Jumat, 29 Agustus 2014

In the Middle of Mental War

          Terkadang, manusia cenderung lebih mudah mengabaikan hidup yang sedang dijalani dibanding hidup yang akan mereka jalani. Dengan kata lain, mereka lebih mengutamakan hidup yang akan mereka jalani.
            Dan dengan sangat amat menyesal gue harus bilang bahwa gue adalah salah satu dari ‘mereka’.
            Gue sudah sering memikirkan hal ini, terutama beberapa bulan terakhir sejak kelulusan dan gue resmi menyandang status pengangguran. Dulu, gue selalu berpikir bahwa kehidupan gue setelah lulus sekolah akan menjadi lebih baik. Gue memimpikan banyak hal. Bukan sesuatu yang buruk, namun terasa amat buruk ketika mimpi itu masih berupa mimpi.
            Kini, di saat teman-teman gue sibuk mem-posting kegiatan mereka sebagai mahasiswa baru, gue hanya duduk di sudut rumah dan membaca hal itu satu persatu. Di saat teman-teman gue sibuk curhat soal perjalanan yang mereka lakukan dari kampus ke rumah dan foto bareng teman-teman baru, gue justru dalam perjalanan memutari Jakarta yang panas bin macet. Gue benci mengakui ini, tapi sering kali gue berharap bahwa gue juga ada di posisi mereka. Bisa kuliah, nggak perlu sibuk cari kerja, juga nggak perlu makan hati karena harus hidup numpang. Okay, gue mulai jadi orang yang benar-benar profesional dalam hal mengeluh.
            Gue nggak tahu apa yang harus gue harapkan, tapi satu hal yang gue tahu adalah gue harus tetap percaya bahwa hidup gue akan menjadi lebih baik. Setidaknya gue masih punya mimpi, juga prinsip yang melindungi mimpi itu. Masa lalu gue menentukan diri gue saat ini, dan gue nggak menyesali itu sedikit pun. Toh pada intinya gue masih hidup. I’m survive.
            Dan hidup selalu memberikan kesempatan kedua. Kesempatan yang disebut sebagai hari esok. Jika saat ini hidup tidak berpihak pada kita, maka yakinlah detik berikutnya hidup akan berpihak pada kita. Sejak awal hidup sudah adil. Kenapa? Karena hidup sama-sama tidak adil pada semua orang.
            Saat bikin posting ini, gue masih dalam status pengangguran. Gue sudah melamar kerja ke 3 tempat berbeda. Tempat pertama menolak karena gue pakai kacamata. Kemudian pergilah gue ke optik dan beli lensa kontak—yang menghabiskan waktu 2 jam untuk belajar pakai dan lepas. Tempat ke dua menolak karena gue nggak bersedia membiarkan ijazah gue ditahan selama gue kerja. Sedangkan tempat ke tiga mensyaratkan gue harus pakai behel, yang mana terpaksa gue tolak karena biaya pasang behel itu seharga dengan gaji gue dua bulan, terus apa untungnya gue kerja kalau begitu jadinya?
            Yah, hidup memang tidak adil. Tapi setidaknya hidup tidak adil pada semua orang.

Hari Penuh Emosi Sedunia, 29-08-14
Setelah disindir soal gigi nggak rapi

Sambil dengerin Clarity versi Sam Tsui