Kau adalah jalan tanpa
muara.
Kau memberiku harap,
namun tak juga genap.
Kau mengajakku untuk
menyelami setiap sudut istimewamu, lalu memaksaku mengingat kemungkinan yang
jelas tak ada.
Kau matahari yang
menyinariku, tanpa sekalipun mampu kerasakan hangatnya.
Kau dan aku.
Sesingkat kalimat itu, kau bawa asaku menuju
lingkaran di mana hanya ada kau yang sanggup memberiku daya. Kau tak lelah
menganugerahi kepiawaianmu dalam menyerapku, lalu melepasku. Kau adalah sang
hati tanpa pasti, sebentuk nurani tanpa hakiki.
Aku membiarkanmu terus
berlari. Memutari jalan ini, meski hanya menemukan perih.
Aku menunggumu tanpa
henti. Mengharap kau mengerti, namun tak juga menuai pasti.
Kau berada dalam
dimensi tempat impianku bersemi. Dari setiap sisi, kau menawanku untuk tak beranjak
pergi. Kau terasa abadi. Seperti daun-daun yang terhenti ketika angin melirih.
Ingatkah kau ketika
bumi memilih untuk memantulkanmu ke bagian yang lain sementara aku terkungkung
dalam gravitasi?
Kau tak peduli, karena
bagimu aku hanya denting yang mengisi sepi. Namun, mengapa kau tak berhenti
menghampiri? Tidakkah cukup segala tekanan dalam seluruh luas hatiku ini? Bahkan
saat hati ini disandingkan dengan kesanggupannya, mustahil kau temukan arti.
Segalanya tertutup rapat, tersimpan seiring berlalunya hari.
Namun aku tak sanggup
mengabaikanmu. Jarak ini hanya membuat waktuku untuk merindukanmu semakin
sulit. Aku hanya terus bermimpi, meminta bumi untuk menarikmu kembali. Tidakkah
itu suatu hal yang sia-sia? Sementara aku tahu, kita bukanlah kutub yang
berlawanan. Bagaimana caraku menarikmu?
Karena ketika aku
menginginkanmu untuk rebah di tangan ini, kau telah terlingkupi sebentuk lengan
lain. Lengan yang tak menjadi kepunyaanku. Lengan yang tak akan membawamu
padaku.
Kau dan aku. Aku ingin
suatu hari nanti, kita akan menjadi resultan yang berlawanan arah. Agar kita
mampu saling meniadakan. Sehingga jalan kita tak harus saling bertumbukan. Dan
kehadiran kita tak lagi menjadi beban.
Ditemani lagu Pupus dari Dewa 19