Sabtu, 25 Januari 2014

Foodscape ala Fantastic Four

             Fantastic Four adalah sebuah tim dadakan yang tercipta setelah gue—Nurisya Febrianti—bertemu dengan Aulia Khoirunnisa, Moudy Karina, dan Riska Amelia di kelas XII IPA 2. Berawal dari posisi duduk kami yang tepat satu baris, akhirnya lahirlah Fantastic Four yang selalu memiliki ide juga semangat aneh dalam hal berkerja sama.
Tim ini sangat diandalkan dalam mata pelajaran Fisika di mana Aul dan Riska yang menjadi pelopor penjamin nilai, gue yang selalu menyumbangkan doa sambil tidur, dan Moudy yang dengan sabar selalu jadi juru tulis handal.
            Hari ini, kami melangkahkan kaki dalam dunia yang sama sekali berbeda dari itu. Kami membuat sebuah karya seni rupa, untuk Ujian Praktek Seni, bertemakan foodscape. Sekadar informasi, foodscape adalah sebuah karya seni berupa miniatur dari alam yang dibentuk dari kumpulan makanan segar dan berkualitas. Intinya, segala sesuatu yang ada pada papan kami adalah makanan.
            Dimulai dari kesibukan kami untuk menentukan bahan, lalu keraguan kami karena sama sekali belum pernah membuat itu, dan diakhiri dengan kenekatan kami yang langsung mengerjakan foodscape itu tanpa pernah berlatih sekali pun. Dan hasilnya, tak disangka-sangka, sangat sempurna.
            Kenapa gue mengatakan bahwa hasilnya sempurna? Apa karena foodscapenya benar-benar terlihat nyata dan lebih bagus dari gambar google?
            Tidak. Sama sekali bukan itu.
        Gue mengatakan hasilnya sempurna karena segala hal yang gue rasakan bersama Fantastic Four selama pembuatan karya ini. Gue merasa senang, nyaman, bersemangat, dan sangat menikmati prosesnya. Kami sering tertawa, diselingi dengan kunyahan makanan, juga tetap kompak ketika stuck. Kami saling bahu-membahu, pantang menyerah, namun tidak lupa untuk tetap bersenang-senang.
         Gue benar-benar bersyukur karena Allah SWT mempertemukan gue dengan mereka, dan mengizinkan gue untuk bekerja sama bersama mereka. Karya kami memang tidak sempurna, namun kebersamaan dan kerja sama kamilah yang sempurna. Dan di atas segalanya, gue bangga bisa menyelesaikan Ujian Praktek Seni terakhir di SMA ini bersama mereka.
            Yeah, we are Fantastic Four!
Foodscape bertemakan entah pertanian atau perkebunan

Salam Fantastic Four~


Hari Menjelang Libur Nasional, 25-01-14
Setelah tidur sore selama empat jam
Ditemani soundtrack dari Meteor Garden


Selasa, 21 Januari 2014

Peraturan yang Tidak Tercantum dalam Peraturan, Haruskah Ditaati?

            Dalam posting kali ini gue ingin menyuarakan pertanyaan dalam pikiran gue, dengan menitikberatkan pada persoalan yang sudah terjadi berulang kali dan dilakukan secara turun-temurun di sekolah gue yaitu larangan untuk pulang terlebih dahulu. Ada beberapa siswa, sebut saja kelompok A, yang selalu memblokade pintu gerbang dan memerintahkan siswa lainnya untuk berkumpul di aula sekolah demi kepentingan mereka yang sesungguhnya tidak termasuk dalam peraturan mana pun di sekolah.
            Jujur saja, hal ini membuat gue merasa keberatan dan sangat terganggu.
            Gue tidak mengatakan bahwa mereka salah, gue hanya ingin mengatakan bahwa kami memiliki pola pikir dan prioritas yang berbeda. Setiap manusia pasti berbeda, namun tetap mampu bekerja sama jika dilandasi kerelaan dan ketulusan. Lalu ketika seseorang tidak bersedia untuk bekerja sama, dikarenakan satu dan lain hal, haruskah pihak lainnya itu memaksa? Jika memang memaksa telah dihalalkan dalam kasus ini, untuk apa lagi ada HAM di dunia? Terlebih lagi, apakah pantas seseorang memaksakan kehendak terhadap orang lain di era kemerdekaan berbalut demokrasi ini?
            Gue tahu alasan yang menjadi latar belakang kelompok A mengumpulkan siswa-siswa adalah alasan yang penuh solidaritas dan menjunjung tinggi nilai sosial. Mereka memiliki keinginan untuk ikut berjuang bersama demi mengharumkan nama sekolah. Mereka berkorban demi kepentingan bersama. Namun haruskah mereka melakukan pemaksaan terhadap individu?
            Untuk gue khususnya, gue tidak bisa mengikuti keinginan mereka karena kondisi kehidupan gue yang tidak memungkinkan. Gue memiliki prioritas lain, yang menurut diri gue, jauh lebih berharga dari pada berkumpul di aula sekolah untuk menghapalkan beberapa lagu. Gue memiliki tanggung jawab untuk membalas kebaikan orang-orang yang telah menanggung hidup gue. Jika mereka memang salah satu dari orang itu, maka dengan senang hati gue akan mengikuti keinginan mereka tersebut. Tapi mereka bukan salah satu dari orang yang menanggung hidup gue. Mereka tidak memberi gue uang untuk makan atau biaya sekolah, tidak pula membantu gue untuk masuk ke PTN yang gue tuju.
            Tentu saja, tidak semua hal bisa dinilai dengan uang, gue pun tidak bermaksud menyinggung mereka dalam penyuaraan pikiran gue ini, namun gue hanya ingin memberikan satu contoh yang lebih mudah untuk dipahami.
            Sebenarnya, apa tujuan utama kita untuk pergi ke sekolah? Demi menuntut ilmu, bukan? Tidak untuk mencari teman apalagi bergantung dan menomorsatukan teman. Teman adalah sesuatu yang berharga, namun tetap hanya sebatas untuk menjadi seseorang yang kita kenal dan temui di sekolah.
            Alasan yang melatarbelakangi gue untuk menulis ini adalah karena gue merasa tidak memiliki kewajiban untuk melakukan hal lain diluar peraturan sekolah yang telah gue tanda-tangani. Pasalnya, dalam peraturan sebanyak kira-kira setengah lusin kertas HVS itu, tidak tercantumkan keharusan gue untuk ikut berkumpul di aula sekolah menjadi suporter dalam pertandingan atau perlombaan apa pun. Inilah yang membuat gue berani untuk mengungkapkan pikiran, karena gue merasa berhak untuk memilih pulang dibanding dengan berkumpul di aula.  
            Persoalan ini hanyalah kasus sederhana yang seharusnya tidak perlu diperdebatkan, apalagi di detik-detik terakhir menjelang Ujian Nasional. Pada intinya kami hanya memiliki prioritas berbeda dan kami tidak mau mengalah. Kelompok A ingin agar gue tetap di sekolah untuk mendukung agenda kegiatan mereka, sementara gue ingin pulang untuk belajar dan beristirahat. Sungguh sederhana, bukan?
Hal semacam ini seharusnya tidak lagi menjadi permasalahan orang-orang yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk yang mana menunjukkan kedewasaan. Namun sekali lagi, teori bahwa kedewasaan tidak ditentukan oleh umur terbukti benar. Karena kami, orang-orang yang telah berusia tujuh belas tahun atau lebih ini tetap tidak bisa menghargai pendapat masing-masing dan saling memaksakan kehendak.
            Gue hanya bisa berharap bahwa kedepannya mereka akan lebih memahami makna sesungguhnya dari Hak Asasi Manusia dan prioritas individual, agar kami tidak perlu lagi berselisih paham dan saling mengejek di depan gerbang. Gue juga mendoakan agar kegiatan apa pun yang mereka lakukan akan berjalan lancar dan membawa berkah juga kebaikan untuk bersama. Amin.
            Memang benar manusia yang mengetahui keinginannya lalu memperjuangkannya adalah manusia yang berharga, namun manusia akan menjadi lebih berharga ketika tahu bagaimana caranya untuk menghormati hak dan pilihan manusia lainnya.

Hari Terakhir Try Out Ke-III, 22-01-14
Setelah sampai dengan selamat di kamar
Ditemani lagu Playing God dari Paramore