Malaikat Pendamping Hati
Aku
cukup puas dengan hidupku. Bukan berarti bahagia, meskipun aku nyaris memiliki
segalanya : keluarga yang berkecukupan dan juga menyayangiku, kelebihan fisik
yang tidak dipunyai semua gadis, serta sahabat yang selalu mendukungku. Aku
merasa belum benar-benar bahagia, karena aku ingin memiliki seseorang yang
mencintaiku. Bukan dalam artian sahabat atau keluarga, namun seseorang yang
menjadi pendamping hatiku.
Sudah lebih dari dua
puluh kali aku berganti pacar dalam waktu satu tahun terakhir, tapi tidak ada
satu pun yang mampu menyentuh hatiku. Sering kali aku merasa iri pada Adhis dan
Prita, kedua sahabatku. Mereka memiliki pacar, yang meskipun menurutku biasa
saja, tapi dapat membuat mereka bahagia. Entah apa yang salah pada diriku.
Aku
mendesah dan mengangkat wajahku dari layar laptop untuk menatap seseorang yang duduk
di seberang mejaku. Dia adalah seorang pemuda bertubuh tinggi dan tegap, dengan
kulit berwarna cokelat muda yang menurutku terlihat sangat memesona, serta
rambut pendek sedikit ikal berwarna hitam. Aku tersenyum pada diriku sendiri
saat kembali menundukkan wajah.
Mungkin
inilah yang salah pada diriku. Sudah satu tahun aku melakukan hal ini setiap hari
sepulang sekolah : menempati meja di sudut kanan restoran yang terdapat di
taman kota ,
dengan memakai seragam SMA, sesekali melirik pemuda yang juga memakai seragam
SMA dan selalu menempati meja di seberang mejaku. Aku selalu memerhatikannya,
mengagumi ketampanannya, dan berharap dalam hati akan datang keajaiban yang
membuatku mengenalnya.
Hari
ini tanggal dua puluh dua Februari, tepat satu tahun sejak pertama kali aku
melihatnya. Saat itu dia mengenakan kaus berwarna merah, celana jeans, dan topi
berwarna hitam. Gayanya yang santai dan terkesan tidak peduli dengan sekitarnya
membuatku terpaku menatapnya. Sejak saat itu aku selalu duduk di tempat ini dan
memandanginya tanpa pernah merasa bosan. Setiap harinya justru membuatku
semakin terpesona.
Suara
ringtone ponsel menyadarkanku pada
kenyataan. Aku mengerjap dan segera membuka pesan singkat yang dikirimkan
kakakku, isinya mengingatkanku untuk pulang sebelum Mami dan Papi pulang dari
kantor. Aku mendesah, lalu mematikan laptop dan mulai membereskan
barang-barangku. Tepat saat aku akan bangkit berdiri, seseorang berdeham dan menyapaku
dengan suara ragu. Aku mendongak dan seketika ternganga melihat dia, pemuda
yang selama ini aku kagumi.
“Hai.”
sapanya lagi.
Aku
tersadar dan langsung tergagap, namun untungnya aku masih bisa mengangguk dan
tersenyum membalas sapaannya. Entah mengapa tiba-tiba lidahku terasa kelu dan
otakku membeku. Aku hanya bisa menatapnya, mengagumi mata hitamnya yang
terlihat begitu dalam, dan senyum tipisnya yang memikat. Aku tidak tahu ia jauh
lebih tampan jika ditatap dari jarak dekat.
“Sorry sebelumnya, komik yang lo pegang
tadi Bleach volume berapa ya?” tanyanya sopan.
“Eh,
mmm, ti-tiga puluh tujuh.” jawabku gugup. Dalam hati aku memaki diriku sendiri
yang bisa bersikap sebodoh ini.
Dia
tersenyum dan mengulurkan tangan. “Gue Ravidyo. Panggil aja Ravi .”
“Marsya
Carnetta.” sahutku seraya membalas senyum dan uluran tangannya.
“Boleh
gue panggil lo Netta?”
Meskipun
dalam hati bertanya-tanya, aku tetap mengangguk. Rasanya aku tidak bisa menolak
apa pun yang diinginkan Ravi , dan anehnya hal
itu tidak menggangguku. Saat ini aku merasa sangat bahagia.
“Nggak
keberatan ngobrol sebentar, kan ?” tanya Ravi seraya duduk di hadapanku.
Aku
menggeleng dan bersorak dalam hati. Ternyata keajaiban itu benar-benar datang.
Seandainya ini adalah mimpi, aku tidak ingin terbangun selamanya.
***
Dua bulan kemudian
“Hayo, lagi lihat
siapa? Mau selingkuh dari gue ya?” tegur Ravi
seraya mencubit hidungku dan duduk di sampingku. Wajahnya terhiasi oleh senyum
ceria.
Aku menyingkirkan
tangannya dan balas mencubit lengannya. Ia tersenyum dan memasang ekspresi
meminta maaf yang terlihat begitu memelas, hingga aku tidak tahan untuk tidak
tertawa. Ravi ikut tertawa bersamaku, lalu
membuka laptopnya dan menyalakannya.
Sudah dua bulan kami
dekat. Bukan dalam ikatan pacar, karena sampai sekarang Ravi
belum mengatakan apa pun tentang perasaannya dan mungkin saja ia hanya
menganggapku sahabat. Hampir setiap hari kami duduk di meja favoritku, bercanda
dan berbagi cerita. Ravi bersekolah di SMA
Altrista dan sudah menginjak tahun terakhirnya sebagai siswa SMA. Sering kali
aku menyesal karena dulu memutuskan untuk sekolah di SMA Bhakti Purnama, bukan
SMA Altrista. Tapi aku tidak pernah mengatakannya pada Ravi
karena aku takut ia akan berpikir bahwa aku menyukainya, meskipun kenyataannya
memang begitu.
“Sekarang malah
ngelamun. Pasti lagi mikirin gue ya?” goda Ravi
sambil menyunggingkan seulas senyum bangga.
Aku mencibir. “Narsis
gila.” balasku dengan wajah yang pasti terlihat menahan senyum.
Terkadang aku
merasa Ravi tahu segalanya tentang diriku. Mulai
dari kebiasaanku, kesukaanku, hingga sifatku. Sedangkan aku tidak tahu apa pun
tentang dirinya kecuali fakta bahwa ia teman yang baik dan selalu menolongku
serta melindungiku. Aku tahu ia berasal dari sebuah keluarga ternama di negeri ini,
tapi Ravi tidak mau memberitahukan nama
keluarganya padaku dan anehnya itu tidak membuatku terganggu. Aku justru merasa
nyaman.
Aku tersenyum dan
mengalihkan tatapanku pada Ravi yang sedang
mengetik tugas sekolahnya. Ravi membalas
tatapanku dan aku langsung salah tingkah.
“Nett, boleh nggak
gue jadi pendamping hati lo?” tanya Ravi .
Aku membeku dan kembali
menatapnya tanpa mampu mengeluarkan suara. Bukan karena kalimatnya yang tanpa
basa-basi, tapi karena kata “pendamping hati” yang ia ucapkan. Seolah-olah Ravi tahu apa yang diinginkan hatiku.
Aku menatapnya dan
mencoba mencari keraguan di mata hitamnya. Namun mata itu memberiku
kesungguhan, kejujuran, dan ketulusan hingga aku merasa aku dapat tenggelam
dalam tatapannya. Baru kini aku menyadari, bahwa sejak awal aku tidak hanya
sekedar mengaguminya, tapi juga menyukainya dan bahkan kini mencintainya.
Setelah lama
terdiam dan berpikir, akhirnya aku tersenyum dan mengangguk. Ravi
membalas senyumku dan merangkulku. Sama seperti dua bulan yang lalu, seandainya
ini adalah mimpi, aku tidak ingin terbangun lagi.
***
“Ya
ampun, Ravi ke mana sih?” gumamku gelisah. Aku
kembali berjalan tak tentu arah di teras rumahku, sambil sesekali melihat jam
yang melingkari pergelangan tangan kananku.
“Marsya,
kamu belum berangkat?” tanya Kak Sheira.
Aku
mendesah. “Ravi belum jemput. Kemarin dia
bilang mau jemput jam tiga, tapi sekarang udah hampir jam empat belum dateng
juga. Udah gitu pake acara matiin HP. Aku kan jadi bingung, Kak. Padahal hari ini kita
satu bulanan, Ravi kok tega banget sih bikin
aku cemas.” jawabku panjang-lebar.
Kak
Sheira tersenyum, lalu merangkulku dan berusaha menenangkanku. Saat aku mulai
merasa tenang, sebuah mobil masuk melewati gerbang dan berhenti di depan teras
rumahku. Seorang gadis yang sepertinya lebih muda dariku turun dari kursi
penumpang dengan wajah pucat dan mata sembab. Ia berjalan menghampiriku dan
menyunggingkan seulas senyum lemah.
“Kak
Netta?” tanyanya.
Aku
mengangguk dan semakin bertanya-tanya dalam hati karena selama ini yang memanggilku
Netta hanya Ravi .
“Aku
Zhia, adiknya Kak Ravi.” katanya seraya mengulurkan tangan.
Awalnya
aku mengira Zhia mengulurkan tangan untuk mengajakku bersalaman, tapi ternyata
tangannya memegang sebuah tempat CD dan ia memberikannya padaku. Aku segera menerimanya
dan menatap Zhia dengan pandangan bertanya.
“Ravi dimana?” tanyaku.
“Aku
berharap dia ada di surga sekarang.” jawab Zhia dengan suara serak. Matanya
berkaca-kaca.
Bagaikan
ada petir yang menyambarku, aku terdiam mematung dengan ekspresi tak percaya. Jantungku
berdebar cepat dan aku sungguh berharap ini hanya sebuah lelucon konyol yang
disiapkan Ravi untuk membuatku menangis.
“Apa
maksud kamu?” tanyaku lirih.
“Kak
Ravi bunuh diri.” jawab Zhia dengan wajah dialiri air mata.
“Nggak
mungkin.” bisikku. Air mataku mengalir dan aku menggelengkan kepala, mencoba
untuk membangunkan diriku dari mimpi buruk ini. Tapi saat Kak Sheira memelukku
dan tangisku berubah menjadi jeritan, aku tahu aku tidak bermimpi.
Ini adalah
kenyataan.
***
Aku
menatap CD yang ada di tanganku dengan nanar. Laptopku sudah dalam kondisi
menyala, namun aku masih ragu. Ada
rasa penasaran yang luar biasa menyelimuti hatiku, tapi entah mengapa
terkalahkan oleh rasa takutku. Aku memejamkan mata, lalu menarik napas
dalam-dalam. Dengan gemetar aku memasukkan CD itu, lalu mengklik tanda play.
Wajah
Ravi dengan senyum tipis memenuhi layar laptopku, membuatku menahan napas. Ia
terlihat begitu sehat, tidak pucat seperti yang kulihat kemarin.
“Netta, aku
benci tanggal dua puluh dua, karena tanggal itu selalu membuatku mengingat
kejadian sepuluh tahun yang lalu, saat Bunda bunuh diri tepat di hadapanku.
Tapi pendapatku itu berubah setelah aku melihat kamu di tanggal dua puluh dua
Februari tahun lalu. Sejak itu setiap harinya aku selalu melihat kamu, semakin
mengagumi kamu, dan berharap dalam hati bisa mengenal kamu. Kamu membuat
hidupku jadi berbeda, memberiku harapan.” ucap Ravi dengan senyum ceria di
bibirnya. Matanya menerawang mengingat kenangan yang sepertinya sangat
membuatnya bahagia.
Aku mengembuskan napas yang sedari tadi
kutahan, lalu menggigit bibirku.
“Hari di saat
aku mengajak kamu berkenalan, sebenarnya adalah hari perjodohanku. Aku tahu ini
terdengar kolot, tapi ini adalah tradisi untuk anak pertama keturunan keluarga
Pratama. Hari itu aku memberanikan diri untuk menghampiri kamu, karena aku
pikir, seandainya kamu mengabaikanku rasanya pasti tidak akan terlalu sakit. Tapi
ternyata kamu tidak mengabaikanku. Dengan mata cokelat terangmu itu, kamu
memberiku rasa yang jauh lebih besar dari bahagia. Dan saat itu juga aku sadar,
aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, tanpa alasan.” lanjutnya lembut.
Setetes air mata mengaliri pipiku.
Cepat-cepat aku menghapusnya, karena Ravi
tidak suka melihatku menangis. Meskipun ia hanya menatapku lewat video ini, aku
merasa ia masih berada di sini. Bersamaku. Mendampingiku.
“Aku berharap
Ayah akan mengerti dan membiarkan aku memilih kamu. Tapi Ayah tetap teguh pada
pendiriannya, dan hal ini yang membuatku tidak mampu bertahan. Bukan karena
perjodohanku, tapi karena aku nggak sanggup menyakiti kamu. Aku nggak sanggup
meninggalkan kamu demi gadis lain.” ucapnya.
Nada suaranya berubah menjadi menyesal, dan aku bisa melihat kesedihan dalam
mata hitamnya.
“Maaf karena
aku pergi tanpa penjelasan. Aku tahu kamu pasti marah, sedih, kecewa, dan
mungkin nggak akan pernah maafin aku. Tapi aku melakukan ini karena aku nggak
sanggup menyakiti kamu. Aku nggak sanggup lihat kamu nangis. Mungkin menurut
kamu tindakanku ini konyol dan bodoh, tapi inilah yang terbaik.”
Aku tidak sanggup lagi menahan air mata.
Kubiarkan tetes bening itu mengalir turun, lalu kupeluk tubuhku erat-erat. Suara
isakanku memenuhi kamar. Saat Ravi kembali berbicara, aku kembali mengigit
bibir dan menahan napas.
“Aku harap,
suatu hari nanti kamu memaafkanku. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku akan
selalu menjadi malaikat pendamping hatimu. Dan selalu mencintaimu.” ujar
Ravi seraya tersenyum lembut. Ia meletakkan
kepalan tangannya di dada kirinya, lalu mengulurkan jari telunjuknya. Seperti caranya
selama ini ketika mengatakan selamat tinggal padaku.
Aku terisak semakin keras, lalu
meletakkan tanganku di dada kiri, dan mengulurkan telunjukku pada telunjuk Ravi di layar. Tepat ketika jariku menyentuh layar, wajah
penuh senyum Ravi menghilang dan diganti
dengan warna hitam pekat. Ketika aku menjerit memanggil Ravi ,
sebuah suara di hatiku berbisik. Aku
nggak akan pernah memaafkan kamu, Ravi . Nggak
akan pernah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar