Sabtu, 17 Mei 2014

Review : Tokyo karya Sefryana Khairil


Judul Buku : Tokyo: Falling
Penulis : Sefryana Khairil
Penerbit: GagasMedia
Tebal : 338 Halaman
Tahun Terbit: 2013
Harga: Rp 53.000,-

Spoiler Alert!

            Di sanalah aku dan kamu bertemu, tanpa pernah membuat janji lebih dulu.
          Tokyo membawa kita menyelami dua kehidupan berbeda milik Thalia dan Tora, dua orang wartawan dari Indonesia yang dipertemukan oleh sebuah lensa di Negeri Sakura. Berawal dari insiden yang merusak lensa Thalia—dengan Tora sebagai tersangka utamanya—mereka berdua akhinya setuju untuk menjelajah juga meliput Tokyo bersama.
     Menyatukan dua orang yang asing sepenuhnya jelas bukan hal mudah. Mereka harus banyak berkompromi, saling bertoleransi, hingga akhirnya waktu mengubah setiap sisi hati. Perjalanan Thalia dan Tora yang diisi dengan canda juga tawa membuahkan sebuah rasa baru yang tak lagi asing; cinta.
Orang bilang cinta itu sederhana, meski seringnya tidak sesederhana yang kita kira.
          Thalia dan Tora memiliki cerita cinta masing-masing. Thalia dengan Dean-nya yang supersibuk namun menawarkan segala hal yang Thalia impikan, sementara Tora dengan Hana-nya yang tiba-tiba meminta putus setelah lima tahun menjalin hubungan.
         Selama kebersamaan singkat mereka di Tokyo—sepuluh hari tepatnya—Thalia dan Tora berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka berkenaan dengan cinta.
            Thalia adalah wanita mandiri dengan keluarga utuh. Ia mencintai fesyen dan selalu bertindak ceroboh. Itulah yang pada akhirnya membuat Tora yang selalu hidup dengan mengikuti angin tanpa ditemani keluarga lengkap, jatuh hati. Tora yang selalu tampil cuek dengan pakaian khas backpaker juga rambut yang jarang rapi, merasakan keinginan mendesak untuk melindungi Thalia. Mereka saling mengisi kekosongan dan pada akhirnya enggan beranjak pergi.
            Aku takut kita hanya pesinggah. Hati kita yang tak utuh menghadirkan rasa terbelah.
          Hari demi hari berlari, sementara hati milik Thalia dan Tora tak ingin berganti. Mereka telah menyadari bahwa ada sesuatu yang penting terjadi di antara mereka, dan setelah kerelaan Tora untuk melepas Hana, tak ada lagi hal yang nampak menghalangi. Saat itulah Dean datang. Ia menawarkan sebuah perwujudan untuk setiap mimpi Thalia; pernikahan. Dan Tora tidak menawarkan apa pun karena ia memutuskan untuk pergi.
            Aku berharap bisa menghindarimu. Namun, kau selalu ada di tempat yang aku tuju.
          Thalia yang bimbang demi mendengar lamaran Dean, akhirnya menerima pria itu. Ia memikirkan Tora, karena tentu saja cintanya telah menemukan muara. Hatinya mengukirkan nama Tora. Namun mengingat kepergian Tora, Thalia memutuskan untuk berhenti berharap.
        Pada bagian-bagian awal, saya merasa ikut terlibat langsung dalam setiap percakapan mereka. Ditemani suasana kota Tokyo yang pekat, saya terkesan dengan cara bernarasi Sefryana Khairil yang manis namun tidak melupakan unsur realistis. Tokoh Tora yang terkesan santai tapi diam-diam peduli juga membuat saya semakin betah untuk tenggelam lebih dalam di novel ini.
Namun satu hal benar-benar membuat saya kecewa adalah keputusan Tora untuk mundur. Ia memilih lari dari pada memperjuangkan Thalia. Tapi mengingat masa lalu Tora, saya bisa memahaminya. Lagi pula, bukankah itu masalah yang paling sering dijumpai di kehidupan nyata? Kepengecutan pihak pria yang menyerah untuk memperjuangkan wanitanya.
Saya tahu pada akhirnya Thalia dan Tora akan bersama. Hal yang lumrah bukan, memisahkan kedua tokoh utama lalu kembali menyatukan mereka di akhir halaman? Terlebih lagi saat Thalia memutuskan untuk membatalkan pernikahannya, saya sudah seratus persen yakin, Thalia akan bersatu dengan Tora.
Namun sekali lagi, Sefryana Khairil membuat saya tercengang dengan akhir kisah yang dipilihnya. Memang kedua tokoh utamanya dipertemukan kembali, tapi mereka masih terlilit oleh setiap kesalahpahaman juga proses menuju penerimaan. Thalia dan Tora justru berakhir dengan kepergian Thalia setelah pengungkapan cintanya, sementara Tora hanya mematung di belakangnya.
Para pembaca tidak diberi sebuah akhir yang jelas, namun penulisnya menerangkan kesungguhan Tora yang kali ini bertekad akan memperjuangkan Thalia hingga ujung dunia. Yah meskipun bisa dikatakan happy ending, saya tetap merasa akhir kisah mereka ini menggantung. Bisa saja Thalia pergi entah ke belahan bumi mana dan meninggal, kan? Jadi Tora nikahnya sama saya *dikeroyok massa*
Secara keseluruhan, Tokyo berhasil membuat saya mengobati penyakit malarindu terhadap novel Indonesia yang berkelas tanpa melupakan kesan manis yang amat romantis. Saya merasa puas telah merelakan waktu tidur saya semalam suntuk demi menamatkan novel ini. Akhir menggantung yang dituliskan juga membuat saya semakin kagum. Padahal biasanya, saya paling benci akhir menggantung. Tapi khusus untuk novel ini, saya justru merasa bisa mengatakan satu kata ini dengan lantang; sempurna.
            Satu kalimat dari Tora yang berhasil membuat saya tertegun adalah “have you ever seen something so real, so real until it makes you think that it will lasts forever?
            Karena jawabannya adalah ya. Saya pernah melihatnya, memikirkannya, merasakannya, bahkan mengantungkan harapan saya padanya *curcol*
            Dan akhirnya, saya memutuskan untuk memberi nilai 8 dari 10 untuk novel ini.
            Love can rebuild the world, they say, so everything’s possible when it comes to love (Haruki Murakami)
            Sayonaraaa~