Pertama kali aku menyadari kehadirannya adalah ketika ia melangkah ke
depan kelas untuk mengejakan namanya pada salah satu guru kami.
Ia seorang pemuda unik
dengan rambut yang selalu diacak-acak lalu dirapikan kembali.
Bulan-bulan awal
mengenalnya aku hanya mengetahui satu hal darinya; ia memiliki wangi tubuh
seperti rumah lamaku. Ia membawa suasana itu dan tanpa sadar aku terpikat
karenanya, nyaris seperti lebah yang pada akhirnya menemukan sarang madunya.
Aku suka berbincang
dengannya, sekadar melihatnya tertawa canggung dan menyebabkan kerutan di sudut
matanya. Aku menyukainya, entah atas alasan apa, dan aku bahkan rela menutup segala
kemungkinan cinta lain dalam hidupku hanya untuk mempertahankannya.
Yah mungkin karena aku memang ditakdirkan untuk
menyukainya dalam satu waktu dalam hidupku, tanpa pernah bisa memilikinya dalam
arti juga keadaan sesungguhnya.
Aku membiarkannya
menyentuh hatiku, lalu ia memilikinya tanpa pernah sekalipun mencoba untuk
menjadikanku miliknya. Ya, benar, ia hanya tetap berdiri melakoni perannya
sementara aku memberinya hatiku.
Sungguh, bukan salahnya
jika aku menyukainya dengan cara yang tidak akan pernah bisa dilakukannya
untukku. Aku menyadari itu; kami tidak akan pernah ada dalam satu kata “kita”.
Maka aku pun
bermetamorfosa menjadi gadis lugu nan dungu yang membiarkan saja setiap keping
hatinya hancur hanya untuk tetap bertahan di sisinya. Aku tetap berharap, dan
semakin berharap, bahwa suatu hari nanti ia akan memberi kesempatan pada “kita”
untuk membingkai hidupnya.
Ia tidak pernah
bermaksud untuk menyakitiku dan aku tahu itu. Sejak awal ia bahkan sudah
memberitahuku bahwa tak kan pernah ada kesempatan bagiku untuk membuatnya
mengubah prinsip itu. Namun aku hanya termangu, membeku dan tersenyum ragu.
Meski dalam hati, aku benar-benar bertekad untuk mengabaikan peringatan itu dan
tetap berusaha memperjuangkannya, memperjuangkan kami.
Dan seperti hukum alam
yang tak lagi bisa diingkari, tidak akan pernah ada kemenangan untuk suatu usaha
yang hanya dilakukan oleh satu pihak. Begitu pula dengan kami; tak pernah ada
akhir yang menandakan bahwa ia menyerah dan berbalik untuk memperjuangkanku. Ia
tetap berdiri teguh mendekap prinsipnya dan rasa semu yang kami miliki hancur.
Aku tak lagi mampu.
Dengan hati yang kuyakini tak kan sanggup untuk
rekat kembali, aku berjalan pergi darinya. Tanpa pernah sekalipun mencoba
melepasnya. Aku masih saja berpegang pada harapan bodoh bahwa suatu hari nanti,
ia akan benar-benar memperjuangkanku. Aku memercayai ucapannya ketika ia
mengatakan entah berapa ribu detik lagi, kami akan diberi kesempatan dan ketika
kesempatan itu datang, maka tanpa ragu ia pun akan memperjuangkanku.
Namun hari ini, akhirnya aku menyadari satu hal
yang sungguh telah jelas dan selalu kuabaikan, bahwa ia tak kan pernah cukup
kuat untuk melakukannya. Ia tidak akan pernah sungguh-sungguh denganku. Dan aku
melepasnya, dengan segenap hati yang telah rekat untuk kembali memperjuangkan
cinta lain yang lebih berharga.
Ada begitu banyak kenangan manis yang tak mampu
kuusir bayangnya, bahkan setelah aku memutuskan untuk melepasnya. Ada begitu
banyak tanya yang tak mampu kujawab, bahkan setelah aku tahu ia tak cukup baik
bagiku. Dan ada begitu banyak kata “seandainya”, bahkan setelah aku tahu ia
telah memiliki dan dimiliki oleh sebentuk hati yang lain. Hati yang tidak
menerakan namaku padanya.
Namun masa itu telah
terlewati. Saat aku berdiri dan melihatnya kembali, aku tahu perasaan itu sudah
meninggalkanku bersamaan dengan keputusannya untuk memiliki hati yang lain.
Kini aku dapat tersenyum, dan bahkan mampu berharap bahwa suatu hari nanti aku
akan seberuntung dirinya untuk menemukan pendamping sesungguhnya yang akan
memperjuangkanku, tidak peduli prinsip apa yang dimilikinya.
Karena aku percaya
ketika kita mencintai seseorang begitu rupa, kita akan melupakan asal-usul, mengabaikan
setiap peringatan, dan memperjuangkannya hanya demi melihatnya tersenyum. Itulah yang aku percayai, dan aku sungguh berharap ketika cinta
seperti itu datang padaku, maka tak ada lagi perjuangan satu pihak.
Yah mungkin karena aku
ditakdirkan untuk menyukainya dalam satu waktu dalam hidupku, hanya untuk
mempelajari bahwa aku harus kembali menunggu seseorang yang sungguh akan
memberikan segalanya untukku, tanpa pernah aku meminta atau pun
memperjuangkannya.
Pagi yang Cerah dengan Hati Berselimut Kabut, 16-10-13
Setelah membaca bio twitter seseorang
ditemani lagu Last Kiss
Tidak ada komentar:
Posting Komentar