembut, memaksa gadis itu menatapnya.
            “Satu minggu yang lalu, lo bertanya apa gue punya permintaan lain yang lebih kreatif selain meminta lo untuk minta maaf. Saat itu gue terlalu ragu untuk meminta, tapi setelah berpikir ulang selama ribuan kali, akhirnya gue yakin bahwa cuma ini satu-satunya permintaan yang bisa gue minta ke lo.” sahut Ares serius.
            Cloudy terpaku dalam bayang semu sementara waktu berlalu. Mungkin ia hanya meracau, namun gadis itu yakin bahwa kini mereka membeku. Seakan hanya ada mereka dalam satu frame itu.
“Gue mau lo tersenyum untuk gue, Cloud. Gue mau lo menatap gue dengan lembut, tanpa sinar persaingan. Dan gue mau lo menangis di bahu gue, bukan di balik punggung gue.” ucap Ares sungguh-sungguh.
            “Sejak awal gue nggak berminat jadi anak tercerdas. Gue cuma mau lo bisa lihat gue dan jadi teman gue. Tapi semakin gue jadi orang seperti yang lo bilang akan punya masa depan, lo justru semakin menjauh. Jadi juara umum, atlet taekwondo, musisi hebat, dan ketua OSIS, semua itu gue lakukan supaya gue bisa jadi teman lo. Gue mau jadi teman lo, bukan rival lo.” lanjut Ares lembut.
            Cloudy menggeleng lemah.
            “Lo bohong. Lo cuma kasihan sama gue.” sahut Cloudy.
            Ares tersenyum sendu, membiarkan gadis di hadapannya melihat dirinya apa adanya.
           “Beberapa hari sebelum MOS, kedua orangtua gue meninggal. Mereka pergi dan membiarkan gue melewati masa-masa itu sendiri. Kakak perempuan gue tinggal di Singapura dan dia cuma merasa berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan finansial gue. Apa lo bisa membayangkan seperti apa rasanya? Ketika semua orang menganggap gue sempurna dan memuja gue, gue justru merasa muak dan tersesat. Cuma lo yang menganggap gue normal. Setelah pertemuan konyol kita itu, gue merasa normal. Gue mampu untuk kembali berharap. Setiap harinya setelah hari itu, gue selalu memikirkan lo dan cara-cara yang memungkinkan gue untuk membuat lo melihat gue. Tanpa sadar lo menjadi candu bagi gue. Gue menjadi lebih kuat karena lo, Cloud. Gue mampu melangkah tegak demi lo. Bagi gue, lo adalah harapan, Cloudy Navasli.”
         Cloudy menangis. Ia membiarkan air mata berguguran membasahi wajahnya. Benaknya dipenuhi berbagai gambaran tentang sosok Ares yang berdiri di hadapan makam kedua orangtuanya dan tetap mampu menjalani hidup dengan baik. Ares tidak menyia-nyiakan apa pun. Ares justru mensyukurinya. Sedangkan Cloudy, apa yang dia lakukan selain mementingkan dirinya sendiri?
Kali ini, Cloudy membiarkan Ares memeluknya, menenangkannya dengan sabar dan penuh kelembutan. Sementara Cloudy menyesali seluruh prasangka buruk yang telah ditimbunnya.
            “Terima kasih karena lo mau nangis di bahu gue. Lo tahu? Itu adalah keinginan terbesar gue selama dua tahun belakangan ini.” aku Ares dengan wajah sedikit memerah.
            Cloudy tertawa pelan seraya mengurai pelukannya.
            “Lo itu punya segalanya tapi justru mau gue nangis di bahu lo? Benar-benar konyol.” sahut Cloudy.
           Ares mengangkat bahu acuh tak acuh, sementara bibirnya membentuk sebuah lengkung sempurna yang terlihat manis.
            “Tapi lo tahu, keinginan terbesar gue saat ini adalah menjadi satu-satunya cowok yang selalu ada di samping lo dan jadi tempat bersandar lo. Lo setuju untuk mengabulkan keinginan gue?” tanya Ares penuh harap.
          Cloudy merasa jantungnya berhenti berdetak selama sesaat, kemudian kembali berdetak dengan kecepatan luar biasa cepat. Setelah hening menegangkan yang terasa sangat lama, akhirnya Cloudy tersenyum tipis.
            “Gue akan jawab, tapi bukan sekarang.” jawab Cloudy.
           Ares membalas senyum Cloudy dengan tulus, membiarkan kedua tangannya menangkup wajah cantik di hadapannya.
            “Gue tunggu.” sahut Ares tenang.
Malam itu, diiringi ledakan warna-warni kembang api yang mewarnai langit, Cloudy tertawa lepas bersama keluarganya. Mereka mengingat segala hal yang mengisi tahun 2013 seraya mengharapkan segala hal terbaik untuk tahun 2014.
Cloudy menatap wajah Ares yang dihiasi tawa riang dengan hati mengucap syukur. Pada akhirnya ia benar-benar tahu bahwa Cloudy Navasli hanya memiliki satu jawaban untuk Ares Pragata. Sekarang atau pun nanti, hanya akan ada satu jawaban.
            Dan jawaban itu tentu saja bukan tidak.


Kamis, 19 Desember 2013

Pilihan untuk Pilihan

Pilihan. Satu kata sedehana yang menentukan takdir kehidupan dalam berbagai bidang. Bukan hanya untuk manusia, tapi juga seluruh hal yang eksis di dunia. Pernahkah kalian membayangkannya? Pilihan yang kita buat, akan mempengaruhi orang lain. Pun begitu sebaliknya. Dan seperti segala hal di dunia ini, di mana ada aksi pasti ada reaksi. Sama seperti dengan adanya sebab maka muncul akibat.
            Pembicaraan mengenai pilihan tak memiliki awalan ataupun akhiran. Pilihan yang kita pilih detik ini, akan membawa kita pada pilihan berikutnya. Maka dapat disimpulkan bahwa kalimat “hidup ini pilihan” adalah benar adanya, meski tidak sungguh-sungguh tepat, setidaknya kalimat itu sudah mencangkup banyak definisi dari pilihan.
            Inti dari postingan gue kali ini adalah tentang pilihan ketika kita bertemu seseorang. Yeah, gue sedang dalam mood cloudy, yang kalau ditiup angin sedikit saja langsung menyemburkan hujan. Dan rangkaian paragraf ini adalah buah pemikiran dari kegalauan gue.
            Ketika kita bertemu seseorang, kita mendapat tiga pilihan.
            Pertama, kita dapat mengabaikannya.
            Kedua, kita dapat melihatnya lalu melupakannya.
            Ketiga, kita dapat bertaut padanya. Memberikan perhatian kita, membiarkan kita mengenalnya, hingga sampai pada kesimpulan untuk menyukainya atau tidak.
            Dan gue sudah pernah memilih ketiga pilihan tersebut. Semuanya memiliki risiko yang sepadan, hanya tinggal tergantung bagaimana kita memandangnya. Untuk pilihan pertama, risikonya adalah kita bisa kehilangan satu kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan. Mungkin saja orang yang kita abaikan di dalam angkutan umum, di jalan, atau bahkan di warung—tanpa kita lihat sedikit pun—sebenarnya dapat membawa kebaikan dalam hidup kita.
            Sementara untuk pilihan kedua, kita sudah berani melihatnya, namun kita memilih untuk mengabaikan pada akhirnya. Kenapa? Ada banyak jawaban. Risikonya? Kita bisa menyesal, karena kita sudah melewatkan kesempatan baik atau justru bersyukur karena sudah melewatkan kesempatan buruk. Sekali lagi, tergantung bagaimana kita memandangnya.
            Dan untuk pilihan ketiga, kita sudah melakukan hal besar. Kita memberi kesempatan. Bukan hanya kesempatan untuk mendapat kebaikan, tapi juga keburukan. Misalnya, kita memberi kesempatan pada diri kita untuk mengenal seseorang. Lalu kita memutuskan bahwa kita menyukai orang tersebut. Nah, hanya ada dua kemungkinan dari pilihan itu. Kita akan berakhir bahagia karena orang itu tidak menyia-nyiakan kita atau kita akan berakhir dengan rasa sakit karena orang itu tidak sesuai harapan kita ketika memilihnya.
            Pada dasarnya tidak adalah pilihan baik ataupun buruk. Pilihan hanya menyediakan kemungkinan. Kita yang membuatnya baik dan buruk, karena proses yang kita lalui setelah memilih yang menentukan akhir dari pilihan awal.
            Banyak orang memilih untuk menyalahkan pilihan awal ketika risiko datang menimpa. Padahal mungkin saja kitalah yang melakukan kesalahan dalam prosesnya. Kesulitan utama yang dihadapi manusia ketika memilih adalah tetap berada secara konsisten di jalan pilihannya.
            Karena itu, mungkin hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk menyikapi segala pilihan itu adalah dengan memilih pilihan yang hati kita yakini. Bukan pilihan mana yang lebih baik, karena mungkin saja pilihan yang lebih baik itu sebenarnya kurang baik untuk kita.
Dan satu hal yang gue pegang teguh saat menjalani pilihan adalah gue harus memanfaatkan segala peluang dan memaafkan seluruh risikonya. Hanya dengan itu gue nggak akan berkubang dalam penyesalan, dalam bentuk apa pun.

Hari Kamis yang Mendung, 19-12-13
Dag-dig-dug menunggu rapor

Sambil repeat lagu Words dari Skylar Grey


Rabu, 13 November 2013

XII IPA 2 : Ketika Belajar Pkn

Hari ini gue belajar sesuatu yang cukup penting bersama Aul, di bangku paling belakang yang biasanya menjadi singgasana Marsekal dan Khoolish. Bahwa sebenarnya, setiap orang memiliki nilai plus dan minus yang membuatnya berarti bagi orang lain. Juga bahwa sesungguhnya, setiap orang itu baik. Hanya saja ada beberapa hal buruk yang ia lakukan dan membuatnya dikenal seperti itu, meski pada dasarnya ia tetap melakukan hal baik.
            Nah, bicara mengenai beberapa hal buruk, hari ini XII IPA 2 kembali melakukan rutinitasnya saat pelajaran PKn berlangsung, yaitu tidur berjamaah. Gue juga melakukannya, sementara Aul mendengarkan musik melalui my beloved headset, dan beberapa anak lainnya mengobrol dengan riang tanpa memerhatikan guru di depan.
Jika dilihat dari sudut pandang guru atau orang dewasa, hal yang kami lakukan jelas merupakan contoh sikap yang amat buruk. Secara tidak langsung, kami tidak menghargai dan tidak menghormati guru kami. Namun jika dilihat dari sudut pandang kami, layaknya remaja normal, hal itu hanya satu di antara segelintir hal konyol yang kami lakukan tanpa maksud jahat. Yah karena pada dasarnya, dewasa ini, setiap anak lebih suka melakukan hal yang akan membangkitkan rasa penasaran, bukan hanya mendengarkan penjelasan.
Melalui posting ini, gue dan segenap rakyat XII IPA 2 memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada guru PKn kami yang “berbudi luhur-berwawasan luas-baik hati-tidak sombong-selalu sabar”. Sebenarnya kami menghargai dan menghormati Anda, Pak. Kami bahkan sangat bersyukur karena diajar oleh Bapak. Hanya saja kami ini—para remaja yang rentan galau—tetap melakukan beberapa hal yang tidak seharusnya dilakukan, dan berhubung Bapak orang yang “berbudi luhur-berwawasan luas-baik hati-tidak sombong-selalu sabar” kami mohon maafkan kami. Semoga di masa yang akan datang Bapak bisa mendapat murid yang lebih baik dari kami. Salam PKn!
Untuk seluruh penghuni XII IPA 2, gue sama sekali tidak menyesal sudah mengikuti kalian untuk berbuat hal-hal konyol seperti itu, karena gue tahu dua puluh tahun dari sekarang gue akan tersenyum saat mengenangnya.
Okay, here we go with unbelieveble moment! Enjoy it, guys! J

Hari Pulang Cepet, 13-11-13
Setelah main flow karena nggak sanggup ngerjain Fisika

Dan diiringi lagu It Will Rain versi Boyce Avenue

 Tim ngobrol bareng a.k.a Konfrensi Meja Kotak hehehe

 Grup Arif yang lagi presentasi dan Gulardi yang lagi baca~

and the best student in the world goes to them! hahaha
di ujung ada Widyo, terus Bara, dan terakhir Lubna yang tidurnya elegan~ peace yak!

dan ini dia duo iseng yang sibuk paparazzi meskipun kameranya cacat hoho

Senin, 11 November 2013

Keep Looking Up

Hari ini gue menyadari satu poin penting dalam keluarga yang selama ini luput dari perhatian gue. Bahwa hubungan antara orangtua dan anak yang tidak harmonis dapat menjadi penyebab utama penyakit hati. Kalian tahu apa yang gue maksud dengan penyakit hati? Yaitu perasaan dimana sang anak merasa sendiri, tidak berdaya untuk memilih, dan pada akhirnya membiarkan dirinya terkubur bersama bayang ekspektasi dan asumsi.
            Satu waktu dalam hidup gue, ada kalanya gue membiarkan diri gue berkubang dalam penyakit itu. Namun seiring berjalannya waktu, gue mencoba untuk mencari obat, yaitu dengan cara menghilangkan rasa peduli. Menghapus empati. Karena ketika kita memedulikan seseorang atau sesuatu begitu rupa, kita akan merasakan sakit yang teramat sangat dalam prosesnya.
            Jadi, gue memutuskan untuk bersikap tidak peduli. Gue mengabaikan setiap kejadian buruk supaya gue nggak merasakan sakit semacam itu lagi. Gue bahkan tidak berusaha untuk memperbaiki, gue hanya terus menghindar dan lari. Selama beberapa saat hal itu bisa sangat efektif; gue bisa sekolah, belajar, dan bergaul seperti biasa.
            Tapi hari ini mengubah segala pemikiran gue itu.
            Hari ini ada satu masalah yang terjadi dengan melibatkan orangtua dan adik gue, lalu pada akhirnya menyadarkan gue bahwa selama ini obat yang gue pakai itu hanya membawa efek yang lebih buruk lagi. Gue bersikap tidak peduli, tanpa sadar bahwa hal itu menyakiti orang-orang yang gue cintai. Tanpa sadar gue membuat orang-orang itu harus berjuang sendiri.
            Gue menyesal sudah bersikap seperti itu. Benar-benar menyesal. Kenapa gue nggak lebih kuat? Kenapa gue nggak lebih bijak? Dan ada jutaan pertanyaan kenapa lainnya yang mengikuti. Tapi pada akhirnya, yang harus gue lakukan bukan bertanya-tanya. Gue harus mengubahnya.
            Gue berharap setelah kejadian ini—yang belum gue tahu bagaimana cara menyelesaikannya—gue akan menjadi lebih baik, lebih kuat, dan lebih bijak untuk orang-orang yang gue cintai itu.
            Mungkin gue akan terjatuh-terluka-terkubur dalam prosesnya, namun gue tidak bisa berhenti berusaha. Karena mereka, orang-orang yang gue cintai itu, membutuhkan gue. Sama seperti gue membutuhkan mereka. Dan gue tidak bisa selamanya hanya membiarkan mereka berjuang sendiri. Gue juga harus berjuang bersama mereka.
            Untuk hidup yang lebih baik, dengan kebahagiaan sederhana yang melingkupi.

Hari Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih, 11-11-13

Setelah dengar Sena nangis dan galau mikirin Biologi

Sabtu, 09 November 2013

XII IPA 2 : Nonton Bareng Final Destination 5

Hari Sabtu adalah hari di mana pelajaran nggak jelas berkumpul menjadi satu. Kemalasan yang membayangi langkah gue di hari Sabtu benar-benar nggak ada duanya. Khususnya hari Sabtu ini, setelah melewati jam pelajaran bahasa Arab yang moodbreaker parah, dilanjut bahasa Indonesia yang melibatkan kemurkaan sang guru. Untungnya Allah SWT masih memberikan keadilan bagi seluruh rakyat XII-IPA 2 karena PLH di jam pelajaran terakhir kosong.
            Seperti yang pernah gue ceritakan di bab Part of Introducing, XII-IPA 2 selalu memiliki segudang cara untuk membunuh bosan demi menunggu bel pulang bernyanyi. Dan hari ini, segenap rakyat XII-IPA 2 memutuskan untuk menonton film Final Destination 5. Mulai dari yang paling bawel, paling religius, sampai yang paling centil, semua berkumpul di depan laptop Ilham demi menonton film itu.
            Dan kalian tahu apa bagian terbaiknya? Mereka berteriak heboh di setiap adegan kematiannya. Benar-benar berteriak super kompak!
Ekspresinya pun beragam. Ada yang tutup mata; Bara. Ada yang jejeritan tapi tetap melotot; Anneke. Ada yang pasang muka mual; Cibow. Ada yang pasang muka kalem; Hafiz. Ada yang tetap ngoceh sepanjang jalan; Ferdy. Ada yang senyum geli; Widyo. Dan ada yang manjat bangku demi lihat adegan sadisnya; Shinta aka Cici aka John Lennon—hehe peace ya, Ci.
See ya in next chapter ‘bout XII-IPA 2~

Hari Pakai Baju Pramuka, 9-11-13
Setelah berjibaku dengan Biologi dan menuju PLH
Diiringi lagu Galaxy Supernova-nya SNSD


Ini dia foto hasil paparazzi yang berhasil gue lakukan yeah~ 


Jangan bosan ngelakuin hal-hal konyol ya, guys ;)

Jumat, 08 November 2013

XII IPA 2 : Goes to Suka Mantri

4 November 2013 adalah salah satu hari paling berkesan sepanjang 16 tahun 9 bulan 3 hari hidup gue. Tanpa sedikit pun prasangka apalagi bayangan, gue pergi ke Suka Mantri bersama seluruh warga XII-IPA 2 untuk pengambilan foto buku tahunan. Tapi di sini gue nggak akan membahas tentang acara fotonya, karena gue mau membahas tentang rasa kekeluargaan yang tumbuh di antara siswa/siswi XII-IPA 2.
            Dimulai ketika kami berkumpul di depan hall untuk berangkat ke Suka Mantri. Setelah menunggu selama kira-kira empat puluh menit, kami semua akhirnya berkumpul. Tanpa diduga, Bara memutuskan untuk mengikuti lomba Sport 7 yang sedang berlangsung di hall yaitu stand up comedy. Meski kami terburu-buru dan dibayangi ketakutan akan kehujanan di jalan, kami tetap mendukung Bara dan tertawa pada jokes-nya yang terpusat pada pacar barunya.
            Kami berangkat dari sekolah sekitar pukul 4 sore dengan menggunakan dua mobil dan puluhan motor. Setelah mendaki gunung, melewati lembah, dan mengarungi ciliwung, kami sampai di sana ketika matahari tergelincir-terpeleset-tersoledad memasuki peraduannya.
            Jujur saja, jalan menanjak dan memutar untuk mencapai Suka Mantri sangat amat ekstrem. Gue sama sekali tidak pernah membayangkan akan melalui jalan seperti itu, terlebih ketika kabut menyelimuti dan hanya dengan beberapa orang tersisa. Rombongan kecil yang mendaki bersama gue adalah Ilham, Gulardi, Arif, Widyo, Khoolish, Aruum, Anneke, Riska Comeh dan sugar glider milik Widyo.
            Jalan berbatu-batu diiringi gerimis yang menitik membuat tingkat kesulitan semakin tinggi. Apalagi dengan adanya jurang-jurang di kedua sisi jalan dan tidak adanya lampu, kami semua begitu tegang. Gue yakin, para cowok yang membonceng cewek pasti merasa takut setengah hidup karena mereka tidak hanya mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Sekali mereka kehilangan keseimbangan, maka hanya Allah SWT yang tahu bagaimana kelanjutannya.
            Untungnya, Allah SWT masih melindungi kami. Dengan tubuh yang lelah dan jantung nyaris keluar dari rusuk, kami semua sampai di Suka Mantri. Udaranya dingin menggigit dan pemandangannya sangat indah. Di salah satu warung bermandikan cahaya dari lentera, kami menghabiskan petang dengan saling membagi makanan.
            Kemudian masalah sesungguhnya muncul. Kami terlalu lama berada di atas dan nyaris kehabisan waktu untuk turun ke bawah. Risikonya terlalu tinggi karena jalan bertebing curam tanpa penerangan jalan, ditambah kenyataan bahwa hujan mengguyur dengan sempurna. Akhirnya kami mengambil keputusan untuk segera turun dan saling memercayai satu sama lain. Kami bekerja sama untuk saling menjaga dan menguatkan selama proses turun berlangsung.
Setelah kami semua turun dengan selamat, gue mulai berpikir ulang tentang segala hal yang terjadi, dan memutuskan untuk menulis bagian-bagian terbaik dari perjalanan nekat kami.
            Kami menemukan kepercayaan, kerja sama, dan cinta untuk sesama saudara—meski di antaranya ada yang cinlok juga loh :p hehehe—di tempat bernama Suka Mantri. Ketika jiwa menjadi taruhannya, kami semua berhasil menyatukan setiap keping kepribadian demi keselamatan bersama.
            Gue rasa nggak ada satu pun kata yang pada akhirnya sanggup menggambarkan perasaan gue dan seluruh warga XII-IPA 2 ketika kami pulang dari tempat itu. Namun satu hal yang nampak jelas adalah kami semakin menghargai satu sama lain, juga setiap momen yang terjadi. Kami tidak membiarkan satu momen pun terlewati.
            Gue menyadari bahwa ketika kami terpaksa harus mempertaruhkan nyawa di jalan itu, kami tidak bisa meminta tolong pada orang lain. Biasanya kami pasti akan memanggil orangtua, mengandalkan pacar, atau teman, namun kali itu kami benar-benar harus berjuang sendiri.
Itulah pelajaran paling berharga yang gue dapatkan. Bahwa suatu hari nanti, suka tidak suka, mau tidak mau, akan datang saatnya ketika keadaan tidak memungkinkan kita untuk meminta tolong pada orang lain. Kita harus berjuang sendiri, apalagi jika melibatkan nyawa di dalamnya. Kita hanya bisa menyelamatkannya dengan usaha kita sendiri.
Untuk Ilham, terima kasih sudah membawa gue dengan selamat. Untuk Cibow, terima kasih sudah mengkhawatirkan muka pucat gue. Untuk Marsekal, terima kasih untuk pinjaman jaket barunya. Untuk Moudy, terima kasih untuk pelukan penenangnya. Untuk Aul, terima kasih untuk sesi curhat di depan warung. Untuk Lubna dan pacarnya, terima kasih sudah mengizinkan gue menumpang di mobil kalian dalam perjalanan pulang.
Dan untuk XII-IPA 2, terima kasih untuk pengalaman yang begitu berharga ini.

NB : Bara dapat juara 3 di stand up comedy loh, yeah~ standing applause for Bara :D

Hari Pakai Kerudung, 8-11-13
Setelah makan malam ditemani sukro

Dan diiringi lagu Mirrors versi Boyce Avenue

Jumat, 01 November 2013

Analogi Jalan Menuju Cita-cita

Bukankah ada banyak hal yang dapat dianalogikan dengan kehidupan?
Beberapa hari yang lalu gue menyadari, bahwa setiap hal yang ada di sekitar kita dapat kita pahami dengan cara yang lebih sederhana.
            Salah satunya adalah meraih cita-cita.
            Menurut gue, secara garis besar ada dua kondisi yang dapat menjadi jalan untuk meraih cita-cita. Yaitu jalan yang terang karena disinari cahaya, dan jalan yang gelap karena tidak disinari cahaya. Singkatnya; orang yang memiliki kelebihan dan kekurangan dalam ekonomi.
            Bayangkan ada dua orang dalam dua ruangan berbeda. Di ruang pertama terdapat si A dengan disinari cahaya, dan di ruang ke dua terdapat si B yang diselimuti kegelapan. Menurut kalian, siapa yang lebih mudah keluar dari ruangan tersebut?
            Menurut gue, tidak ada satu pun yang merasa lebih mudah untuk keluar dari ruangan itu.
Untuk kasus A, dia memiliki kelebihan untuk lebih cepat menemukan pintu keluar. A melihat pintu keluar tersebut. Ia bisa menghindari kursi yang menghalangi langkahnya, juga memindahkan paku dari jalannya. Namun bersamaan dengan itu, dia pun harus melihat segala hal dalam ruangan itu, yang berisi banyak barang bagus juga menarik. A memiliki kesempatan untuk mencapai pintu keluar dengan cepat, atau membiarkan dirinya untuk tetap di dalam ruangan dan menikmati hal-hal menarik itu selama sesaat.
Sementara untuk kasus B, dia memiliki kesulitan untuk melihat pintu keluar dan sering terjatuh dalam proses mencari pintu tersebut. B akan lebih mudah menyerah, karena tidak ada hal yang lebih menakutkan selain melawan musuh yang tak terlihat. Namun dia tidak harus melihat segala hal dalam ruangan itu, sehingga dia tidak akan terjerat di dalamnya. Ketika B berhasil menepikan ketakutannya, dia pasti akan lebih mudah memerintah dirinya untuk tetap berjuang menuju pintu keluar itu, karena memang tidak ada hal lain yang bisa dilihatnya.
Pada dasarnya A dan B memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. A memiliki jalan yang sudah terlihat, namun harus menahan dirinya agar tidak menuju jalan lain. Sedangkan B tidak dapat melihat jalannya, namun dapat dengan mudah memerintahkan dirinya hanya untuk meniti jalan itu. A mendapat jalan yang nampak jelas di matanya, sementara B mendapat motivasi dan keteguhan hati.
Dari dua kasus tersebut, gue mendapat satu kesimpulan : kelebihan dan kekurangan selalu datang dalam satu paket. Hanya bagaimana cara kita menghadapi dan menyikapinya yang membuatnya berbeda. Kita bisa mengubah kekurangan menjadi kelebihan, ataupun mengubah kelebihan menjadi kekurangan.
Yang mana pun dari dua hal tersebut, seluruh keputusannya ada di tangan kita.
Kita yang membuat pilihan.

Hari Kedua Try Out II, 01-11-13
Setelah gereget karena nggak bisa streaming The Heirs

Dan malas kuadrat buat berkubang bersama tugas

Rabu, 30 Oktober 2013

XII IPA 2 : Part of Introducing

XII-IPA 2 adalah sebuah kelas angkatan tahun 2013/2014 di SMAN 7 Bogor. Dihuni oleh 36 siswa serta siswi dari berbagai kasta dan dipimpin oleh Bu Tati.
            Pertama kali ide untuk menulis ini muncul saat gue makan biskuit cokelat dicampur softdrink, rasanya menyengat tapi manis. Ya, itulah kalimat yang cocok untuk menggambarkan XII-IPA 2.
            Dengan dikepalai oleh Ferdyanto dan Arif Budiharjo sebagai Ketua Kelas yang selalu melakukan stand up comedy di mana pun mereka berada, didampingi oleh Moudy K.D dan Erina Sandra sebagai Sekertaris favorit versi seluruh cowok di muka bumi, dan diikuti Riska Amelia juga Tarsius—Yeni maksudnya hehehe peace—sebagai Bendahara paling cekatan dalam masalah narik duit, XII-IPA 2 benar-benar kelas paling nggak sepi di SMAN 7.
            Dan masih banyak rakyat lain yang ajaib bin alay dan mungkin akan gue tulis di kesempatan-kesempatan berikutnya. Sekarang biar gue menyelesaikan part of introducing XII-IPA 2.
Pertama kali masuk ke kelas ini yang terpikir oleh gue adalah betapa beruntungnya gue karena bisa satu kelas dengan orang-orang pintar yang kompeten di bidangnya masing-masing, dan tidak ada satu pun anak yang menunjukkan gejala ‘anak gaul’. Itulah yang paling gue syukuri. Bisa dikatakan seluruh warga XII-IPA 2 memang sedikit keterlaluan ketika bercanda, namun mereka tidak pernah bermaksud untuk menyakiti dan yang paling penting mereka tidak pernah terlibat dalam hal non-academic yang sudah menjadi prestasi khas SMAN 7.
            Setiap anak selalu bersemangat ketika pelajaran Eksakta—Matematika, Fisika, Kimia—dan akan tidur berjama’ah saat pelajaran PKn berlangsung. Yang lebih mengesankan lagi, ketika ada jam kosong mereka akan melakukan berbagai permainan kocak yang selalu mengundang tawa. Lalu bagian anehnya adalah saat jam istirahat, kelas selalu hampir kosong, karena biasanya yang tersisa hanya gue dan teman sebangku gue; Aul.
            XII-IPA 2 bahkan menjadi semacam tempat cinlok paling pewe, karena para pemuda-pemudi yang menggebet teman sekelasnya sendiri bisa jadi lebih rajin ke sekolah dan rajin berbaur di mana pun gebetannya berada. Misalnya cowok yang duduk di depan bisa pindah ke belakang demi cewek gebetannya, pun begitu sebaliknya. Dan gue suka melihat itu, karena khas anak SMA. Saat jatuh cinta menjadi hal sederhana yang membahagiakan dan melihat orang yang disukai tersenyum pun menjadi alasan kuat untuk tenggelam dalam ribuan angan konyol. Ya, itulah SMA.
            XII-IPA 2 juga kompak dalam hal ‘garing’ ketika mengerjai temannya yang ulang tahun. Contohnya saja dua kasus baru-baru ini, ketika Masekal dan Aul ulang tahun. Sebenarnya niat kami baik—untuk membuat mereka panik atau tidak nyaman atau entahlah—namun akhirnya semua berakhir awkward karena jebakannya gatot alias gagal total bin cacat parah.
            XII-IPA 2 nggak pernah absen dalam hal melakukan game konyol, apalagi ada Bara Dahana sebagai tetua terhormatnya. Contohnya saat mereka bermain truth or dare beberapa bulan lalu. Moudy kebagian jatah untuk berpose alay, Arif dapat tugas mencium ketiak Deden, Eva kelimpahan misi untuk merayu Wahyudin, and the best dare ever jatuh pada Bara yang dapat jackpot untuk mencium kaus kaki Deden.
Just FYI, setelah itu Bara muntah-muntah dan wajahnya pias selama satu jam. Entah racun seperti apa yang sudah dihasilkan tubuh Deden, karena sepertinya semua orang begitu niat menjadikannya objek penciuman dan subjek yang dijadikan korban pasti hampir koma.
            Nah, beberapa hari yang lalu gerombolan gamers itu kembali beraksi. Kali itu mereka memainkan ‘kotak pos’ dan mereka menciptakan berbagai nama sebutan yang demi kebaikan generasi muda bangsa Indonesia tidak usah disebutkan di sini. Secara bergantian mereka bermain dan ada saja tingkah yang membuat penontonnya tertawa. Contohnya saat Faqih digerayangi Bara, lalu saat Bara ditinggal sendirian di dalam kelas sementara seluruh penghuni XII-IPA 2 lainnya cekikikan di luar.
            Okay, mungkin itu saja yang bisa gue tulis untuk saat ini. Kalau mengikuti gaya bahasa Aul, Basa Sunda dan Sejarah lagi minta dikelonin so I gotta go. See ya in next posting about XII-IPA 2.

Hari Libur Mandi, 27-10-13
Sambil makan Togo dan Fanta

Ditemani lagu Somewhere in Neverland

Jumat, 25 Oktober 2013

Kembali untuk Harapan

            I have a superduper terrible day in this week. I’m messed up in every way that I knew.
            Minggu ini adalah masa di mana bom waktu yang gue simpan meledak berhamburan tak tentu arah, bom yang sudah gue erami layaknya induk ayam mengerami telurnya selama berbulan-bulan. Ketika gue kehabisan tenaga untuk menahan bom itu, efek meledaknya seperti meluluh-lantakan hati hingga tak bersisa, dan yang bisa gue lakukan hanya menangis-mengacau-meresahkan para kerabat-melarikan diri.
            Gue benar-benar berniat untuk menyerah saja sekalian, karena untuk apa bertahan jika alasan yang mempertahankan gue selama ini akan pergi tanpa mampu gue selamatkan? Satu-satunya alasan yang membuat gue bertahan untuk ribuan harapan, percaya akan masa depan yang lebih baik, sekolah, belajar, juga berjuang untuk hidup. Alasan itu terenggut begitu saja karena sebuah putusan yang mungkin ditujukan untuk menguji kekuatan hati gue, namun sekali ini gue sungguh-sungguh tidak mampu menahannya lagi. Gue menyerah untuk bertahan. Gue lelah dan gue siap untuk melepaskan.
Gue bahkan sudah tidak yakin pada diri gue sendiri dan yang paling parah, gue mendorong setiap orang yang gue cintai untuk meninggalkan gue. Ya, gue mendorong mereka semua untuk mengakui kelemahan gue dan gue membiarkan mereka untuk beranjak pergi.
            Karena saat masalah menjadi begitu menyesakkan, tak ada jalan kembali untuk memutar langkah selain mencoba untuk melepaskan. Dan saat bertahan tak lagi mampu menahan setiap luka, harus selalu ada yang dikorbankan. Itulah yang gue tahu.
            Namun orang-orang yang sudah gue dorong untuk pergi, tetap berkeras bahwa selalu ada jalan kembali. Bahkan untuk sebentuk hati yang patah, yang tak lagi mampu mengandung harapan. Akan selalu ada kesempatan untuk setiap orang—seburuk apa pun orang itu—memperbaiki dirinya; kesempatan kedua.
            Mungkin ini klise—karena bahkan gue sudah pernah menulis novel bertema serupa—namun gue benar-benar merasakan harapan itu masih ada. Saat mereka tetap berjuang mempertahankan gue, barulah gue tahu harapan itu belum meninggalkan gue. Gue masih memiliki kesempatan kedua.
            Bahkan setelah gue bersikap bodoh, menyia-nyiakan setiap waktu, juga berniat untuk menyerah kalah pada keadaan, mereka tetap ada. Mereka; yang telah gue nilai sebagai tempat yang tak bisa gue sebut sebagai keluarga, yang telah gue tinggalkan demi kelemahan hati gue, juga yang telah gue kecewakan karena keputusan egois gue.
            Mereka tetap ada, bahkan setelah segala hal buruk yang gue lakukan.
            Gue sadar akan setiap resiko yang bisa gue dapatkan karena kembali mendekap harapan, namun gue akan melakukan segalanya untuk tetap tegak, untuk tetap berjuang. Karena setiap keyakinan yang pernah gue yakini membawa gue pada kesimpulan bahwa tak ada manusia yang lebih buruk selain manusia yang menyerah untuk berjuang. Dan gue tidak akan menjadi salah satunya; gue akan tetap berjuang meski gue harus terjatuh, terpuruk, dan terluka lagi.
            Terkadang, kita bisa begitu buta akan satu hal yang begitu jelas di depan mata hanya karena hal itu tertutup oleh kesederhanaan. Kita selalu mengharapkan hal baik dengan bungkus yang tak kalah baik. Padahal sesungguhnya, tak ada yang lebih baik selain hal baik yang terbungkus oleh kesederhanaan.
            Dan itulah yang gue temukan dalam keluarga kecil gue, yang tetap bertahan menghadapi setiap kebodohan dan keegoisan gue, juga memberi kekuatan saat gue bahkan tak lagi memiliki tempat untuk gue sebut sebagai ‘rumah’.
            Kita melakukan kesalahan, namun itu adalah hal yang wajar ketika kita melakukannya untuk kali pertama. Dan ketika kita melakukannya lagi, maka hal itu tak lagi menjadi pemakluman, karena itu adalah pilihan. Itulah sebabnya setiap orang berhak untuk kesempatan kedua.
            Untuk seluruh anggota HIRISMAN 7 Bogor, yang sudah bersedia menyangga dan mendukung gue di masa terburuk gue, terima kasih. Hanya itu kata yang sanggup gue ucapkan untuk kalian. Mungkin benar Allah SWT menguji gue karena Dia tahu gue mampu, Allah Maha Mengetahui, right? Dan mungkin kalian adalah anugerah yang nggak pernah gue sadari—karena kita melalui banyak hal baik juga buruk bersama—sebuah keluarga yang gue harapkan meski tak sempurna, dan gue baru menyadari itu saat gue nggak lagi memiliki kalian.
            Terima kasih juga untuk Sulistya Ningrum, sepupu baik hati yang kadang nyebelin setengah hidup, yang membuat gue sadar bahwa gue harus tetap berjuang. Untuk Gita Bernadus, yang nggak pernah berhenti menyediakan bahunya untuk setiap air mata gue. Untuk Aulia Khoirunnisa, yang punya pandangan berbeda pada hidup, membuat gue tahu setiap kesalahan gue. Untuk Riska Amelia, Muhammad Hafiz, dan Bintang G.M yang sudah membuat gue belajar untuk menerima kenyataan. Untuk Andhika Dwiantara Poetra yang nggak pernah memecat gue dari jabatan adiknya yang cengeng. Juga untuk Helsien A.M yang dengan berbesar hati membiarkan gue memilih jalan gue dan tetap berusaha menyelamatkan sisa-sisa harapan gue. Terima kasih untuk setiap orang yang telah membantu gue, meski tanpa kalian sadari.
            Dan yang paling utama terima kasih untuk Allah SWT yang tak pernah menyerah pada gue, yang selalu melindungi gue, dan selalu mengirimkan orang-orang berharga dalam hidup gue untuk mengajari gue arti dari kehidupan.
Gue nggak akan berjanji bahwa gue pasti berubah menjadi gadis yang lebih baik, karena gue pasti akan kembali mengacau, namun gue berjanji akan mencobanya. Gue akan berjuang dan nggak menyerah pada keadaan. Gue akan membuktikan bahwa masalah ini—yang benar-benar gue benci namun harus gue hadapi—akan membawa masa depan yang lebih baik untuk hidup gue.
Dan gue akan kembali percaya.

NB : Gue menulis ini untuk mengingatkan diri gue di kemudian hari ketika gue kembali mengacau dan ingin menyerah. Gue harus ingat bahwa seburuk apa pun masalah hingga keadaan tak memungkinkan untuk bertahan, selalu ada kesempatan dan jalan untuk kembali berjuang.

Hari Besar Islam, 25-10-13
Setelah merenung dan membaca ulang setiap kalimat motivasi

Juga setelah membaca direct message dari Helsien A.M