Sabtu, 04 Oktober 2014

The Truth 'bout Reality

           Ternyata, kenyataan itu selalu lebih susah dibanding bayangan. Dan sayangnya, hal itu berlaku nyaris untuk segala hal.
            Contohnya, pekerjaan. Gue akhirnya berhasil mendapat pekerjaan di salah satu perusahaan retail di Jakarta dan hari ini adalah hari terakhir training. Semuanya standar; gaji standar dan jam kerja standar. Tapi cara kerjanya itu yang nggak biasa; capek luar biasa.
Dulu gue selalu berpikir, setelah gue bekerja, semuanya akan menjadi lebih baik. Lebih mudah. Yah sejauh ini sih gue belum membuktikan kebenarannya. Karena selain badan remuk juga batin yang teraniaya, gue belum merasa lebih baik. Apalagi lebih mudah. Tapi gue selalu berdoa, semoga hal-hal baik akan datang seiring berjalannya waktu dan pada akhirnya akan membuat hidup gue lebih baik. Toh nggak ada pekerjaan yang nggak capek, kan? Apalagi buat anak lulusan SMA biasa yang nggak punya keterampilan apa-apa. Seenggaknya, ada satu hal yang bisa gue syukuri; gue punya teman-teman baru yang meskipun annoying, tapi seru.
            Seiring berjalannya waktu, gue pun belum menemukan jurusan untuk kuliah nanti. Entah kenapa, rasanya susah kuadrat cuma untuk menentukan hal kecil itu. Padahal setiap orang pasti punya passion, kan? Terus apa masalahnya sampai gue masih terombang-ambing di tengah-tengah pilihan? Yang sebenarnya nggak bisa disebut pilihan juga, karena gue bahkan nggak pernah berani untuk sekedar mempertimbangkan pilihan itu.
            Terkadang gue nggak bisa memahami diri gue sendiri. Di saat teman-teman gue sibuk menjalani pilihan 50%-nya supaya jadi 100%, gue masih stuck di tempat. Padahal gue adalah tipe orang yang sok sibuk dan selalu yakin. Entah kenapa, makin dewasa gue justru makin pesimis. Mungkin ini penyakit hati ya? Dan gue tahu, satu-satunya obat untuk penyakit ini adalah diri gue sendiri. Karena gue nggak akan sampai di mana pun, kalau gue nggak mau bergerak.
            Gue nggak akan sukses, kalau nggak berusaha keras dari sekarang.
            Dan untuk langkah pertama, gue akan berusaha keras untuk bertahan di pekerjaan baru gue ini. Meskipun harus nyuci tempat sampah, ngosrek kamar mandi, juga jadi pemulung, setidaknya ini langkah kecil yang bisa mengawali segalanya. Siapa tahu nanti gue bisa jadi wanita karier sekaligus penulis juga punya keluarga yang happily ever after?
Selagi masih muda, bermimpilah yang tinggi. Jadi kalau jatuh nanti nggak akan terlalu jauh dari mimpinya. Amin.

Hari Lebaran Embe, 5-10-14
Setelah masuk shift 3 dan baru tidur 2 jam

Sambil dengerin lagu Need You Now versi Glee

Jumat, 29 Agustus 2014

In the Middle of Mental War

          Terkadang, manusia cenderung lebih mudah mengabaikan hidup yang sedang dijalani dibanding hidup yang akan mereka jalani. Dengan kata lain, mereka lebih mengutamakan hidup yang akan mereka jalani.
            Dan dengan sangat amat menyesal gue harus bilang bahwa gue adalah salah satu dari ‘mereka’.
            Gue sudah sering memikirkan hal ini, terutama beberapa bulan terakhir sejak kelulusan dan gue resmi menyandang status pengangguran. Dulu, gue selalu berpikir bahwa kehidupan gue setelah lulus sekolah akan menjadi lebih baik. Gue memimpikan banyak hal. Bukan sesuatu yang buruk, namun terasa amat buruk ketika mimpi itu masih berupa mimpi.
            Kini, di saat teman-teman gue sibuk mem-posting kegiatan mereka sebagai mahasiswa baru, gue hanya duduk di sudut rumah dan membaca hal itu satu persatu. Di saat teman-teman gue sibuk curhat soal perjalanan yang mereka lakukan dari kampus ke rumah dan foto bareng teman-teman baru, gue justru dalam perjalanan memutari Jakarta yang panas bin macet. Gue benci mengakui ini, tapi sering kali gue berharap bahwa gue juga ada di posisi mereka. Bisa kuliah, nggak perlu sibuk cari kerja, juga nggak perlu makan hati karena harus hidup numpang. Okay, gue mulai jadi orang yang benar-benar profesional dalam hal mengeluh.
            Gue nggak tahu apa yang harus gue harapkan, tapi satu hal yang gue tahu adalah gue harus tetap percaya bahwa hidup gue akan menjadi lebih baik. Setidaknya gue masih punya mimpi, juga prinsip yang melindungi mimpi itu. Masa lalu gue menentukan diri gue saat ini, dan gue nggak menyesali itu sedikit pun. Toh pada intinya gue masih hidup. I’m survive.
            Dan hidup selalu memberikan kesempatan kedua. Kesempatan yang disebut sebagai hari esok. Jika saat ini hidup tidak berpihak pada kita, maka yakinlah detik berikutnya hidup akan berpihak pada kita. Sejak awal hidup sudah adil. Kenapa? Karena hidup sama-sama tidak adil pada semua orang.
            Saat bikin posting ini, gue masih dalam status pengangguran. Gue sudah melamar kerja ke 3 tempat berbeda. Tempat pertama menolak karena gue pakai kacamata. Kemudian pergilah gue ke optik dan beli lensa kontak—yang menghabiskan waktu 2 jam untuk belajar pakai dan lepas. Tempat ke dua menolak karena gue nggak bersedia membiarkan ijazah gue ditahan selama gue kerja. Sedangkan tempat ke tiga mensyaratkan gue harus pakai behel, yang mana terpaksa gue tolak karena biaya pasang behel itu seharga dengan gaji gue dua bulan, terus apa untungnya gue kerja kalau begitu jadinya?
            Yah, hidup memang tidak adil. Tapi setidaknya hidup tidak adil pada semua orang.

Hari Penuh Emosi Sedunia, 29-08-14
Setelah disindir soal gigi nggak rapi

Sambil dengerin Clarity versi Sam Tsui

Sabtu, 17 Mei 2014

Review : Tokyo karya Sefryana Khairil


Judul Buku : Tokyo: Falling
Penulis : Sefryana Khairil
Penerbit: GagasMedia
Tebal : 338 Halaman
Tahun Terbit: 2013
Harga: Rp 53.000,-

Spoiler Alert!

            Di sanalah aku dan kamu bertemu, tanpa pernah membuat janji lebih dulu.
          Tokyo membawa kita menyelami dua kehidupan berbeda milik Thalia dan Tora, dua orang wartawan dari Indonesia yang dipertemukan oleh sebuah lensa di Negeri Sakura. Berawal dari insiden yang merusak lensa Thalia—dengan Tora sebagai tersangka utamanya—mereka berdua akhinya setuju untuk menjelajah juga meliput Tokyo bersama.
     Menyatukan dua orang yang asing sepenuhnya jelas bukan hal mudah. Mereka harus banyak berkompromi, saling bertoleransi, hingga akhirnya waktu mengubah setiap sisi hati. Perjalanan Thalia dan Tora yang diisi dengan canda juga tawa membuahkan sebuah rasa baru yang tak lagi asing; cinta.
Orang bilang cinta itu sederhana, meski seringnya tidak sesederhana yang kita kira.
          Thalia dan Tora memiliki cerita cinta masing-masing. Thalia dengan Dean-nya yang supersibuk namun menawarkan segala hal yang Thalia impikan, sementara Tora dengan Hana-nya yang tiba-tiba meminta putus setelah lima tahun menjalin hubungan.
         Selama kebersamaan singkat mereka di Tokyo—sepuluh hari tepatnya—Thalia dan Tora berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka berkenaan dengan cinta.
            Thalia adalah wanita mandiri dengan keluarga utuh. Ia mencintai fesyen dan selalu bertindak ceroboh. Itulah yang pada akhirnya membuat Tora yang selalu hidup dengan mengikuti angin tanpa ditemani keluarga lengkap, jatuh hati. Tora yang selalu tampil cuek dengan pakaian khas backpaker juga rambut yang jarang rapi, merasakan keinginan mendesak untuk melindungi Thalia. Mereka saling mengisi kekosongan dan pada akhirnya enggan beranjak pergi.
            Aku takut kita hanya pesinggah. Hati kita yang tak utuh menghadirkan rasa terbelah.
          Hari demi hari berlari, sementara hati milik Thalia dan Tora tak ingin berganti. Mereka telah menyadari bahwa ada sesuatu yang penting terjadi di antara mereka, dan setelah kerelaan Tora untuk melepas Hana, tak ada lagi hal yang nampak menghalangi. Saat itulah Dean datang. Ia menawarkan sebuah perwujudan untuk setiap mimpi Thalia; pernikahan. Dan Tora tidak menawarkan apa pun karena ia memutuskan untuk pergi.
            Aku berharap bisa menghindarimu. Namun, kau selalu ada di tempat yang aku tuju.
          Thalia yang bimbang demi mendengar lamaran Dean, akhirnya menerima pria itu. Ia memikirkan Tora, karena tentu saja cintanya telah menemukan muara. Hatinya mengukirkan nama Tora. Namun mengingat kepergian Tora, Thalia memutuskan untuk berhenti berharap.
        Pada bagian-bagian awal, saya merasa ikut terlibat langsung dalam setiap percakapan mereka. Ditemani suasana kota Tokyo yang pekat, saya terkesan dengan cara bernarasi Sefryana Khairil yang manis namun tidak melupakan unsur realistis. Tokoh Tora yang terkesan santai tapi diam-diam peduli juga membuat saya semakin betah untuk tenggelam lebih dalam di novel ini.
Namun satu hal benar-benar membuat saya kecewa adalah keputusan Tora untuk mundur. Ia memilih lari dari pada memperjuangkan Thalia. Tapi mengingat masa lalu Tora, saya bisa memahaminya. Lagi pula, bukankah itu masalah yang paling sering dijumpai di kehidupan nyata? Kepengecutan pihak pria yang menyerah untuk memperjuangkan wanitanya.
Saya tahu pada akhirnya Thalia dan Tora akan bersama. Hal yang lumrah bukan, memisahkan kedua tokoh utama lalu kembali menyatukan mereka di akhir halaman? Terlebih lagi saat Thalia memutuskan untuk membatalkan pernikahannya, saya sudah seratus persen yakin, Thalia akan bersatu dengan Tora.
Namun sekali lagi, Sefryana Khairil membuat saya tercengang dengan akhir kisah yang dipilihnya. Memang kedua tokoh utamanya dipertemukan kembali, tapi mereka masih terlilit oleh setiap kesalahpahaman juga proses menuju penerimaan. Thalia dan Tora justru berakhir dengan kepergian Thalia setelah pengungkapan cintanya, sementara Tora hanya mematung di belakangnya.
Para pembaca tidak diberi sebuah akhir yang jelas, namun penulisnya menerangkan kesungguhan Tora yang kali ini bertekad akan memperjuangkan Thalia hingga ujung dunia. Yah meskipun bisa dikatakan happy ending, saya tetap merasa akhir kisah mereka ini menggantung. Bisa saja Thalia pergi entah ke belahan bumi mana dan meninggal, kan? Jadi Tora nikahnya sama saya *dikeroyok massa*
Secara keseluruhan, Tokyo berhasil membuat saya mengobati penyakit malarindu terhadap novel Indonesia yang berkelas tanpa melupakan kesan manis yang amat romantis. Saya merasa puas telah merelakan waktu tidur saya semalam suntuk demi menamatkan novel ini. Akhir menggantung yang dituliskan juga membuat saya semakin kagum. Padahal biasanya, saya paling benci akhir menggantung. Tapi khusus untuk novel ini, saya justru merasa bisa mengatakan satu kata ini dengan lantang; sempurna.
            Satu kalimat dari Tora yang berhasil membuat saya tertegun adalah “have you ever seen something so real, so real until it makes you think that it will lasts forever?
            Karena jawabannya adalah ya. Saya pernah melihatnya, memikirkannya, merasakannya, bahkan mengantungkan harapan saya padanya *curcol*
            Dan akhirnya, saya memutuskan untuk memberi nilai 8 dari 10 untuk novel ini.
            Love can rebuild the world, they say, so everything’s possible when it comes to love (Haruki Murakami)
            Sayonaraaa~


Sabtu, 26 April 2014

For Somebody Out There

Mencintaimu tak pernah mudah bagiku.
Namun aku tetap teguh, tak kubiarkan jiwaku disesap ragu. Aku melihatmu sebagai seseorang yang sudah selayaknya berada di hidupku. Seluruh risiko itu sepadan untuk memperjuangkanmu. Membawamu dalam hidupku. Kamu bukan pilihanku, namun hati ini memilihmu.
Entah sejak kapan, kamu menjadi pusat semestaku. Kamu menjadi bagian permanen dalam hidupku, membuatku tak lelah menyambut hari karena kutahu akan melihatmu. Kamu datang dengan luka yang tak kusangka mampu menghapus dukaku. Aku tak lagi rapuh, karena aku mengharapmu untuk bersandar padaku. Membagi harimu bersamaku.
Namun aku hanya sanggup menatap punggungmu, memuja bayangmu. Bersama jiwa yang merindu, berselimut angan penuh ragu. Hanya melihatmu ketika kamu berlalu, sungguh hanya mampu membisikkan namamu dalam kalbu.
Kamu berdiri bagaikan matahari abadi yang mengiris hati. Begitu nyata, namun tak kan pernah termiliki. Kamu menerima seluruh cela hingga mendekapnya menjadi sempurna. Kamu membuatku melihat sesuatu yang tak kuduga akan mengubahku.
Ya, itulah dirimu. Yang kuberi hatiku, bahkan tanpa perlu kamu tahu.
Lambat-laun, seiring berlarinya waktu, kamu menghampiriku. Kamu membagi senyum juga tawamu. Kamu menceritakan mimpi-mimpimu. Membuatku selalu bersyukur, karena aku tak lagi harus bersembunyi dalam bayang-bayang hanya untuk melihatmu. Kamu ada dan menjadi nyata dalam hidupku.
Dan aku tersadar, aku tak hanya memberimu hatiku. Aku telah merelakan seluruh rasaku. Jika ada satu kata yang mampu menggambarkannya, biarlah satu kata itu menjadi pengingatku tentang dirimu.
            Kamu dan aku selayaknya angin yang meniup daun. Hanya membiarkan cinta berlalu, berdiam diri sementara hati membeku. Tak tahukah kamu bahwa waktu tak mungkin kembali padamu? Waktu hanya merenggut, lalu menghilang dibalik serpihan abu.
            Kamu dan aku tak kan pernah menemukan muara. Setiap langkah yang kita lalui hanya membawa perih ini pada jalan yang sepi. Jalan yang tak menyatukan kita di akhir nanti. Jalan yang terus berputar, memaksa kita berdiri tegak dengan hati tak terselamatkan.
            Hari demi hari yang berlari hanya memberi satu kenyataan pasti; kamu dan aku tidak akan berada dalam satu kata memiliki.
            Mencintaimu sungguh tak mudah bagiku. Namun sekalipun aku harus terjatuh dan menunggu, aku akan tetap mencintaimu.

Sabtu, 26-04-14
Coretan hati selama Ujian Nasional
Based on true story


Jumat, 07 Maret 2014

XII IPA 2 : Ketika Jam Pelajaran Kosong

            Here we go again with XII IPA 2! *tepuk tangan*
            Gue kembali membuat posting—yang meskipun telat—bertajuk XII IPA 2. Entah mengapa, tidak ada satu pun hal biasa yang mereka lakukan. Karena menurut gue dan mungkin seluruh makhluk astral yang bisa lihat tingkah polah kelas ini, XII IPA 2 itu keren, kocak, koplak, katro, bahkan kalem! Semua jadi satu dengan kesadaran yang membuahkan rasa luar biasa.
Gue bersyukur telah dikenalkan pada mereka, segenap makhluk-mahkluk tidak jelas yang selalu membawa tawa, dan dengan bangga gue menyebut diri gue sebagai bagian dari XII IPA 2. Setiap hari, menit, bahkan nano detik, XII IPA 2 selalu memberikan kesan mendalam yang terasa unik untuk diulik.
Contohnya kemarin, saat pelajaran ke dua yakni bahasa Inggris yang dijadwalkan untuk ujian praktek debat, kami berakhir dengan saling curhat juga berfoto ria. Ada kelompok yang sibuk ngerumpi—Aul biasa bilang mereka genk oom-oom rumpi—dan ada juga yang heboh ngegembel di koridor depan kelas.
           Yeah, here we go with some photos. Enjoy it, guys J

Arum dkk berlatar daun kering andalan kelas XII IPA 2 

 Ini dia genk oom-oom rumpi tapi terhalangi sabetan gagang sapu dari Bara

 Ini dia biang keroknya a.k.a Bara bersama duo Riska, Gulardi, & Khoolish

Tim gembel ria di koridor depan kelas

 Ditambah Faqih sang juru printer dan Risma si calon pilot

 Keisengan Bara dan Faqih diiringi kejahilan Deden di taman cinta

 Ini dia pasangan paling yahud versi majalah yang terancam bangkrut :p

Girl Band ala XII IPA 2 dengan penampakan makhluk kasar di belakang~

         NB : Buat Nurdin, get well soon ya. Kita semua nunggu lo. Kita masuk sekolah, bahkan masuk kelas XII IPA 2 di pertengahan 2013 kemarin bareng lo, jadi kita harus lulus bareng juga ya. Lo lebih kuat dari yang lo pikir dan setiap orang berhak mendapat kesempatan untuk menjadi lebih baik, termasuk lo. Semangat, Nurdin! \(^o^)/

Hari Toko Banyak Libur, 7-3-14
Setelah gereget lawan tugas perspektif

Sambil dengerin lagu No Air dari Jordin Sparks

Kamis, 13 Februari 2014

Talk About Romeo and Juliet (2013)


            Film ini adalah adaptasi dari kisah terkenal karya Shakespeare yang sepertinya tidak akan lekang oleh waktu. Dari informasi yang disediakan oleh Mas Google, gue tahu sudah ada beberapa versi film dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi sejauh gue hidup, baru dua versi yang gue tonton yakni tahun 1997 dan 2013.
            Dalam posting kali ini gue akan membahas tentang versi 2013 karena jujur saja, versi 1997 sungguh tidak memuaskan dan melenceng jauh dari ekspektasi gue, meskipun Leonardo Di Caprio tampil dalam ketampanan yang keluar dari batas kesopanan. Sebenarnya gue pun tidak tahu bagaimana seharusnya bereskpektasi terhadap karya ini, karena gue hanya tahu sebatas plot ceritanya.
          Seperti yang diketahui seluruh makhluk hidup dengan kemampuan berpikir normal di Bumi tercinta ini, Romeo and Juliet menceritakan kisah cinta penuh tragedi, yang gue pikir sangat tragis alih-alih romantis. Keluarga Montague dan Capulet telah bersiteru sejak hanya-Shakespeare-yang-tahu dan film ini dibuka dengan ketegangan antara keluarga Montague dan Capulet yang berlomba untuk mendapatkan suatu barang berbentuk bulat dalam turnamen resmi milik kerajaan. Perlombaan dimenangkan oleh Mercutio, sahabat Romeo.
Setelah itu gambar beralih pada orang-orang Montague dan Capulet yang mengeluarkan pedang masing-masing di sebuah tempat umum dan mulai menebas musuh di depan, meski gue hanya mengerti sampai pada tahap bahwa mereka ini adalah manusia-manusia yang mengulur waktu kemunculan dari para pemeran utama. Yah intinya, setelah acara ayun mengayun pedang, mereka diperingatkan oleh sang Pangeran bahwa mereka akan dihukum bila kembali bertikai di jalan umum kerajaan itu.
Romeo Montague—diperankan oleh Douglas Booth—tengah dilanda galau karena memikirkan Rosaline dari keluaga Capulet, sedang memahat patung ketika Benvolio datang dan mengabarkan berita itu. Namun Romeo yang dimabuk cinta tidak mau peduli dan justru datang ke pesta topeng keluarga Capulet. Di sana ia melihat Juliet Capulet—diperankan oleh Hailee Stainfeld—lalu memutuskan bahwa hatinya langsung mencintai Juliet pada pandangan pertama dan mereka berdansa. Sisa cerita cintanya mungkin sama dengan yang lain, mereka kembali bertemu di balkon, saling menyatakan cinta, lalu memutuskan untuk menikah secepatnya.

Kembali ke pesta sebelumnya. Tybalt, sepupu Juliet, murka melihat dansa antara Romeo dan Juliet, dan harus ditahan oleh ayah Juliet agar tidak memporak-porandakan pesta itu. Detik itu juga gue memutuskan bahwa Tybalt ini biang masalah yang benar-benar buta karena tidak bisa melihat bahwa Romeo dan Juliet hanya dua anak manusia yang jatuh cinta pada waktu yang salah. Tybalt mengirim surat tantangan untuk Romeo, namun Romeo yang baru saja menikahi Juliet tidak menggubris Tybalt. Justru sahabat Romeo yang tidak kalah barbarnya dari Tybalt menjawab tantangan itu dan meninggal dalam prosesnya. Akhirnya Romeo pun terpancing, ia membalaskan dendam Mercutio dan menodai tangannya dengan darah Tybalt.

Romeo dihukum oleh Pangeran dalam bentuk pengasingan. Ia tidak boleh kembali lagi ke kerajaan itu dan menurut Romeo hal itu jauh lebih buruk, karena ia akan dikalahkan oleh lalat yang bisa melihat Juliet setiap hari. Lalu Romeo datang pada Juliet dan mereka yah seharusnya melakukan bed scene namun yang gue dapat dari versi 2013 ini hanya sebatas dada telanjang Douglas Booth, karena mereka tidur dengan baju yang hampir lengkap.
Mungkin bagi orang di luar sana hal ini mengecewakan, gue juga sempat merasa sedikit begitu (plak!) tapi gue lega karena film ini bisa dikatakan cukup aman. Karena entah berapa banyak piring dan gelas yang akan gue banting kalau meliat Douglas Booth tampil sevulgar itu dengan memeluk gadis lain (okay, gue salah fokus).

Setelah melepas kepergian Romeo, Juliet dipaksa orang tuanya untuk menikahi Paris. Dari pada mengkhianati Romeo, Juliet lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya. Beruntung (atau justru sial) Friar Laurence mengusulkan untuk memalsukan kematian Juliet dengan ramuan yang hanya mematikan Juliet sementara, lalu Juliet bisa hidup bahagia selamanya dengan Romeo entah di mana. Namun pengantar surat yang luar biasa menyebalkan itu justru terjebak membantu orang lain di perjalanan, sehingga Romeo tidak pernah menerima surat berisi rencana Friar Laurence. Benvolio datang terlebih dahulu dan mengabarkan kematian Juliet.
Romeo pun kembali ke kampung halamannya untuk menemui tubuh tak bernyawa Juliet dan membunuh Paris dalam prosesnya. Ia bunuh diri dengan racun di samping Juliet tepat saat Juliet sadar dan akhirnya Juliet pun memutuskan untuk membunuh dirinya juga. Keluarga Montague dan Capulet berdamai setelah itu, yang mana akhirnya membuat gue menangis kesal karena mereka berdamai setelah Romeo dan Juliet menjadi mayat.

Secara keseluruhan, versi 2013 ini berlatar dengan cukup kuno dan gue menyukainya. Meskipun gue tidak menyukai satu pun gaun yang dikenakan Juliet, setidaknya gue menemukan nilai tambah dalam tatanan rambutnya yang unik. Untuk Romeo sendiri, gue benar-benar harus gigit bantal ketika ia memutuskan untuk tersenyum. Mungkin ketampanan Douglas Booth tidak akan bisa menandingin Leonardo Di Caprio dalam versi 1997, namun gue merasa ia sudah ‘pas’ dalam memerankan tokoh Romeo. Gue suka mendengar suaranya, juga melihat tatapan matanya. Gue bahkan suka ketika ia menaikkan sebelah alisnya. Entah seperti apa penampilannya di luar film ini, yang jelas gue suka Douglas Booth as Romeo Montague!
Satu pelajaran penting yang gue dapatkan dari film ini adalah kebencian hanya membawa masa depan tanpa harapan bagi yang merasakannya juga orang-orang di sekitarnya. Gue melihat bukan kebodohan, namun kebencian keluarga Montague dan Capulet yang telah membunuh Romeo dan Juliet. Seandainya mereka bersedia mendengar, lalu mencoba mengerti, mungkin Romeo dan Juliet bisa hidup bahagia dengan segala cinta mereka itu. Tapi kalau ceritanya berubah begitu bukan Romeo dan Juliet lagi ya -_-
Semoga saja di luar sana, nggak ada lagi keluarga yang menyimpan kebencian aneh semacam ini. Juga semoga saja nggak ada lagi Romeo dan Juliet masa kini, karena kalau sampai ada dan mereka memutuskan untuk bunuh diri, maka tanpa ragu gue akan mengatakan mereka bodoh bin idiot. Kenapa? Karena hare gene teknologi sudah menjadi makanan sehari-hari, jadi nggak ada alasan untuk memilih jalan mudah seperti bunuh diri. Masih ada ribuan atau bahkan milyaran cara lain yang bisa mereka pilih untuk membuat cerita baru, juga akhir cerita yang lebih baik.

Hari Pakai Batik, 13-2-14
Setelah tidur empat jam dan 
dipaksa Mba Ningrum bikin postingan film ini
Ditemani lagu Goodbye dari Hyorin


Sabtu, 25 Januari 2014

Foodscape ala Fantastic Four

             Fantastic Four adalah sebuah tim dadakan yang tercipta setelah gue—Nurisya Febrianti—bertemu dengan Aulia Khoirunnisa, Moudy Karina, dan Riska Amelia di kelas XII IPA 2. Berawal dari posisi duduk kami yang tepat satu baris, akhirnya lahirlah Fantastic Four yang selalu memiliki ide juga semangat aneh dalam hal berkerja sama.
Tim ini sangat diandalkan dalam mata pelajaran Fisika di mana Aul dan Riska yang menjadi pelopor penjamin nilai, gue yang selalu menyumbangkan doa sambil tidur, dan Moudy yang dengan sabar selalu jadi juru tulis handal.
            Hari ini, kami melangkahkan kaki dalam dunia yang sama sekali berbeda dari itu. Kami membuat sebuah karya seni rupa, untuk Ujian Praktek Seni, bertemakan foodscape. Sekadar informasi, foodscape adalah sebuah karya seni berupa miniatur dari alam yang dibentuk dari kumpulan makanan segar dan berkualitas. Intinya, segala sesuatu yang ada pada papan kami adalah makanan.
            Dimulai dari kesibukan kami untuk menentukan bahan, lalu keraguan kami karena sama sekali belum pernah membuat itu, dan diakhiri dengan kenekatan kami yang langsung mengerjakan foodscape itu tanpa pernah berlatih sekali pun. Dan hasilnya, tak disangka-sangka, sangat sempurna.
            Kenapa gue mengatakan bahwa hasilnya sempurna? Apa karena foodscapenya benar-benar terlihat nyata dan lebih bagus dari gambar google?
            Tidak. Sama sekali bukan itu.
        Gue mengatakan hasilnya sempurna karena segala hal yang gue rasakan bersama Fantastic Four selama pembuatan karya ini. Gue merasa senang, nyaman, bersemangat, dan sangat menikmati prosesnya. Kami sering tertawa, diselingi dengan kunyahan makanan, juga tetap kompak ketika stuck. Kami saling bahu-membahu, pantang menyerah, namun tidak lupa untuk tetap bersenang-senang.
         Gue benar-benar bersyukur karena Allah SWT mempertemukan gue dengan mereka, dan mengizinkan gue untuk bekerja sama bersama mereka. Karya kami memang tidak sempurna, namun kebersamaan dan kerja sama kamilah yang sempurna. Dan di atas segalanya, gue bangga bisa menyelesaikan Ujian Praktek Seni terakhir di SMA ini bersama mereka.
            Yeah, we are Fantastic Four!
Foodscape bertemakan entah pertanian atau perkebunan

Salam Fantastic Four~


Hari Menjelang Libur Nasional, 25-01-14
Setelah tidur sore selama empat jam
Ditemani soundtrack dari Meteor Garden


Selasa, 21 Januari 2014

Peraturan yang Tidak Tercantum dalam Peraturan, Haruskah Ditaati?

            Dalam posting kali ini gue ingin menyuarakan pertanyaan dalam pikiran gue, dengan menitikberatkan pada persoalan yang sudah terjadi berulang kali dan dilakukan secara turun-temurun di sekolah gue yaitu larangan untuk pulang terlebih dahulu. Ada beberapa siswa, sebut saja kelompok A, yang selalu memblokade pintu gerbang dan memerintahkan siswa lainnya untuk berkumpul di aula sekolah demi kepentingan mereka yang sesungguhnya tidak termasuk dalam peraturan mana pun di sekolah.
            Jujur saja, hal ini membuat gue merasa keberatan dan sangat terganggu.
            Gue tidak mengatakan bahwa mereka salah, gue hanya ingin mengatakan bahwa kami memiliki pola pikir dan prioritas yang berbeda. Setiap manusia pasti berbeda, namun tetap mampu bekerja sama jika dilandasi kerelaan dan ketulusan. Lalu ketika seseorang tidak bersedia untuk bekerja sama, dikarenakan satu dan lain hal, haruskah pihak lainnya itu memaksa? Jika memang memaksa telah dihalalkan dalam kasus ini, untuk apa lagi ada HAM di dunia? Terlebih lagi, apakah pantas seseorang memaksakan kehendak terhadap orang lain di era kemerdekaan berbalut demokrasi ini?
            Gue tahu alasan yang menjadi latar belakang kelompok A mengumpulkan siswa-siswa adalah alasan yang penuh solidaritas dan menjunjung tinggi nilai sosial. Mereka memiliki keinginan untuk ikut berjuang bersama demi mengharumkan nama sekolah. Mereka berkorban demi kepentingan bersama. Namun haruskah mereka melakukan pemaksaan terhadap individu?
            Untuk gue khususnya, gue tidak bisa mengikuti keinginan mereka karena kondisi kehidupan gue yang tidak memungkinkan. Gue memiliki prioritas lain, yang menurut diri gue, jauh lebih berharga dari pada berkumpul di aula sekolah untuk menghapalkan beberapa lagu. Gue memiliki tanggung jawab untuk membalas kebaikan orang-orang yang telah menanggung hidup gue. Jika mereka memang salah satu dari orang itu, maka dengan senang hati gue akan mengikuti keinginan mereka tersebut. Tapi mereka bukan salah satu dari orang yang menanggung hidup gue. Mereka tidak memberi gue uang untuk makan atau biaya sekolah, tidak pula membantu gue untuk masuk ke PTN yang gue tuju.
            Tentu saja, tidak semua hal bisa dinilai dengan uang, gue pun tidak bermaksud menyinggung mereka dalam penyuaraan pikiran gue ini, namun gue hanya ingin memberikan satu contoh yang lebih mudah untuk dipahami.
            Sebenarnya, apa tujuan utama kita untuk pergi ke sekolah? Demi menuntut ilmu, bukan? Tidak untuk mencari teman apalagi bergantung dan menomorsatukan teman. Teman adalah sesuatu yang berharga, namun tetap hanya sebatas untuk menjadi seseorang yang kita kenal dan temui di sekolah.
            Alasan yang melatarbelakangi gue untuk menulis ini adalah karena gue merasa tidak memiliki kewajiban untuk melakukan hal lain diluar peraturan sekolah yang telah gue tanda-tangani. Pasalnya, dalam peraturan sebanyak kira-kira setengah lusin kertas HVS itu, tidak tercantumkan keharusan gue untuk ikut berkumpul di aula sekolah menjadi suporter dalam pertandingan atau perlombaan apa pun. Inilah yang membuat gue berani untuk mengungkapkan pikiran, karena gue merasa berhak untuk memilih pulang dibanding dengan berkumpul di aula.  
            Persoalan ini hanyalah kasus sederhana yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan, apalagi di detik-detik terakhir menjelang Ujian Nasional. Pada intinya kami hanya memiliki prioritas berbeda dan kami tidak mau mengalah. Kelompok A ingin agar gue tetap di sekolah untuk mendukung agenda kegiatan mereka, sementara gue ingin pulang untuk belajar dan beristirahat. Sungguh sederhana, bukan?
Hal semacam ini seharusnya tidak lagi menjadi permasalahan orang-orang yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk yang mana menunjukkan kedewasaan. Namun sekali lagi, teori bahwa kedewasaan tidak ditentukan oleh umur terbukti benar. Karena kami, orang-orang yang telah berusia tujuh belas tahun atau lebih ini tetap tidak bisa menghargai pendapat masing-masing dan saling memaksakan kehendak.
            Gue hanya bisa berharap bahwa kedepannya mereka akan lebih memahami makna sesungguhnya dari Hak Asasi Manusia dan prioritas individual, agar kami tidak perlu lagi berselisih paham dan saling mengejek di depan gerbang. Gue juga mendoakan agar kegiatan apa pun yang mereka lakukan akan berjalan lancar dan membawa berkah juga kebaikan untuk bersama. Amin.
            Memang benar manusia yang mengetahui keinginannya lalu memperjuangkannya adalah manusia yang berharga, namun manusia akan menjadi lebih berharga ketika tahu bagaimana caranya untuk menghormati hak dan pilihan manusia lainnya.

Hari Terakhir Try Out Ke-III, 22-01-14
Setelah sampai dengan selamat di kamar
Ditemani lagu Playing God dari Paramore