Selasa, 31 Desember 2013

Rival In New Year's Eve

Cloudy melangkah memasuki kelas barunya, lalu duduk di bangku dekat pintu tanpa menoleh untuk melihat teman sekelasnya. Ini adalah tahun pertamanya di SMA, namun Cloudy tidak merasa harus mencari teman. Alih-alih mengajak berkenalan orang di belakangnya, ia justru mengeluarkan novel Angels and Demons karya Dan Brown dan selanjutnya tenggelam dalam cerita itu.
            Ares bersiul pelan seraya memutar stik drum di tangannya. Kakinya menjejak mantap seiring dengan langkahnya yang mendekati pintu kelas. Ini adalah tahun pertamanya di SMA, dan Ares sungguh tidak sabar untuk bertemu dengan teman-teman barunya. Ares memandang berkeliling, dan tanpa sengaja menghentikan putaran stik drum di tangannya. Tak ayal stik drum kesayangannya melayang bebas dan mengetuk kepala seorang gadis.
          Sontak suara gaduh yang mengisi ruang kelas lenyap. Setiap pasang mata memandang ke arah bangku deretan depan, dan setengah tidak percaya ketika melihat Ares—siswa terpopuler angkatan tahun ini versi MOS—sedang mengusap kepala seorang gadis tidak dikenal.
        “Lo nggak apa-apa, kan? Maaf ya, gue nggak sengaja.” ucap Ares tulus.
      Cloudy menatap Ares dengan pandangan dingin, lalu menepis tangan Ares dari puncak kepalanya. Tanpa menyahut, Cloudy menunduk dan kembali membaca. Mengabaikan Ares.
        “Gue benar-benar minta maaf. Lo nggak marah, kan?” tanya Ares.
        Kini di sekeliling mereka sudah berkumpul penonton yang didominasi oleh siswa perempuan. Tentu saja mereka sibuk mencari perhatian Ares, namun Ares mengacuhkan mereka dan tetap menunggu dirinya dimaafkan oleh gadis bermata dingin di hadapannya.
         “Ayolah, kita ini teman. Sebagai teman harus saling memaafkan.” lanjut Ares.
         “Gue bukan teman lo dan sampai kapan pun gue nggak akan jadi teman lo.” sahut  Cloudy datar.
        Terang saja sahutan dari Cloudy mendapatkan banyak protes dari penonton. Mereka balas mencela Cloudy dan membela Ares. Namun sekali lagi, Ares mengabaikan mereka.
        “Kenapa lo nggak mau jadi teman gue?” tanya Ares dengan rasa ingin tahu yang murni. Sama sekali tak terdeteksi nada lain yang mengindikasikan bahwa Ares tidak serius.
          Cloudy mendongak, menatap Ares tepat di bola matanya tanpa ekspresi sedikit pun.
      “Karena lo tipe cowok yang nggak punya masa depan. Cuma bisa mengandalkan tampang dan kekayaan orangtua, menganggap sekolah sebagai ajang untuk pamer, dan satu-satunya mata pelajaran terpenting adalah bergaul.” jawab Cloudy tenang.
          Penonton semakin riuh protes, sementara Ares tersenyum mendengar jawaban itu.
          “Jadi menurut lo cowok yang punya masa depan itu seperti apa?” tantang Ares.
         “Yang masuk ke sekolah unggulan tanpa uang sogokan, selalu datang tepat waktu, selalu mengerjakan tugas, nggak nyontek saat ujian, jadi siswa aktif berprestasi, dan bisa jadi pemimpin di kelompok apa pun. Sudah pasti, masuk peringkat satu di kelas adalah kewajiban utama.” jelas Cloudy.
       Ares memudarkan senyumnya, lalu membalas tatapan Cloudy dengan kilat tegas dalam matanya. Dengan nada terkendali yang menekan setiap katanya, Ares membuat Cloudy mematung.
           “Gue akan buktikan kalau gue mampu jadi cowok yang punya masa depan versi lo. Gue bahkan bisa jadi lebih baik dari itu. Saran gue, lo harus siap-siap untuk mengakui gue sebagai teman lo. Dan saat hari itu datang, dengan segala hormat gue meminta lo untuk mengubah pemikiran dangkal lo dalam menilai orang lain. Karena orang yang lo nilai jelek, mungkin akan jadi lebih baik dari lo.” ujar Ares tegas.
         Setelah itu, Ares berjalan menuju bangku deretan belakang dan menyapa teman-temannya. Cloudy mengikuti setiap langkah Ares dengan tatapan datarnya, lalu kembali menunduk dan melanjutkan bacaannya. Sementara Ares menatap Cloudy dengan seulas senyum tipis yang sulit diartikan.

***

          “Pertanyaan terakhir!” seru Pak Kean, guru PKn yang menjadi pembaca pertanyaan di lomba Cerdas Tingkat Satu tahun ini. Beliau sengaja mengulur waktu, membuat suasana semakin menegangkan dan lebih dramatis.
         Setiap tahun SMA Blueshine selalu mengadakan pekan pelajaran di akhir tahun, yang isinya adalah berbagai jenis lomba berbau pelajaran. Hampir seluruh mata pelajaran dilombakan, dan lomba yang paling dinantikan adalah lomba Cerdas Tingkat Satu. Selain karena seluruh siswa diwajibkan berpartisipasi, lomba ini juga sebagai alat pengukur wawasan dan ingatan para siswa. Sudah pasti pemenang dari lomba Cerdas Tingkat Satu adalah siswa tercerdas di SMA Blueshine.
        Tahun ini, dua peserta terakhir yang memperebutkan gelar siswa tercerdas kelas sepuluh adalah Cloudy Navasli dan Ares Pragata. Mereka berdua bersaing ketat hingga babak terakhir, bahkan skor mereka pun sama. Pertanyaan terakhir inilah yang akan menjadi penentu kemenangan untuk siswa tercerdas tahun 2012.
        Ekspresi tegang penuh tekad tergambar jelas di wajah Cloudy. Gadis itu bahkan sudah meletakkan tangan di atas tombol bel. Sementara Ares yang berada di seberangnya, duduk bersandar dengan santai. Cowok itu sungguh tenang dan penuh percaya diri.
            “Akan tumbuh menjadi apakah spora tumbuhan lumut?” tanya Pak Kean lantang.
            Cloudy langsung memencet tombol.
            “Protalium.” jawab Cloudy tegang.
            “Salah! Kesempatan menjawab dilempar pada Ares!” seru Pak Galih, juri jawaban.
            Ares mendekatkan bibirnya pada mikrofon.
            “Protonema.” jawab Ares tenang.
            “Benar!” seru Pak Galih.
            Seluruh penonton yang memenuhi aula bertepuk tangan dan bersorak gembira. Sejak awal mayoritas siswa yang menonton memang mendukung Ares, bahkan beberapa guru juga. Tentu saja hal ini berdasarkan fakta bahwa Ares adalah siswa yang aktif, mempunyai lebih dari satu lusin sifat terpuji, salah satu atlet taekwondo paling berbakat, dan musisi terhebat yang dimiliki SMA Blueshine. Bahkan dia sudah dicalonkan menjadi ketua OSIS untuk tahun ajaran berikutnya.
        Setelah menerima piala, Ares turun dari panggung dan menyambut ucapan selamat dari teman-temannya dengan senyum ceria. Ia tertawa lepas dan membalas setiap ucapan dengan kalimat terima kasih yang tulus.
            Semua orang menyukai Ares. Awalnya karena kelebihan fisiknya, namun semakin lama orang-orang menyadari bahwa Ares sangat cerdas dan rendah hati hingga mampu berteman dengan siapa pun.
Berbeda dengan Cloudy yang nyaris tidak memiliki teman dan selalu sibuk dengan dunianya. Hampir tidak ada yang mengenal Cloudy. Yang mengenalnya hanya guru atau teman sekelasnya, yang kebetulan tahu namanya dari buku absensi.
           “Selamat, Cloud. Permainan lo bagus. Gue senang bisa ketemu lo di final dan belajar banyak dari lo.” kata Ares tulus sambil mengulurkan tangan.
            Cloudy menatap Ares dengan tatapannya yang biasa; datar.
            “Tahun depan, gue nggak akan kalah.” balas Cloudy. Kemudian ia membalikkan tubuh dan berjalan keluar dari aula.
Tepat saat Cloudy melangkah melewati pintu, setetes air mata meluncur menuruni wajahnya. Meninggalkan Ares yang berdiri terpaku di tempatnya.

***
           
            Satu tahun kemudian

            Sorak sorai penonton yang penuh dengan semangat, membahana di aula SMA Blueshine. Lomba Cerdas Tingkat Satu yang memasuki pertanyaan terakhir membuat suasana semakin menegangkan.
           Segalanya hampir sama seperti tahun sebelumnya, namun kini yang membedakan adalah skor mereka yang berselisih satu angka—dengan skor Ares unggul—dan bahwa ini lomba Cerdas Tingkat Satu terakhir yang bisa diikuti oleh Cloudy. Setelah ini, sama sekali tidak akan ada kesempatan untuk Cloudy.
            “Pertanyaan terakhir! Sebutkan manfaat dari tumbuhan lumut!” ucap Pak Kean.
          Ares dan Cloudy sama-sama terdiam. Juri memberi kesempatan sepuluh detik untuk berpikir sebelum melemparnya pada Cloudy, lalu pada Ares.
            “Waktu habis! Sebutkan jawaban Anda, Cloudy Navasli.” seru Pak Galih.
            “Sebagai obat kanker.” jawab Cloudy.
            “Salah! Sebutkan jawaban Anda, Ares Pragata.” kata Pak Galih.
            Seluruh penonton mulai bersiap untuk bertepuk tangan, tahu bahwa jagoan mereka akan kembali memenangkan lomba tahun ini.
            Selama sesaat Ares memandangi Cloudy dengan tatapan lekat, namun gadis itu tetap bergeming. Tak mau menatapnya meski untuk satu detik.
            “Saya tidak tahu.” jawab Ares kemudian.
            Semua orang yang berada di aula membelalakkan mata dan menatap Ares dengan pandangan tidak percaya. Jika Ares salah menjawab, sudah pasti mereka bisa mengerti. Namun Ares justru menjawab tidak tahu. Hal ini menciptakan tanda tanya besar di kepala setiap orang, termasuk Cloudy.
            “Skor akhir untuk Ares Pragata adalah tiga puluh tiga dan Cloudy Navasli tiga puluh dua. Dengan ini, Ares Pragata dinyatakan sebagai pemenang lomba Cerdas Tingkat Satu tahun 2013!” seru Pak Dhoni, kepala sekolah SMA Blueshine.
          Penonton langsung berseru dan bertepuk tangan meriah. Mereka bahkan sudah menciptakan lagu untuk kemenangan Ares. Segera saja aula yang tadinya sunyi senyap kini seakan bergetar karena berbagai jeritan dan siulan.
        Ares menerima piala, lalu turun dari panggung dan menerima ucapan selamat dengan senyum. Beberapa kali ia menganggukkan kepala, namun matanya tetap bergerak mencari seseorang. Setelah menemukan orang itu, Ares segera melangkah meninggalkan teman-temannya yang menatapnya dengan bingung.
            “Cloud, tunggu!” seru Ares seraya menarik tangan Cloudy.
            Gadis itu berbalik, lalu menatap Ares. Tatapan datarnya tetap tidak berubah.
         “Selamat atas kemenangannya. Lo memang hebat dan layak untuk gelar siswa tercerdas.” ucap Cloudy tenang.
           Ares menatap Cloudy tanpa mengendurkan cengkraman tangannya. Tidak terasa sakit, namun Cloudy merasa tidak nyaman. Cloudy tahu tak lama lagi air matanya akan mengalir di wajahnya, dan ia tidak mau menangis di hadapan rivalnya.
            “Gue nggak butuh ucapan selamat dari lo.” sahut Ares.
            Cloudy tersenyum miris. Gadis itu tahu, yang diinginkan Ares adalah pengakuan kekalahannya.
           “Jadi lo mau gue minta maaf dan mengakui ke seluruh penghuni sekolah bahwa gue kalah dari lo yang dulu gue nilai sebagai cowok tanpa masa depan? Atau lo punya permintaan lain yang lebih kreatif dari itu?” tanya Cloudy.
            Hening. Tanpa mereka sadari, aula kini sudah berubah menjadi hening. Bahkan tarikan napas pun dapat terdengar dan bergema di ruangan itu.
            “Cukup, Ares.” bisik Cloudy.
            Ares menahan kalimat di ujung bibirnya, melepas pegangannya pada tangan mungil itu, dan sekali lagi membiarkan gadis bermata sekelam langit malam itu melangkah pergi meninggalkannya.

***

Hamparan sawah dengan perbukitan sebagai latar belakang adalah objek yang paling mendekati kesempurnaan bagi Cloudy, atau setidaknya sebelum sosok Ares Pragata menghantui hidupnya dan membuat segala hal di sekitarnya nampak tidak berarti.
Cloudy menatap hampa pemandangan indah di hadapannya, membiarkan tubuhnya berguncang mengikuti gerakan mobil yang dikemudikan ayahnya melewati jalan berbatu. Waktu menuju pergantian tahun seakan berlari sementara Cloudy hanya berdiam diri. Merenungi nasib; menyesali dua kali kegagalannya mengalahkan Ares dalam lomba itu.
“Cloudy, ayo turun.” ajak Vander—kakak Cloudy—seraya menepuk lengan adiknya.
Cloudy menghela napas, lalu melangkah keluar dari mobil dan langsung berhadapan dengan sebuah danau yang di kelilingi villa unik bernuansa kayu. Udara di sekelilingnya yang sangat sejuk mendukung kilau warna oranye lembut yang tengah menyelimuti langit, seakan mencoba menina-bobokan saraf-saraf yang tegang. Cloudy mengerjap kagum dan memutuskan dalam hati bahwa ia menyukai tempat itu.
Sementara Cloudy membiarkan matanya menjelajahi villa itu, Vander sibuk dengan ponselnya untuk mengetik. Tak lama kemudian ponselnya berbunyi, membuat Cloudy melayangkan pandangan bertanya.
“Ya, gue di Bogor. Nama tempatnya Panjang Jiwo, di kampung Cijulang. Balik ke Jakarta lusa. Lo ikut gabung saja. Orangtua gue pasti nggak keberatan. Gue tunggu ya.” ucap Vander lugas.
            Setelah Vander menurunkan ponsel, ia membalas tatapan adiknya yang lebih muda tiga tahun darinya dengan seulas senyum riang.
            “Kamu ingat cerita tentang teman satu klub taekwondo Kakak itu, kan?” tanya Vander.
            “Ya. Dia lebih muda dari Kakak tapi kemampuannya lebih hebat dan yang membuat Kakak semakin kagum adalah karena dia itu punya cerita hebat yang sayangnya nggak mau Kakak ceritakan ke aku.” jawab Cloudy.
            Vander tertawa dan mengangguk.
            “Nah, dia mau gabung sama kita. Gimana menurut kamu?” balas Vander.
            “Setelah Kakak minta dia untuk datang, Kakak baru tanya pendapat aku. Memang ada gunanya?” sahut Cloudy datar.
            Gadis itu membalikkan tubuh sementara Vander menggeleng pasrah, menyadari sikap dingin adiknya sudah kembali naik ke permukaan. Vander hanya bisa berharap, kedatangan temannya akan mencairkan dinding es dalam diri Clody.
        Namun harapan tetap menjadi harapan, karena beberapa jam kemudian sikap dingin itu justru membalut Cloudy dengan sempurna. Cloudy bahkan tidak bersedia mengucapkan sepatah kata pun selama makan malam berlangsung. Ia hanya diam, mengabaikan setiap pertanyaan paling sederhana sekali pun.
           Setelah menyelesaikan makannya, Cloudy meminta izin untuk pergi ke kamarnya. Kedua orangtuanya hanya mengangguk, tak ingin mengusik kegundahan gadis kecilnya yang sedang beranjak dewasa. Sedangkan Vander menghela napas lelah melihat tingkah polah adiknya yang sungguh tidak bisa dikategorikan sebagai orang ramah.

***

            Cloudy melangkah cepat menuju tangga demi menghindari sosok itu. Cloudy tidak menyangka hantu dalam benaknya bisa mewujudkan diri secara nyata dalam waktu secepat kilat. Cloudy berpikir ia bisa melewati malam tahun baru dengan nyaman dan membosankan seperti biasa, namun kenyataan berkata lain dengan menghadirkan sosok itu; Ares Pragata.
            “Cloud!” panggil Ares lantang.
        Sontak puluhan tatap mata tertuju padanya, namun ia tidak peduli karena bukan gadis yang dipanggilnya yang menoleh. Ia tetap memanggil dengan suara lantang, sementara kedua kakinya berusaha menjajari langkah Cloudy.
            Ketika akhirnya berhasil membuat Cloudy menghentikan langkah, Ares menghela napas lega.
            “Gue harus jawab pertanyaan lo.” ucap Ares.
            “Gue nggak pernah nanya apa pun ke lo.” sahut Cloudy.
           Ares berdecak, lalu mengacak rambutnya dengan gemas. Tanpa kata, ia menarik tangan Cloudy menuju ujung danau tempat berdirinya puluhan lilin. Alih-alih romantis, Ares merasa konsep itu terlalu berkesan menghemat listrik. Atau mungkin dirinya saja yang tidak diberkati jiwa romantis.
        “Apa dua kali kemenangan atas gue belum cukup, Ares? Bagi gue, lo sudah lebih dari cukup membuktikan diri lo. Gue nggak tertarik untuk terlibat dalam hal apa pun lagi bareng lo. Gue sudah merasa cukup. Lebih dari cukup.” kata Cloudy dingin. Meski begitu, kedua tangannya terkepal erat demi menyembunyikan getarannya.
            Ares memandang Cloudy lekat, membiarkan cahaya lilin membuat bayang gelap dari gadis sedingin es di hadapannya. Ares mengagumi Cloudy, bersamaan dengan kesadaran meresahkan bahwa jantungnya tak mau berdetak normal.
            “Bisa dipercepat? Gue nggak punya waktu selamanya cuma buat berdiri di sini dan membiarkan lo meneliti gue seperti artefak di museum.” ucap Cloudy datar. Tetap tanpa menatap Ares.
            Ares menarik napas dalam-dalam, lalu mempersempit jarak dengan tambahan satu langkah. Kedua tangannya menyentuh bahu Cloudy lembut, memaksa gadis itu menatapnya.
            “Satu minggu yang lalu, lo bertanya apa gue punya permintaan lain yang lebih kreatif selain meminta lo untuk minta maaf. Saat itu gue terlalu ragu untuk meminta, tapi setelah berpikir ulang selama ribuan kali, akhirnya gue yakin bahwa cuma ini satu-satunya permintaan yang bisa gue minta ke lo.” sahut Ares serius.
            Cloudy terpaku dalam bayang semu sementara waktu berlalu. Mungkin ia hanya meracau, namun gadis itu yakin bahwa kini mereka membeku. Seakan hanya ada mereka dalam satu frame itu.
“Gue mau lo tersenyum untuk gue, Cloud. Gue mau lo menatap gue dengan lembut, tanpa sinar persaingan. Dan gue mau lo menangis di bahu gue, bukan di balik punggung gue.” ucap Ares sungguh-sungguh.
            “Sejak awal gue nggak berminat jadi anak tercerdas. Gue cuma mau lo bisa lihat gue dan jadi teman gue. Tapi semakin gue jadi orang seperti yang lo bilang akan punya masa depan, lo justru semakin menjauh. Jadi juara umum, atlet taekwondo, musisi hebat, dan ketua OSIS, semua itu gue lakukan supaya gue bisa jadi teman lo. Gue mau jadi teman lo, bukan rival lo.” lanjut Ares lembut.
            Cloudy menggeleng lemah.
            “Lo bohong. Lo cuma kasihan sama gue.” sahut Cloudy.
            Ares tersenyum sendu, membiarkan gadis di hadapannya melihat dirinya apa adanya.
           “Beberapa hari sebelum MOS, kedua orangtua gue meninggal. Mereka pergi dan membiarkan gue melewati masa-masa itu sendiri. Kakak perempuan gue tinggal di Singapura dan dia cuma merasa berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan finansial gue. Apa lo bisa membayangkan seperti apa rasanya? Ketika semua orang menganggap gue sempurna dan memuja gue, gue justru merasa muak dan tersesat. Cuma lo yang menganggap gue normal. Setelah pertemuan konyol kita itu, gue merasa normal. Gue mampu untuk kembali berharap. Setiap harinya setelah hari itu, gue selalu memikirkan lo dan cara-cara yang memungkinkan gue untuk membuat lo melihat gue. Tanpa sadar lo menjadi candu bagi gue. Gue menjadi lebih kuat karena lo, Cloud. Gue mampu melangkah tegak demi lo. Bagi gue, lo adalah harapan, Cloudy Navasli.”
         Cloudy menangis. Ia membiarkan air mata berguguran membasahi wajahnya. Benaknya dipenuhi berbagai gambaran tentang sosok Ares yang berdiri di hadapan makam kedua orangtuanya dan tetap mampu menjalani hidup dengan baik. Ares tidak menyia-nyiakan apa pun. Ares justru mensyukurinya. Sedangkan Cloudy, apa yang dia lakukan selain mementingkan dirinya sendiri?
Kali ini, Cloudy membiarkan Ares memeluknya, menenangkannya dengan sabar dan penuh kelembutan. Sementara Cloudy menyesali seluruh prasangka buruk yang telah ditimbunnya.
            “Terima kasih karena lo mau nangis di bahu gue. Lo tahu? Itu adalah keinginan terbesar gue selama dua tahun belakangan ini.” aku Ares dengan wajah sedikit memerah.
            Cloudy tertawa pelan seraya mengurai pelukannya.
            “Lo itu punya segalanya tapi justru mau gue nangis di bahu lo? Benar-benar konyol.” sahut Cloudy.
           Ares mengangkat bahu acuh tak acuh, sementara bibirnya membentuk sebuah lengkung sempurna yang terlihat manis.
            “Tapi lo tahu, keinginan terbesar gue saat ini adalah menjadi satu-satunya cowok yang selalu ada di samping lo dan jadi tempat bersandar lo. Lo setuju untuk mengabulkan keinginan gue?” tanya Ares penuh harap.
          Cloudy merasa jantungnya berhenti berdetak selama sesaat, kemudian kembali berdetak dengan kecepatan luar biasa cepat. Setelah hening menegangkan yang terasa sangat lama, akhirnya Cloudy tersenyum tipis.
            “Gue akan jawab, tapi bukan sekarang.” jawab Cloudy.
           Ares membalas senyum Cloudy dengan tulus, membiarkan kedua tangannya menangkup wajah cantik di hadapannya.
            “Gue tunggu.” sahut Ares tenang.
Malam itu, diiringi ledakan warna-warni kembang api yang mewarnai langit, Cloudy tertawa lepas bersama keluarganya. Mereka mengingat segala hal yang mengisi tahun 2013 seraya mengharapkan segala hal terbaik untuk tahun 2014.
Cloudy menatap wajah Ares yang dihiasi tawa riang dengan hati mengucap syukur. Pada akhirnya ia benar-benar tahu bahwa Cloudy Navasli hanya memiliki satu jawaban untuk Ares Pragata. Sekarang atau pun nanti, hanya akan ada satu jawaban.
            Dan jawaban itu tentu saja bukan tidak.


Kamis, 19 Desember 2013

Pilihan untuk Pilihan

Pilihan. Satu kata sedehana yang menentukan takdir kehidupan dalam berbagai bidang. Bukan hanya untuk manusia, tapi juga seluruh hal yang eksis di dunia. Pernahkah kalian membayangkannya? Pilihan yang kita buat, akan mempengaruhi orang lain. Pun begitu sebaliknya. Dan seperti segala hal di dunia ini, di mana ada aksi pasti ada reaksi. Sama seperti dengan adanya sebab maka muncul akibat.
            Pembicaraan mengenai pilihan tak memiliki awalan ataupun akhiran. Pilihan yang kita pilih detik ini, akan membawa kita pada pilihan berikutnya. Maka dapat disimpulkan bahwa kalimat “hidup ini pilihan” adalah benar adanya, meski tidak sungguh-sungguh tepat, setidaknya kalimat itu sudah mencangkup banyak definisi dari pilihan.
            Inti dari postingan gue kali ini adalah tentang pilihan ketika kita bertemu seseorang. Yeah, gue sedang dalam mood cloudy, yang kalau ditiup angin sedikit saja langsung menyemburkan hujan. Dan rangkaian paragraf ini adalah buah pemikiran dari kegalauan gue.
            Ketika kita bertemu seseorang, kita mendapat tiga pilihan.
            Pertama, kita dapat mengabaikannya.
            Kedua, kita dapat melihatnya lalu melupakannya.
            Ketiga, kita dapat bertaut padanya. Memberikan perhatian kita, membiarkan kita mengenalnya, hingga sampai pada kesimpulan untuk menyukainya atau tidak.
            Dan gue sudah pernah memilih ketiga pilihan tersebut. Semuanya memiliki risiko yang sepadan, hanya tinggal tergantung bagaimana kita memandangnya. Untuk pilihan pertama, risikonya adalah kita bisa kehilangan satu kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan. Mungkin saja orang yang kita abaikan di dalam angkutan umum, di jalan, atau bahkan di warung—tanpa kita lihat sedikit pun—sebenarnya dapat membawa kebaikan dalam hidup kita.
            Sementara untuk pilihan kedua, kita sudah berani melihatnya, namun kita memilih untuk mengabaikan pada akhirnya. Kenapa? Ada banyak jawaban. Risikonya? Kita bisa menyesal, karena kita sudah melewatkan kesempatan baik atau justru bersyukur karena sudah melewatkan kesempatan buruk. Sekali lagi, tergantung bagaimana kita memandangnya.
            Dan untuk pilihan ketiga, kita sudah melakukan hal besar. Kita memberi kesempatan. Bukan hanya kesempatan untuk mendapat kebaikan, tapi juga keburukan. Misalnya, kita memberi kesempatan pada diri kita untuk mengenal seseorang. Lalu kita memutuskan bahwa kita menyukai orang tersebut. Nah, hanya ada dua kemungkinan dari pilihan itu. Kita akan berakhir bahagia karena orang itu tidak menyia-nyiakan kita atau kita akan berakhir dengan rasa sakit karena orang itu tidak sesuai harapan kita ketika memilihnya.
            Pada dasarnya tidak adalah pilihan baik ataupun buruk. Pilihan hanya menyediakan kemungkinan. Kita yang membuatnya baik dan buruk, karena proses yang kita lalui setelah memilih yang menentukan akhir dari pilihan awal.
            Banyak orang memilih untuk menyalahkan pilihan awal ketika risiko datang menimpa. Padahal mungkin saja kitalah yang melakukan kesalahan dalam prosesnya. Kesulitan utama yang dihadapi manusia ketika memilih adalah tetap berada secara konsisten di jalan pilihannya.
            Karena itu, mungkin hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk menyikapi segala pilihan itu adalah dengan memilih pilihan yang hati kita yakini. Bukan pilihan mana yang lebih baik, karena mungkin saja pilihan yang lebih baik itu sebenarnya kurang baik untuk kita.
Dan satu hal yang gue pegang teguh saat menjalani pilihan adalah gue harus memanfaatkan segala peluang dan memaafkan seluruh risikonya. Hanya dengan itu gue nggak akan berkubang dalam penyesalan, dalam bentuk apa pun.

Hari Kamis yang Mendung, 19-12-13
Dag-dig-dug menunggu rapor

Sambil repeat lagu Words dari Skylar Grey