Terkadang, manusia cenderung lebih mudah mengabaikan hidup yang sedang
dijalani dibanding hidup yang akan mereka jalani. Dengan kata lain, mereka
lebih mengutamakan hidup yang akan mereka jalani.
Dan dengan sangat amat menyesal
gue harus bilang bahwa gue adalah salah satu dari ‘mereka’.
Gue sudah sering
memikirkan hal ini, terutama beberapa bulan terakhir sejak kelulusan dan gue
resmi menyandang status pengangguran. Dulu, gue selalu berpikir bahwa kehidupan
gue setelah lulus sekolah akan menjadi lebih baik. Gue memimpikan banyak hal. Bukan
sesuatu yang buruk, namun terasa amat buruk ketika mimpi itu masih berupa
mimpi.
Kini, di saat
teman-teman gue sibuk mem-posting kegiatan mereka sebagai mahasiswa baru, gue
hanya duduk di sudut rumah dan membaca hal itu satu persatu. Di saat
teman-teman gue sibuk curhat soal perjalanan yang mereka lakukan dari kampus ke
rumah dan foto bareng teman-teman baru, gue justru dalam perjalanan memutari
Jakarta yang panas bin macet. Gue benci mengakui ini, tapi sering kali gue
berharap bahwa gue juga ada di posisi mereka. Bisa kuliah, nggak perlu sibuk
cari kerja, juga nggak perlu makan hati karena harus hidup numpang. Okay, gue mulai jadi orang yang
benar-benar profesional dalam hal mengeluh.
Gue nggak tahu apa yang
harus gue harapkan, tapi satu hal yang gue tahu adalah gue harus tetap percaya
bahwa hidup gue akan menjadi lebih baik. Setidaknya gue masih punya mimpi, juga
prinsip yang melindungi mimpi itu. Masa lalu gue menentukan diri gue saat ini,
dan gue nggak menyesali itu sedikit pun. Toh pada intinya gue masih hidup. I’m
survive.
Dan hidup selalu
memberikan kesempatan kedua. Kesempatan yang disebut sebagai hari esok. Jika saat
ini hidup tidak berpihak pada kita, maka yakinlah detik berikutnya hidup akan
berpihak pada kita. Sejak awal hidup sudah adil. Kenapa? Karena hidup sama-sama
tidak adil pada semua orang.
Saat bikin posting ini,
gue masih dalam status pengangguran. Gue sudah melamar kerja ke 3 tempat
berbeda. Tempat pertama menolak karena gue pakai kacamata. Kemudian pergilah
gue ke optik dan beli lensa kontak—yang menghabiskan waktu 2 jam untuk belajar
pakai dan lepas. Tempat ke dua menolak karena gue nggak bersedia membiarkan
ijazah gue ditahan selama gue kerja. Sedangkan tempat ke tiga mensyaratkan gue
harus pakai behel, yang mana terpaksa gue tolak karena biaya pasang behel itu
seharga dengan gaji gue dua bulan, terus apa untungnya gue kerja kalau begitu
jadinya?
Yah, hidup memang tidak
adil. Tapi setidaknya hidup tidak adil pada semua orang.
Hari Penuh Emosi Sedunia, 29-08-14
Setelah disindir soal gigi nggak rapi
Sambil dengerin Clarity versi Sam Tsui