Aku
terbangun di pagi hari yang cerah. Sinar matahari menembus masuk ke dalam
kamarku melalui jendela dan menyinari sebagian dinding kamarku. Dinding kamarku
yang berwarna pink entah bagaimana
terlihat sangat indah saat terpapar sinar mentari pagi.
Aku
tersenyum seraya bangkit berdiri dan berjalan menuju jendela. Kamarku terletak
di lantai dua dan jendelaku menghadap
langsung ke taman kompleks. Kusingkap tirai dan seketika mataku terkunci pada
pemandangan di taman. Di sana sekelompok anak sedang asyik bermain, berlari,
dan tertawa-tawa tanpa beban. Pipi mereka yang gemuk bersemu kemerah-merahan
terkena sinar matahari. Serta-merta perasaan iri menyusup dalam diriku.
Aku
Rissania Vera. Di usiaku yang hampir mencapai tujuh
belas
tahun, aku tidak memiliki sahabat. Aku tidak memiliki teman. Aku juga tidak
memiliki pacar. Yang kumiliki hanya kasih sayang dari seorang Bunda dan seorang
saudara kembar yang selalu senantiasa menemaniku, menjagaku, dan menyayangiku
setulus hatinya.
Aku bisa
bicara. Aku bisa berjalan. Aku bisa melihat. Aku memiliki wajah cantik dan juga
keluarga yang berkecukupan. Sama seperti anak-anak itu.
Tapi
untuk apa semua itu ada, jika aku tidak memiliki ginjal yang utuh?
Untuk apa semua itu ada, jika aku hanya bisa menghabiskan waktuku di dalam
kamar dan rumah sakit? Untuk
apa semua itu ada, jika aku tidak mungkin menikmatinya? Sia-sia. Semuanya
sia-sia.
Aku
tertawa miris dalam hati. Betapa indahnya dunia jika kau bisa tertawa sesuka
hatimu, menjejakkan kakimu di alam bebas, dan menatap langit biru tak berbatas.
Tanpa sadar air mata kesedihan kembali mengalir membasahi wajahku. Isak tangis
penderitaan itu kembali menyesakkan dadaku.
Aku
membiarkan kesedihan kembali menggerogoti hatiku, menyusup ke dalam jiwaku,
mengoyak-ngoyak pembuluh darahku, dan menghambat laju aliran napasku. Memang
apa lagi yang bisa kulakukan selain meratapi
nasib?
Kurasakan
sepasang lengan kokoh meraihku ke dalam dekapannya. Mencoba menenangkanku.
Menghiburku.
“Jangan
menangis, Rissa. Jangan menangis.” bisik
Kak Renal lembut.
Aku
menggeleng dengan frustasi.
“Kakak
nggak tahu rasanya jadi aku! Kakak nggak ngerti!”
jeritku.
Tangannya
semakin erat memelukku dan aku menumpahkan air
mataku di bahunya.
“Jangan
sedih, Rissa. Semua akan baik-baik saja." ucapnya sungguh-sungguh.
Namun
aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Karena semuanya berubah menjadi gelap.
***
Ada
seseorang yang menggenggam tanganku. Aku membuka mataku perlahan dan melihat
langit-langit kamar yang berwarna putih dengan bau
pembersih yang begitu menyengat. Aku tahu ini adalah rumah sakit. Tempat yang sudah ratusan kali menjadi rumah singgahku.
“Rissa?”
panggil Kak Renal pelan.
Aku
menoleh ke arahnya dan mencoba tersenyum kecil.
Kakak kembarku
ini bernama Renaldy Alfred. Dia laki-laki yang sempurna dan aku menyayanginya. Tak ada sedikit pun
kekurangan dalam dirinya. Tidak seperti aku.
“Berapa
lama aku disini?” tanyaku lirih.
“Tiga
hari.” jawab Kak Renal seraya membelai
rambutku dengan lembut.
Apa? Aku
tidak sadarkan diri selama tiga hari?
“Minggu
depan kamu akan menjalani operasi pencangkokan ginjal. Jadi, kamu harus
siap-siap ya.” kata Kak Renal seraya menyunggingkan
senyum tenangnya yang selalu bisa membuat hatiku bahagia. Namun tidak kali ini.
“Memangnya
ada orang yang dengan rela mendonorkan ginjalnya?” tanyaku
bingung.
“Ada.
Kamu tenang saja. Semua pasti akan berakhir dengan baik.” jawabnya yakin.
Perlahan
Kak Renal memelukku, mendekapku lembut di dadanya.
“Rissa,
kamu harus berjanji pada Kakak. Kamu akan tetap baik-baik saja.
Kamu akan tetap tersenyum dan memandang langit biru tanpa kesedihan. Kamu akan
tertawa, berlari, dan melanjutkan hidup kamu layaknya remaja lain. Kamu harus berjanji,
apa pun yang terjadi, kamu akan selalu
bahagia dalam hidup kamu. Kamu harus janji, Rissa.”
ucap Kak Renal serius. Nadanya dipenuhi
dengan berbagai emosi yang tak bisa kugambarkan.
Aku
tertegun. Entah mengapa, kurasa ada sesuatu yang tidak benar sedang terjadi.
“Rissa,
kamu janji?” tanya Kak Renal sambil menatapku.
Matanya memancarkan kesungguhan serta berjuta rasa sayang yang aku yakini
selalu diberikannya untukku.
Aku
terdiam sesaat. Aku memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Namun ketika
kutatap kembali mata teduh sarat akan kejujuran milik Kak Renal, hatiku seakan
diliputi keyakinan bahwa semua baik-baik saja. Aku memilih untuk mengenyahkan
perasaan aneh itu, lalu lambat-lamba mengangguk.
“Aku
akan berjanji tentang hal apa pun,
asalkan Kak Renal selalu ada di samping
aku." janjiku sambil tersenyum lembut.
Kak
Renal mengecup keningku, lalu berbisik.
“Kakak
akan selalu ada di hati kamu.”
***
Sepuluh
hari kemudian
Aku
membuka mata perlahan. Entah untuk yang ke berapa
kalinya dalam hidupku ini. Namun kali ini bukan Kak Renal orang yang pertama
kulihat. Bukan senyum tenangnya yang menyapaku di awal
kesadaranku. Bukan juga tangan
hangatnya yang menggenggam tanganku.
“Rissa?”
panggil Bunda lembut. Wajahnya menyiratkan duka mendalam. Meskipun begitu
semburat lega tetap muncul di wajahnya.
“Di mana Kak Renal?”
tanyaku lirih.
“Dia
baik-baik saja, Rissa. Dia bahagia sekarang. Sama
seperti kamu.” jawab Bunda.
Serta-merta
firasat buruk membayangi perasaanku.
“Bunda,
di mana Kak Renal? Kenapa dia nggak ada di sini?” tanyaku
panik.
Bunda
mulai menangis dan menutup wajahnya. Satu suara lirih berbisik dihatiku. Dan
aku merasakan ada sesuatu yang berubah dari dalam ragaku. Seperti separuh
nyawaku lenyap. Hilang. Meninggalkan rasa hampa yang tidak kumengerti.
Apa? Ada
apa? Kenapa? Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Hati kecilku terus
membisikkan jawaban, namun aku tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Tidak.
Bunda
menyerahkan amplop berwarna kuning yang sedari tadi di pegangnya. Perlahan kubuka
amplop itu. Ada tiga lembar kertas di dalamnya
yang berisi tulisan tangan Kak Renal. Kubuka lipatan kertas itu dan kubaca
lembar pertama dengan tangan gemetar.
Rissa
Saat kamu membuka surat ini, pasti aku
sudah tidak ada disamping kamu. Aku
minta maaf karena tidak bisa merayakan hari ulang tahun kita bersama-sama. Tapi aku harap, hadiah yang aku berikan
cukup untuk menggantikan ketidakhadiranku.
Rissa, ada satu hal yang tidak pernah
aku ceritakan pada kamu. Dulu, pada tanggal 14
Februari 1993, telah lahir bayi kembar. Bayi itu kemudian diberi nama Renal dan
Rissa. Kamu tentu tahu itu. Tapi
sebenarnya perut kita menyatu. Kita ini kembar siam. Setelah dilakukan
pemeriksaan, kita bisa dipisahkan. Hanya saja salah satu dari kita akan
kehilangan satu ginjalnya, karena di perut yang menyatu itu hanya terdapat tiga
ginjal. Jadi terpaksa, salah satu dari kita harus hidup dengan satu ginjal.
Akhirnya Ayah dan Bunda memilih untuk memberikan aku dua ginjal
dan mengorbankan kamu. Sungguh, seandainya saat itu aku tahu dan mengerti, aku
tidak akan pernah mengorbankan kamu. Aku benar-benar minta maaf, Rissa. Karena
aku, kamu harus merasakan kesedihan dalam hidup kamu, dan kamu juga harus
kehilangan masa-masa indah yang seharusnya kamu rasakan. Maafkan aku.
Tapi sekarang aku sudah mengembalikan
ginjal kamu. Anggap saja, ini sebuah hadiah ulang tahun terbaik yang bisa aku
berikan.
Aku menangis tersedu-sedu. Otakku
seakan berhenti berpikir. Dan yang dapat kurasakan hanya rasa sedih tak
berujung ini. Kubuka lagi lembar selanjutnya.
Kamu pernah bertanya padaku, apakah ada
orang yang dengan rela memberikan ginjalnya untuk kamu? Tentu saja ada. Orang
itu dengan bersuka rela akan memberikan apapun untuk kamu. Dia tidak hanya akan
memberikan ginjalnya, tapi dia juga akan memberikan seluruh hidupnya untuk
kamu. Kamu tahu
kenapa? Karena dia sangat menyayangi kamu.
Maafkan aku jika saat ini aku membuat
kamu menangis. Tapi percayalah padaku, aku melakukan semua ini untuk kebaikan
kamu. Aku yakin, inilah jalan terbaik yang diberikan Tuhan untuk kita.
Terima kasih untuk tujuh belas tahun
kehidupan yang sangat indah. Terima kasih untuk seluruh kasih sayang dan kepercayaan
yang kamu berikan. Terima kasih sudah membuat hidupku sempurna dengan semua canda,
tawa, air mata, dan senyum. Setelah ini, berjanjilah bahwa kamu akan baik-baik
saja. Bahwa kamu akan tersenyum dan menatap langit biru tanpa kesedihan. Bahwa
kamu akan melanjutkan hidup kamu layaknya remaja lain.
Berbahagialah untukku...
Isak
tangisku semakin keras. Dadaku terasa sesak dan kepalaku berdenyut-denyut
nyeri. Ya Tuhan, mengapa Kak Renal harus melakukan ini? Tidakkah ia tahu aku
sangat membutuhkannya? Tidakkah ia tahu aku sangat menyayanginya?
Dengan
hati yang sudah luluh lantak tak bersisa, kubuka lembar terakhir.
Percayalah padaku.
Walaup ragaku tak lagi kau lihat, kau
sentuh, dan kau peluk, jiwaku tetap tinggal bersamamu.
Percayalah padaku.
Walau dunia berubah hingga tak lagi kau
temukan cinta, cintaku tak kan pernah terhapus untukmu. Cintaku tetap abadi, bersemi dalam
relung jiwamu.
Dan percayalah padaku.
Walau aku tak akan bisa lagi menemanimu,
menjagamu, dan berada di sisimu,
aku akan selalu ada di dalam hatimu.
Renaldy Alfred
***
Aku
berdiri di hadapan makam Kak Renal. Angin sore yang
berhembus dengan pelan seakan mencoba menenangkan batinku. Perlahan, aku duduk
bersimpuh di samping makam dan mengelus permukaan batu nisannya.
Tertulis
disana :
Renaldy Alfred Gunawan
14.02.1993 - 14.02.2010
Dia
adalah lelaki terbaik yang pernah terlahir di dunia ini. Dia adalah kakak
terhebat yang pernah dimiliki seorang adik. Dan dia adalah manusia tersempurna
yang pernah ada dalam hidupku. Aku yakin, Tuhan akan memberikan tempat terbaik
untuknya.
“Sekarang
aku tahu apa arti nama Kakak.” ucapku seraya
tersenyum lembut. Kukenang lagi hari-hari penuh warna yang kulewati bersama Kak
Renal.
Senyumnya,
tawanya, tatapan matanya, bahkan genggaman tangannya masih dapat kuingat dengan
jelas. Seakan-akan ia ada disini bersamaku. Menemaniku, menjagaku, dan
menyayangiku.
“Renal.
Diambil dari nama lain ginjal. Kakak diberi nama itu agar bisa menjadi ginjal
di dalam kehidupanku. Dan benar, memang begitu kenyataannya.”
lanjutku pelan.
Aku
menarik napas dalam, “Kakak keliru saat mengatakan bahwa Kakak
membuatku sedih, padahal sebenarnya Kakak-lah yang membuatku bahagia. Kakak
juga keliru saat mengatakan bahwa Kakak membuatku kehilangan masa-masa indahku,
padahal sebenarnya masa-masa indah itu aku rasakan saat ada Kakak di dalam
hidupku.” ujarku lirih.
Kuletakkan
buket bunga matahari yang kubawa di atas
makamnya, lalu bangkit berdiri dan berbisik pada angin
sore yang membawa pesanku ke surga.
“Thanks for
loving me that much. I love you. Always
and forever.”
Satu
kertas yang kuletakkan di bawah
buket bunga terbang ke langit tertiup angin. Aku tersenyum, lalu membalikkan tubuh
dan mulai berjalan menjauh.
Aku percaya padamu.
Meskipun mentari tak kan memberikan
sinarnya, rembulan meredupkan cahayanya, dan bintang menutupi kilaunya, jiwamu
selalu ada bersamaku.
Aku percaya padamu.
Meskipun seluruh dunia membenciku,
memusuhiku, dan ingin melukaiku, kau akan selalu menyayangiku, menjagaku, dan
mencintaiku setulus hatimu.
Dan aku percaya padamu.
Meskipun jiwamu meninggalkan dunia ini,
kau akan selalu hidup di dalam hatiku.
Rissania Vera
Tidak ada komentar:
Posting Komentar