Senin, 29 Juli 2013

Malaikat Pendamping Hati

Malaikat Pendamping Hati

            Aku cukup puas dengan hidupku. Bukan berarti bahagia, meskipun aku nyaris memiliki segalanya : keluarga yang berkecukupan dan juga menyayangiku, kelebihan fisik yang tidak dipunyai semua gadis, serta sahabat yang selalu mendukungku. Aku merasa belum benar-benar bahagia, karena aku ingin memiliki seseorang yang mencintaiku. Bukan dalam artian sahabat atau keluarga, namun seseorang yang menjadi pendamping hatiku.
Sudah lebih dari dua puluh kali aku berganti pacar dalam waktu satu tahun terakhir, tapi tidak ada satu pun yang mampu menyentuh hatiku. Sering kali aku merasa iri pada Adhis dan Prita, kedua sahabatku. Mereka memiliki pacar, yang meskipun menurutku biasa saja, tapi dapat membuat mereka bahagia. Entah apa yang salah pada diriku.
            Aku mendesah dan mengangkat wajahku dari layar laptop untuk menatap seseorang yang duduk di seberang mejaku. Dia adalah seorang pemuda bertubuh tinggi dan tegap, dengan kulit berwarna cokelat muda yang menurutku terlihat sangat memesona, serta rambut pendek sedikit ikal berwarna hitam. Aku tersenyum pada diriku sendiri saat kembali menundukkan wajah.
            Mungkin inilah yang salah pada diriku. Sudah satu tahun aku melakukan hal ini setiap hari sepulang sekolah : menempati meja di sudut kanan restoran yang terdapat di taman kota, dengan memakai seragam SMA, sesekali melirik pemuda yang juga memakai seragam SMA dan selalu menempati meja di seberang mejaku. Aku selalu memerhatikannya, mengagumi ketampanannya, dan berharap dalam hati akan datang keajaiban yang membuatku mengenalnya.
            Hari ini tanggal dua puluh dua Februari, tepat satu tahun sejak pertama kali aku melihatnya. Saat itu dia mengenakan kaus berwarna merah, celana jeans, dan topi berwarna hitam. Gayanya yang santai dan terkesan tidak peduli dengan sekitarnya membuatku terpaku menatapnya. Sejak saat itu aku selalu duduk di tempat ini dan memandanginya tanpa pernah merasa bosan. Setiap harinya justru membuatku semakin terpesona.
            Suara ringtone ponsel menyadarkanku pada kenyataan. Aku mengerjap dan segera membuka pesan singkat yang dikirimkan kakakku, isinya mengingatkanku untuk pulang sebelum Mami dan Papi pulang dari kantor. Aku mendesah, lalu mematikan laptop dan mulai membereskan barang-barangku. Tepat saat aku akan bangkit berdiri, seseorang berdeham dan menyapaku dengan suara ragu. Aku mendongak dan seketika ternganga melihat dia, pemuda yang selama ini aku kagumi.
            “Hai.” sapanya lagi.
            Aku tersadar dan langsung tergagap, namun untungnya aku masih bisa mengangguk dan tersenyum membalas sapaannya. Entah mengapa tiba-tiba lidahku terasa kelu dan otakku membeku. Aku hanya bisa menatapnya, mengagumi mata hitamnya yang terlihat begitu dalam, dan senyum tipisnya yang memikat. Aku tidak tahu ia jauh lebih tampan jika ditatap dari jarak dekat.
            “Sorry sebelumnya, komik yang lo pegang tadi Bleach volume berapa ya?” tanyanya sopan.
            “Eh, mmm, ti-tiga puluh tujuh.” jawabku gugup. Dalam hati aku memaki diriku sendiri yang bisa bersikap sebodoh ini.
            Dia tersenyum dan mengulurkan tangan. “Gue Ravidyo. Panggil aja Ravi.”
            “Marsya Carnetta.” sahutku seraya membalas senyum dan uluran tangannya.
            “Boleh gue panggil lo Netta?”
            Meskipun dalam hati bertanya-tanya, aku tetap mengangguk. Rasanya aku tidak bisa menolak apa pun yang diinginkan Ravi, dan anehnya hal itu tidak menggangguku. Saat ini aku merasa sangat bahagia.
            “Nggak keberatan ngobrol sebentar, kan?” tanya Ravi seraya duduk di hadapanku.
            Aku menggeleng dan bersorak dalam hati. Ternyata keajaiban itu benar-benar datang. Seandainya ini adalah mimpi, aku tidak ingin terbangun selamanya.

***

            Dua bulan kemudian
           
“Hayo, lagi lihat siapa? Mau selingkuh dari gue ya?” tegur Ravi seraya mencubit hidungku dan duduk di sampingku. Wajahnya terhiasi oleh senyum ceria.
Aku menyingkirkan tangannya dan balas mencubit lengannya. Ia tersenyum dan memasang ekspresi meminta maaf yang terlihat begitu memelas, hingga aku tidak tahan untuk tidak tertawa. Ravi ikut tertawa bersamaku, lalu membuka laptopnya dan menyalakannya.
Sudah dua bulan kami dekat. Bukan dalam ikatan pacar, karena sampai sekarang Ravi belum mengatakan apa pun tentang perasaannya dan mungkin saja ia hanya menganggapku sahabat. Hampir setiap hari kami duduk di meja favoritku, bercanda dan berbagi cerita. Ravi bersekolah di SMA Altrista dan sudah menginjak tahun terakhirnya sebagai siswa SMA. Sering kali aku menyesal karena dulu memutuskan untuk sekolah di SMA Bhakti Purnama, bukan SMA Altrista. Tapi aku tidak pernah mengatakannya pada Ravi karena aku takut ia akan berpikir bahwa aku menyukainya, meskipun kenyataannya memang begitu.
“Sekarang malah ngelamun. Pasti lagi mikirin gue ya?” goda Ravi sambil menyunggingkan seulas senyum bangga.
Aku mencibir. “Narsis gila.” balasku dengan wajah yang pasti terlihat menahan senyum.
Terkadang aku merasa Ravi tahu segalanya tentang diriku. Mulai dari kebiasaanku, kesukaanku, hingga sifatku. Sedangkan aku tidak tahu apa pun tentang dirinya kecuali fakta bahwa ia teman yang baik dan selalu menolongku serta melindungiku. Aku tahu ia berasal dari sebuah keluarga ternama di negeri ini, tapi Ravi tidak mau memberitahukan nama keluarganya padaku dan anehnya itu tidak membuatku terganggu. Aku justru merasa nyaman.
Aku tersenyum dan mengalihkan tatapanku pada Ravi yang sedang mengetik tugas sekolahnya. Ravi membalas tatapanku dan aku langsung salah tingkah.
“Nett, boleh nggak gue jadi pendamping hati lo?” tanya Ravi.
Aku membeku dan kembali menatapnya tanpa mampu mengeluarkan suara. Bukan karena kalimatnya yang tanpa basa-basi, tapi karena kata “pendamping hati” yang ia ucapkan. Seolah-olah Ravi tahu apa yang diinginkan hatiku.
Aku menatapnya dan mencoba mencari keraguan di mata hitamnya. Namun mata itu memberiku kesungguhan, kejujuran, dan ketulusan hingga aku merasa aku dapat tenggelam dalam tatapannya. Baru kini aku menyadari, bahwa sejak awal aku tidak hanya sekedar mengaguminya, tapi juga menyukainya dan bahkan kini mencintainya.
Setelah lama terdiam dan berpikir, akhirnya aku tersenyum dan mengangguk. Ravi membalas senyumku dan merangkulku. Sama seperti dua bulan yang lalu, seandainya ini adalah mimpi, aku tidak ingin terbangun lagi.

***

            “Ya ampun, Ravi ke mana sih?” gumamku gelisah. Aku kembali berjalan tak tentu arah di teras rumahku, sambil sesekali melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kananku.
            “Marsya, kamu belum berangkat?” tanya Kak Sheira.
            Aku mendesah. “Ravi belum jemput. Kemarin dia bilang mau jemput jam tiga, tapi sekarang udah hampir jam empat belum dateng juga. Udah gitu pake acara matiin HP. Aku kan jadi bingung, Kak. Padahal hari ini kita satu bulanan, Ravi kok tega banget sih bikin aku cemas.” jawabku panjang-lebar.
            Kak Sheira tersenyum, lalu merangkulku dan berusaha menenangkanku. Saat aku mulai merasa tenang, sebuah mobil masuk melewati gerbang dan berhenti di depan teras rumahku. Seorang gadis yang sepertinya lebih muda dariku turun dari kursi penumpang dengan wajah pucat dan mata sembab. Ia berjalan menghampiriku dan menyunggingkan seulas senyum lemah.
            “Kak Netta?” tanyanya.
            Aku mengangguk dan semakin bertanya-tanya dalam hati karena selama ini yang memanggilku Netta hanya Ravi.
            “Aku Zhia, adiknya Kak Ravi.” katanya seraya mengulurkan tangan.
            Awalnya aku mengira Zhia mengulurkan tangan untuk mengajakku bersalaman, tapi ternyata tangannya memegang sebuah tempat CD dan ia memberikannya padaku. Aku segera menerimanya dan menatap Zhia dengan pandangan bertanya.
            “Ravi dimana?” tanyaku.
            “Aku berharap dia ada di surga sekarang.” jawab Zhia dengan suara serak. Matanya berkaca-kaca.
            Bagaikan ada petir yang menyambarku, aku terdiam mematung dengan ekspresi tak percaya. Jantungku berdebar cepat dan aku sungguh berharap ini hanya sebuah lelucon konyol yang disiapkan Ravi untuk membuatku menangis.
            “Apa maksud kamu?” tanyaku lirih.
            “Kak Ravi bunuh diri.” jawab Zhia dengan wajah dialiri air mata.
            “Nggak mungkin.” bisikku. Air mataku mengalir dan aku menggelengkan kepala, mencoba untuk membangunkan diriku dari mimpi buruk ini. Tapi saat Kak Sheira memelukku dan tangisku berubah menjadi jeritan, aku tahu aku tidak bermimpi.
Ini adalah kenyataan.

***

            Aku menatap CD yang ada di tanganku dengan nanar. Laptopku sudah dalam kondisi menyala, namun aku masih ragu. Ada rasa penasaran yang luar biasa menyelimuti hatiku, tapi entah mengapa terkalahkan oleh rasa takutku. Aku memejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam. Dengan gemetar aku memasukkan CD itu, lalu mengklik tanda play.
            Wajah Ravi dengan senyum tipis memenuhi layar laptopku, membuatku menahan napas. Ia terlihat begitu sehat, tidak pucat seperti yang kulihat kemarin.

“Netta, aku benci tanggal dua puluh dua, karena tanggal itu selalu membuatku mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu, saat Bunda bunuh diri tepat di hadapanku. Tapi pendapatku itu berubah setelah aku melihat kamu di tanggal dua puluh dua Februari tahun lalu. Sejak itu setiap harinya aku selalu melihat kamu, semakin mengagumi kamu, dan berharap dalam hati bisa mengenal kamu. Kamu membuat hidupku jadi berbeda, memberiku harapan.” ucap Ravi dengan senyum ceria di bibirnya. Matanya menerawang mengingat kenangan yang sepertinya sangat membuatnya bahagia.
Aku mengembuskan napas yang sedari tadi kutahan, lalu menggigit bibirku.
“Hari di saat aku mengajak kamu berkenalan, sebenarnya adalah hari perjodohanku. Aku tahu ini terdengar kolot, tapi ini adalah tradisi untuk anak pertama keturunan keluarga Pratama. Hari itu aku memberanikan diri untuk menghampiri kamu, karena aku pikir, seandainya kamu mengabaikanku rasanya pasti tidak akan terlalu sakit. Tapi ternyata kamu tidak mengabaikanku. Dengan mata cokelat terangmu itu, kamu memberiku rasa yang jauh lebih besar dari bahagia. Dan saat itu juga aku sadar, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, tanpa alasan.” lanjutnya lembut.
Setetes air mata mengaliri pipiku. Cepat-cepat aku menghapusnya, karena Ravi tidak suka melihatku menangis. Meskipun ia hanya menatapku lewat video ini, aku merasa ia masih berada di sini. Bersamaku. Mendampingiku.
“Aku berharap Ayah akan mengerti dan membiarkan aku memilih kamu. Tapi Ayah tetap teguh pada pendiriannya, dan hal ini yang membuatku tidak mampu bertahan. Bukan karena perjodohanku, tapi karena aku nggak sanggup menyakiti kamu. Aku nggak sanggup meninggalkan kamu demi gadis lain.” ucapnya. Nada suaranya berubah menjadi menyesal, dan aku bisa melihat kesedihan dalam mata hitamnya.
“Maaf karena aku pergi tanpa penjelasan. Aku tahu kamu pasti marah, sedih, kecewa, dan mungkin nggak akan pernah maafin aku. Tapi aku melakukan ini karena aku nggak sanggup menyakiti kamu. Aku nggak sanggup lihat kamu nangis. Mungkin menurut kamu tindakanku ini konyol dan bodoh, tapi inilah yang terbaik.”
Aku tidak sanggup lagi menahan air mata. Kubiarkan tetes bening itu mengalir turun, lalu kupeluk tubuhku erat-erat. Suara isakanku memenuhi kamar. Saat Ravi kembali berbicara, aku kembali mengigit bibir dan menahan napas.
“Aku harap, suatu hari nanti kamu memaafkanku. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku akan selalu menjadi malaikat pendamping hatimu. Dan selalu mencintaimu.”  ujar Ravi seraya tersenyum lembut. Ia meletakkan kepalan tangannya di dada kirinya, lalu mengulurkan jari telunjuknya. Seperti caranya selama ini ketika mengatakan selamat tinggal padaku.
            Aku terisak semakin keras, lalu meletakkan tanganku di dada kiri, dan mengulurkan telunjukku pada telunjuk Ravi di layar. Tepat ketika jariku menyentuh layar, wajah penuh senyum Ravi menghilang dan diganti dengan warna hitam pekat. Ketika aku menjerit memanggil Ravi, sebuah suara di hatiku berbisik. Aku nggak akan pernah memaafkan kamu, Ravi. Nggak akan pernah.


***

Minggu, 28 Juli 2013

The Last Gift

Aku terbangun di pagi hari yang cerah. Sinar matahari menembus masuk ke dalam kamarku melalui jendela dan menyinari sebagian dinding kamarku. Dinding kamarku yang berwarna pink entah bagaimana terlihat sangat indah saat terpapar sinar mentari pagi.
Aku tersenyum seraya bangkit berdiri dan berjalan menuju jendela. Kamarku terletak di lantai dua dan jendelaku menghadap langsung ke taman kompleks. Kusingkap tirai dan seketika mataku terkunci pada pemandangan di taman. Di sana sekelompok anak sedang asyik bermain, berlari, dan tertawa-tawa tanpa beban. Pipi mereka yang gemuk bersemu kemerah-merahan terkena sinar matahari. Serta-merta perasaan iri menyusup dalam diriku.
Aku Rissania Vera. Di usiaku yang hampir mencapai tujuh belas tahun, aku tidak memiliki sahabat. Aku tidak memiliki teman. Aku juga tidak memiliki pacar. Yang kumiliki hanya kasih sayang dari seorang Bunda dan seorang saudara kembar yang selalu senantiasa menemaniku, menjagaku, dan menyayangiku setulus hatinya.
Aku bisa bicara. Aku bisa berjalan. Aku bisa melihat. Aku memiliki wajah cantik dan juga keluarga yang berkecukupan. Sama seperti anak-anak itu.
Tapi untuk apa semua itu ada, jika aku tidak memiliki ginjal yang utuh? Untuk apa semua itu ada, jika aku hanya bisa menghabiskan waktuku di dalam kamar dan rumah sakit? Untuk apa semua itu ada, jika aku tidak mungkin menikmatinya? Sia-sia. Semuanya sia-sia.
Aku tertawa miris dalam hati. Betapa indahnya dunia jika kau bisa tertawa sesuka hatimu, menjejakkan kakimu di alam bebas, dan menatap langit biru tak berbatas. Tanpa sadar air mata kesedihan kembali mengalir membasahi wajahku. Isak tangis penderitaan itu kembali menyesakkan dadaku.
Aku membiarkan kesedihan kembali menggerogoti hatiku, menyusup ke dalam jiwaku, mengoyak-ngoyak pembuluh darahku, dan menghambat laju aliran napasku. Memang apa lagi yang bisa kulakukan selain meratapi nasib?
Kurasakan sepasang lengan kokoh meraihku ke dalam dekapannya. Mencoba menenangkanku. Menghiburku.
Jangan menangis, Rissa. Jangan menangis. bisik Kak Renal lembut.
Aku menggeleng dengan frustasi.
Kakak nggak tahu rasanya jadi aku! Kakak nggak ngerti! jeritku.
Tangannya semakin erat memelukku dan aku menumpahkan air mataku di bahunya.
Jangan sedih, Rissa. Semua akan baik-baik saja." ucapnya sungguh-sungguh.
Namun aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Karena semuanya berubah menjadi gelap.

***

Ada seseorang yang menggenggam tanganku. Aku membuka mataku perlahan dan melihat langit-langit kamar yang berwarna putih dengan bau pembersih yang begitu menyengat. Aku  tahu ini adalah rumah sakit. Tempat yang sudah ratusan kali menjadi rumah singgahku.
Rissa? panggil Kak Renal pelan.
Aku menoleh ke arahnya dan mencoba tersenyum kecil.
Kakak kembarku ini bernama Renaldy Alfred. Dia laki-laki yang sempurna dan aku menyayanginya. Tak ada sedikit pun kekurangan dalam dirinya. Tidak seperti aku.
Berapa lama aku disini? tanyaku lirih.
“Tiga hari. jawab Kak Renal seraya membelai rambutku dengan lembut.
Apa? Aku tidak sadarkan diri selama tiga hari?
Minggu depan kamu akan menjalani operasi pencangkokan ginjal. Jadi, kamu harus siap-siap ya. kata Kak Renal seraya menyunggingkan senyum tenangnya yang selalu bisa membuat hatiku bahagia. Namun tidak kali ini.
Memangnya ada orang yang dengan rela mendonorkan ginjalnya? tanyaku bingung.
Ada. Kamu tenang saja. Semua pasti akan berakhir dengan baik.” jawabnya yakin.
Perlahan Kak Renal memelukku, mendekapku lembut di dadanya.
Rissa, kamu harus berjanji pada Kakak. Kamu akan tetap baik-baik saja. Kamu akan tetap tersenyum dan memandang langit biru tanpa kesedihan. Kamu akan tertawa, berlari, dan melanjutkan hidup kamu layaknya remaja lain. Kamu harus berjanji, apa pun yang terjadi, kamu akan selalu bahagia dalam hidup kamu. Kamu harus janji, Rissa. ucap Kak Renal serius. Nadanya dipenuhi dengan berbagai emosi yang tak bisa kugambarkan.
Aku tertegun. Entah mengapa, kurasa ada sesuatu yang tidak benar sedang terjadi.
Rissa, kamu janji? tanya Kak Renal sambil menatapku. Matanya memancarkan kesungguhan serta berjuta rasa sayang yang aku yakini selalu diberikannya untukku.
Aku terdiam sesaat. Aku memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Namun ketika kutatap kembali mata teduh sarat akan kejujuran milik Kak Renal, hatiku seakan diliputi keyakinan bahwa semua baik-baik saja. Aku memilih untuk mengenyahkan perasaan aneh itu, lalu lambat-lamba mengangguk.
Aku akan berjanji tentang hal apa pun, asalkan Kak Renal selalu ada di samping aku." janjiku sambil tersenyum lembut.
Kak Renal mengecup keningku, lalu berbisik.
Kakak akan selalu ada di hati kamu.

***

Sepuluh hari kemudian
Aku membuka mata perlahan. Entah untuk yang ke berapa kalinya dalam hidupku ini. Namun kali ini bukan Kak Renal orang yang pertama kulihat. Bukan senyum tenangnya yang menyapaku di awal kesadaranku. Bukan juga tangan hangatnya yang menggenggam tanganku.
Rissa? panggil Bunda lembut. Wajahnya menyiratkan duka mendalam. Meskipun begitu semburat lega tetap muncul di wajahnya.
Di mana Kak Renal? tanyaku lirih.
Dia baik-baik saja, Rissa. Dia bahagia sekarang. Sama seperti kamu.jawab Bunda.
Serta-merta firasat buruk membayangi perasaanku.
Bunda, di mana Kak Renal? Kenapa dia nggak ada di sini? tanyaku panik.
Bunda mulai menangis dan menutup wajahnya. Satu suara lirih berbisik dihatiku. Dan aku merasakan ada sesuatu yang berubah dari dalam ragaku. Seperti separuh nyawaku lenyap. Hilang. Meninggalkan rasa hampa yang tidak kumengerti.
Apa? Ada apa? Kenapa? Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Hati kecilku terus membisikkan jawaban, namun aku tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Tidak.
Bunda menyerahkan amplop berwarna kuning yang sedari tadi di pegangnya. Perlahan kubuka amplop itu. Ada tiga lembar kertas di dalamnya yang berisi tulisan tangan Kak Renal. Kubuka lipatan kertas itu dan kubaca lembar pertama dengan tangan gemetar.

Rissa
Saat kamu membuka surat ini, pasti aku sudah tidak ada disamping kamu. Aku minta maaf karena tidak bisa merayakan hari ulang tahun kita bersama-sama. Tapi aku harap, hadiah yang aku berikan cukup untuk menggantikan ketidakhadiranku.
Rissa, ada satu hal yang tidak pernah aku ceritakan pada kamu. Dulu, pada tanggal 14 Februari 1993, telah lahir bayi kembar. Bayi itu kemudian diberi nama Renal dan Rissa. Kamu tentu tahu itu. Tapi sebenarnya perut kita menyatu. Kita ini kembar siam. Setelah dilakukan pemeriksaan, kita bisa dipisahkan. Hanya saja salah satu dari kita akan kehilangan satu ginjalnya, karena di perut yang menyatu itu hanya terdapat tiga ginjal. Jadi terpaksa, salah satu dari kita harus hidup dengan satu ginjal.
Akhirnya Ayah dan Bunda memilih untuk memberikan aku dua ginjal dan mengorbankan kamu. Sungguh, seandainya saat itu aku tahu dan mengerti, aku tidak akan pernah mengorbankan kamu. Aku benar-benar minta maaf, Rissa. Karena aku, kamu harus merasakan kesedihan dalam hidup kamu, dan kamu juga harus kehilangan masa-masa indah yang seharusnya kamu rasakan. Maafkan aku.
Tapi sekarang aku sudah mengembalikan ginjal kamu. Anggap saja, ini sebuah hadiah ulang tahun terbaik yang bisa aku berikan.

            Aku menangis tersedu-sedu. Otakku seakan berhenti berpikir. Dan yang dapat kurasakan hanya rasa sedih tak berujung ini. Kubuka lagi lembar selanjutnya.

Kamu pernah bertanya padaku, apakah ada orang yang dengan rela memberikan ginjalnya untuk kamu? Tentu saja ada. Orang itu dengan bersuka rela akan memberikan apapun untuk kamu. Dia tidak hanya akan memberikan ginjalnya, tapi dia juga akan memberikan seluruh hidupnya untuk kamu. Kamu tahu kenapa? Karena dia sangat menyayangi kamu.
Maafkan aku jika saat ini aku membuat kamu menangis. Tapi percayalah padaku, aku melakukan semua ini untuk kebaikan kamu. Aku yakin, inilah jalan terbaik yang diberikan Tuhan untuk kita.
Terima kasih untuk tujuh belas tahun kehidupan yang sangat indah. Terima kasih untuk seluruh kasih sayang dan kepercayaan yang kamu berikan. Terima kasih sudah membuat hidupku sempurna dengan semua canda, tawa, air mata, dan senyum. Setelah ini, berjanjilah bahwa kamu akan baik-baik saja. Bahwa kamu akan tersenyum dan menatap langit biru tanpa kesedihan. Bahwa kamu akan melanjutkan hidup kamu layaknya remaja lain.
Berbahagialah untukku...

Isak tangisku semakin keras. Dadaku terasa sesak dan kepalaku berdenyut-denyut nyeri. Ya Tuhan, mengapa Kak Renal harus melakukan ini? Tidakkah ia tahu aku sangat membutuhkannya? Tidakkah ia tahu aku sangat menyayanginya?
Dengan hati yang sudah luluh lantak tak bersisa, kubuka lembar terakhir.

Percayalah padaku.
Walaup ragaku tak lagi kau lihat, kau sentuh, dan kau peluk, jiwaku tetap tinggal bersamamu.
Percayalah padaku.
Walau dunia berubah hingga tak lagi kau temukan cinta, cintaku tak kan pernah terhapus untukmu. Cintaku tetap abadi, bersemi dalam relung jiwamu.
Dan percayalah padaku.
Walau aku tak akan bisa lagi menemanimu, menjagamu, dan berada di sisimu, aku akan selalu ada di dalam hatimu.

Renaldy Alfred

***

Aku berdiri di hadapan makam Kak Renal. Angin sore yang berhembus dengan pelan seakan mencoba menenangkan batinku. Perlahan, aku duduk bersimpuh di samping makam dan mengelus permukaan batu nisannya.
Tertulis disana :
Renaldy Alfred Gunawan
14.02.1993  -  14.02.2010
Dia adalah lelaki terbaik yang pernah terlahir di dunia ini. Dia adalah kakak terhebat yang pernah dimiliki seorang adik. Dan dia adalah manusia tersempurna yang pernah ada dalam hidupku. Aku yakin, Tuhan akan memberikan tempat terbaik untuknya.
Sekarang aku tahu apa arti nama Kakak. ucapku seraya tersenyum lembut. Kukenang lagi hari-hari penuh warna yang kulewati bersama Kak Renal.
Senyumnya, tawanya, tatapan matanya, bahkan genggaman tangannya masih dapat kuingat dengan jelas. Seakan-akan ia ada disini bersamaku. Menemaniku, menjagaku, dan menyayangiku.
Renal. Diambil dari nama lain ginjal. Kakak diberi nama itu agar bisa menjadi ginjal di dalam kehidupanku. Dan benar, memang begitu kenyataannya. lanjutku pelan.
Aku menarik napas dalam, Kakak keliru saat mengatakan bahwa Kakak membuatku sedih, padahal sebenarnya Kakak-lah yang membuatku bahagia. Kakak juga keliru saat mengatakan bahwa Kakak membuatku kehilangan masa-masa indahku, padahal sebenarnya masa-masa indah itu aku rasakan saat ada Kakak di dalam hidupku. ujarku lirih.
Kuletakkan buket bunga matahari yang kubawa di atas makamnya, lalu bangkit berdiri dan berbisik pada angin sore yang membawa pesanku ke surga.
Thanks for loving me that much. I love you.  Always and forever.
Satu kertas yang kuletakkan di bawah buket bunga terbang ke langit tertiup angin. Aku tersenyum, lalu membalikkan tubuh dan mulai berjalan menjauh.

Aku percaya padamu.
Meskipun mentari tak kan memberikan sinarnya, rembulan meredupkan cahayanya, dan bintang menutupi kilaunya, jiwamu selalu ada bersamaku.
Aku percaya padamu.
Meskipun seluruh dunia membenciku, memusuhiku, dan ingin melukaiku, kau akan selalu menyayangiku, menjagaku, dan mencintaiku setulus hatimu.
Dan aku percaya padamu.
Meskipun jiwamu meninggalkan dunia ini, kau akan selalu hidup di dalam hatiku.

Rissania Vera