Ada satu pengakuan yang begitu
ingin kuakui.
Ya, satu pengakuan, sebuah kalimat
hanya dengan dua kata di dalamnya.
Bukan, aku sama sekali tidak
berniat mengakuinya pada dunia. Hanya padamu. Namun pada kenyataannya,
ketika hidup mendirikan benteng tak kasat mata yang mustahil dihancurkan dengan
apa pun, akhirnya kuakui satu kalimat dengan dua kata itu pada dunia.
Kamu tahu, pada malam-malam sepi
ketika aku menangis sendiri, aku mengingat segalanya. Tentang makanan yang
selalu kita bagi bersama, percakapan bodoh yang mengisi keheningan, juga
foto-foto konyol yang terabadikan.
Pada saat-saat seperti itu, aku
ingin berteriak pada dinding yang mengungkungku.
“Untuk apa aku ada, jika kamu tidak
ada?!”
Namun tentu saja, tidak kulakukan
hal itu. Karena semua orang mengenalku sebagai aku yang tidak peduli padamu. Aku,
yang tetap berdiri teguh menatap kepergianmu. Aku, yang menghapus seluruh
kenangan tentangmu agar mampu menjalani hidup. Aku, yang tetap tertawa lepas
meski tak lagi memilikimu.
Mereka tidak perlu tahu lukaku. Tidak,
aku tidak bisa membiarkan mereka tahu. Mereka tidak boleh tahu, bahwa ada aku
yang lain di dalam tubuh ini. Ya, aku yang lain. Aku yang tidak pernah berhenti
menyayangimu, bahkan ketika hidup dengan kejam merenggutmu. Aku yang tetap
membisikkan doa untukmu di setiap hela napasku. Aku yang selalu berharap, kamu
akan kembali berbalik untuk meraihku.
Aku yang seharusnya tidak kubiarkan
tetap hidup.
Karena sungguh, apalagi yang
tersisa untuk kuharapkan? Tidak ada. Perjuanganku sia-sia, bahkan sebelum aku
berusaha. Kamu tidak ada lagi di sana. Kamu bukan lagi orang yang sama. Kamu yang
berubah karena kesalahan bodoh yang bahkan bukan salahmu. Kamu yang pada
akhirnya memilih untuk meninggalkanku, ketika aku benar-benar membutuhkanmu.
Terkadang aku larut dalam lamunan,
memikirkan masa depan yang seharusnya menjadi milik kita. Masa depan yang
menerakan nama kita dalam satu halaman yang sama. Masa depan di mana aku bisa
tertawa denganmu, bebas berbagi segalanya denganmu, juga selalu menemanimu di
setiap fase perkembangan itu. Melihat langit membiru, lalu menggelap bersamamu.
Menghabiskan sisa hidup dengan membuat kenangan tentang aku dan kamu, tanpa
tangis mengkristal ataupun jeritan teredam di dalamnya.
Namun hidup bukan kertas kosong
yang bisa kutulis sesuka hati, bukan? Ketika hidup berbalik memunggungiku,
merenggutmu dari genggamanku, hanya satu hal yang bisa kulakukan; melepasmu.
Ya, aku melepasmu. Karena
terkadang, satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan melepaskan. Percayalah
padaku, ketika kukatakan bahwa aku melepasmu, itu bukan karena aku sanggup. Namun
karena aku harus.
Aku harus melepasmu.
Ah, sebelum kuakui satu kalimat
pengakuan itu, bisakah aku bertanya terlebih dulu? Tentu saja, kamu tidak bisa
menjawabnya. Namun aku akan tetap bertanya.
Haruskah kita menapaki jalan ini?
Jalan yang bersimpangan, yang kuyakin tak kan menyatukan kita di akhir nanti.
Untuk apa kita berdiri di tempat
ini? Tempat yang berada di ujung yang berseberangan, yang kutahu tak kan
membiarkan kita kembali.
Mengapa harus kamu dan aku yang
menanggungnya? Bukankah semua itu bukan kesalahanku, tidak juga kesalahanmu? Lalu
mengapa hidup memilih untuk menghukum kita alih-alih mereka? Menurutmu, adilkah penderitaan yang kini menghiasi hidup kita, ketika kita bahkan sejak awal tidak bisa memilih?
Kita tidak memilih pilihan ini. Karena kita bahkan tidak memiliki kesempatan untuk memilih. Bukan kita yang memilih, lalu mengapa kita yang harus menanggung konsekuensi? Apa kesalahan yang sudah kita perbuat? Apa yang seharusnya kita lakukan sekarang?
Seandainya aku memiliki satu
permintaan yang akan menjadi nyata, aku akan memintamu. Untuk kembali menjadi kamu. Untuk kembali ke sisiku. Karena sungguh, kamu
adalah satu-satunya bagian tak terelakkan dalam hidupku yang tidak akan pernah
mampu kuhapus. Kamu adalah satu-satunya bagian dari diriku yang tak kan pernah
kurelakan tergerus oleh waktu. Kamu adalah segalanya untukku. Dulu, sebelum
kamu memilih untuk pergi meninggalkanku.
Aku tahu seluruh rangkaian kalimat
ini tidak akan sampai padamu. Namun biarkan aku, untuk sekali saja, menyerah
pada kelemahan sang hati. Biarkan aku untuk mengingatmu dalam derai tangis. Biar.
Biarkan aku. Untuk satu kali ini saja. Hanya untuk kali ini.
Dan aku mengakuinya.
Aku merindukanmu.
Aku merindukanmu.
Aku… Merindukanmu…
A.P.S