Cloudy melangkah
memasuki kelas barunya, lalu duduk di bangku dekat pintu tanpa menoleh untuk
melihat teman sekelasnya. Ini adalah tahun pertamanya di SMA, namun Cloudy
tidak merasa harus mencari teman. Alih-alih mengajak berkenalan orang di
belakangnya, ia justru mengeluarkan novel Angels
and Demons karya Dan Brown dan selanjutnya tenggelam dalam cerita itu.
Ares
bersiul pelan seraya memutar stik drum di tangannya. Kakinya menjejak mantap
seiring dengan langkahnya yang mendekati pintu kelas. Ini adalah tahun
pertamanya di SMA, dan Ares sungguh tidak sabar untuk bertemu dengan
teman-teman barunya. Ares memandang berkeliling, dan tanpa sengaja menghentikan
putaran stik drum di tangannya. Tak ayal stik drum kesayangannya melayang bebas
dan mengetuk kepala seorang gadis.
Sontak
suara gaduh yang mengisi ruang kelas lenyap. Setiap pasang mata memandang ke
arah bangku deretan depan, dan setengah tidak percaya ketika melihat Ares—siswa
terpopuler angkatan tahun ini versi MOS—sedang mengusap kepala seorang gadis tidak
dikenal.
“Lo
nggak apa-apa, kan? Maaf ya, gue nggak sengaja.” ucap Ares tulus.
Cloudy
menatap Ares dengan pandangan dingin, lalu menepis tangan Ares dari puncak
kepalanya. Tanpa menyahut, Cloudy menunduk dan kembali membaca. Mengabaikan
Ares.
“Gue
benar-benar minta maaf. Lo nggak marah, kan?” tanya Ares.
Kini
di sekeliling mereka sudah berkumpul penonton yang didominasi oleh siswa
perempuan. Tentu saja mereka sibuk mencari perhatian Ares, namun Ares
mengacuhkan mereka dan tetap menunggu dirinya dimaafkan oleh gadis bermata
dingin di hadapannya.
“Ayolah,
kita ini teman. Sebagai teman harus saling memaafkan.” lanjut Ares.
“Gue
bukan teman lo dan sampai kapan pun gue nggak akan jadi teman lo.” sahut Cloudy datar.
Terang
saja sahutan dari Cloudy mendapatkan banyak protes dari penonton. Mereka balas
mencela Cloudy dan membela Ares. Namun sekali lagi, Ares mengabaikan mereka.
“Kenapa
lo nggak mau jadi teman gue?” tanya Ares dengan rasa ingin tahu yang murni.
Sama sekali tak terdeteksi nada lain yang mengindikasikan bahwa Ares tidak
serius.
Cloudy
mendongak, menatap Ares tepat di bola matanya tanpa ekspresi sedikit pun.
“Karena
lo tipe cowok yang nggak punya masa depan. Cuma bisa mengandalkan tampang dan
kekayaan orangtua, menganggap sekolah sebagai ajang untuk pamer, dan satu-satunya
mata pelajaran terpenting adalah bergaul.” jawab Cloudy tenang.
Penonton
semakin riuh protes, sementara Ares tersenyum mendengar jawaban itu.
“Jadi
menurut lo cowok yang punya masa depan itu seperti apa?” tantang Ares.
“Yang
masuk ke sekolah unggulan tanpa uang sogokan, selalu datang tepat waktu, selalu
mengerjakan tugas, nggak nyontek saat ujian, jadi siswa aktif berprestasi, dan
bisa jadi pemimpin di kelompok apa pun. Sudah pasti, masuk peringkat satu di
kelas adalah kewajiban utama.” jelas Cloudy.
Ares
memudarkan senyumnya, lalu membalas tatapan Cloudy dengan kilat tegas dalam
matanya. Dengan nada terkendali yang menekan setiap katanya, Ares membuat
Cloudy mematung.
“Gue
akan buktikan kalau gue mampu jadi cowok yang punya masa depan versi lo. Gue
bahkan bisa jadi lebih baik dari itu. Saran gue, lo harus siap-siap untuk
mengakui gue sebagai teman lo. Dan saat hari itu datang, dengan segala hormat
gue meminta lo untuk mengubah pemikiran dangkal lo dalam menilai orang lain.
Karena orang yang lo nilai jelek, mungkin akan jadi lebih baik dari lo.” ujar
Ares tegas.
Setelah
itu, Ares berjalan menuju bangku deretan belakang dan menyapa teman-temannya.
Cloudy mengikuti setiap langkah Ares dengan tatapan datarnya, lalu kembali
menunduk dan melanjutkan bacaannya. Sementara Ares menatap Cloudy dengan seulas
senyum tipis yang sulit diartikan.
***
“Pertanyaan
terakhir!” seru Pak Kean, guru PKn yang menjadi pembaca pertanyaan di lomba
Cerdas Tingkat Satu tahun ini. Beliau sengaja mengulur waktu, membuat suasana
semakin menegangkan dan lebih dramatis.
Setiap
tahun SMA Blueshine selalu mengadakan pekan pelajaran di akhir tahun, yang
isinya adalah berbagai jenis lomba berbau pelajaran. Hampir seluruh mata
pelajaran dilombakan, dan lomba yang paling dinantikan adalah lomba Cerdas
Tingkat Satu. Selain karena seluruh siswa diwajibkan berpartisipasi, lomba ini
juga sebagai alat pengukur wawasan dan ingatan para siswa. Sudah pasti pemenang
dari lomba Cerdas Tingkat Satu adalah siswa tercerdas di SMA Blueshine.
Tahun
ini, dua peserta terakhir yang memperebutkan gelar siswa tercerdas kelas sepuluh
adalah Cloudy Navasli dan Ares Pragata. Mereka berdua bersaing ketat hingga
babak terakhir, bahkan skor mereka pun sama. Pertanyaan terakhir inilah yang
akan menjadi penentu kemenangan untuk siswa tercerdas tahun 2012.
Ekspresi
tegang penuh tekad tergambar jelas di wajah Cloudy. Gadis itu bahkan sudah
meletakkan tangan di atas tombol bel. Sementara Ares yang berada di seberangnya,
duduk bersandar dengan santai. Cowok itu sungguh tenang dan penuh percaya diri.
“Akan
tumbuh menjadi apakah spora tumbuhan lumut?” tanya Pak Kean lantang.
Cloudy
langsung memencet tombol.
“Protalium.”
jawab Cloudy tegang.
“Salah!
Kesempatan menjawab dilempar pada Ares!” seru Pak Galih, juri jawaban.
Ares
mendekatkan bibirnya pada mikrofon.
“Protonema.”
jawab Ares tenang.
“Benar!”
seru Pak Galih.
Seluruh
penonton yang memenuhi aula bertepuk tangan dan bersorak gembira. Sejak awal
mayoritas siswa yang menonton memang mendukung Ares, bahkan beberapa guru juga.
Tentu saja hal ini berdasarkan fakta bahwa Ares adalah siswa yang aktif, mempunyai
lebih dari satu lusin sifat terpuji, salah satu atlet taekwondo paling berbakat,
dan musisi terhebat yang dimiliki SMA Blueshine. Bahkan dia sudah dicalonkan
menjadi ketua OSIS untuk tahun ajaran berikutnya.
Setelah
menerima piala, Ares turun dari panggung dan menyambut ucapan selamat dari
teman-temannya dengan senyum ceria. Ia tertawa lepas dan membalas setiap ucapan
dengan kalimat terima kasih yang tulus.
Semua
orang menyukai Ares. Awalnya karena kelebihan fisiknya, namun semakin lama
orang-orang menyadari bahwa Ares sangat cerdas dan rendah hati hingga mampu
berteman dengan siapa pun.
Berbeda dengan Cloudy
yang nyaris tidak memiliki teman dan selalu sibuk dengan dunianya. Hampir tidak
ada yang mengenal Cloudy. Yang mengenalnya hanya guru atau teman sekelasnya,
yang kebetulan tahu namanya dari buku absensi.
“Selamat,
Cloud. Permainan lo bagus. Gue senang bisa ketemu lo di final dan belajar banyak dari lo.” kata Ares tulus sambil
mengulurkan tangan.
Cloudy
menatap Ares dengan tatapannya yang biasa; datar.
“Tahun
depan, gue nggak akan kalah.” balas Cloudy. Kemudian ia membalikkan tubuh dan
berjalan keluar dari aula.
Tepat saat Cloudy
melangkah melewati pintu, setetes air mata meluncur menuruni wajahnya.
Meninggalkan Ares yang berdiri terpaku di tempatnya.
***
Satu tahun kemudian
Sorak
sorai penonton yang penuh dengan semangat, membahana di aula SMA Blueshine.
Lomba Cerdas Tingkat Satu yang memasuki pertanyaan terakhir membuat suasana
semakin menegangkan.
Segalanya
hampir sama seperti tahun sebelumnya, namun kini yang membedakan adalah skor
mereka yang berselisih satu angka—dengan skor Ares unggul—dan bahwa ini lomba
Cerdas Tingkat Satu terakhir yang bisa diikuti oleh Cloudy. Setelah ini, sama
sekali tidak akan ada kesempatan untuk Cloudy.
“Pertanyaan
terakhir! Sebutkan manfaat dari tumbuhan lumut!” ucap Pak Kean.
Ares
dan Cloudy sama-sama terdiam. Juri memberi kesempatan sepuluh detik untuk
berpikir sebelum melemparnya pada Cloudy, lalu pada Ares.
“Waktu
habis! Sebutkan jawaban Anda, Cloudy Navasli.” seru Pak Galih.
“Sebagai
obat kanker.” jawab Cloudy.
“Salah!
Sebutkan jawaban Anda, Ares Pragata.” kata Pak Galih.
Seluruh
penonton mulai bersiap untuk bertepuk tangan, tahu bahwa jagoan mereka akan
kembali memenangkan lomba tahun ini.
Selama
sesaat Ares memandangi Cloudy dengan tatapan lekat, namun gadis itu tetap
bergeming. Tak mau menatapnya meski untuk satu detik.
“Saya
tidak tahu.” jawab Ares kemudian.
Semua
orang yang berada di aula membelalakkan mata dan menatap Ares dengan pandangan
tidak percaya. Jika Ares salah menjawab, sudah pasti mereka bisa mengerti.
Namun Ares justru menjawab tidak tahu. Hal ini menciptakan tanda tanya besar di
kepala setiap orang, termasuk Cloudy.
“Skor
akhir untuk Ares Pragata adalah tiga puluh tiga dan Cloudy Navasli tiga puluh
dua. Dengan ini, Ares Pragata dinyatakan sebagai pemenang lomba Cerdas Tingkat
Satu tahun 2013!” seru Pak Dhoni, kepala sekolah SMA Blueshine.
Penonton
langsung berseru dan bertepuk tangan meriah. Mereka bahkan sudah menciptakan
lagu untuk kemenangan Ares. Segera saja aula yang tadinya sunyi senyap kini
seakan bergetar karena berbagai jeritan dan siulan.
Ares
menerima piala, lalu turun dari panggung dan menerima ucapan selamat dengan
senyum. Beberapa kali ia menganggukkan kepala, namun matanya tetap bergerak
mencari seseorang. Setelah menemukan orang itu, Ares segera melangkah
meninggalkan teman-temannya yang menatapnya dengan bingung.
“Cloud,
tunggu!” seru Ares seraya menarik tangan Cloudy.
Gadis
itu berbalik, lalu menatap Ares. Tatapan datarnya tetap tidak berubah.
“Selamat
atas kemenangannya. Lo memang hebat dan layak untuk gelar siswa tercerdas.”
ucap Cloudy tenang.
Ares
menatap Cloudy tanpa mengendurkan cengkraman tangannya. Tidak terasa sakit,
namun Cloudy merasa tidak nyaman. Cloudy tahu tak lama lagi air matanya akan
mengalir di wajahnya, dan ia tidak mau menangis di hadapan rivalnya.
“Gue
nggak butuh ucapan selamat dari lo.” sahut Ares.
Cloudy
tersenyum miris. Gadis itu tahu, yang diinginkan Ares adalah pengakuan
kekalahannya.
“Jadi
lo mau gue minta maaf dan mengakui ke seluruh penghuni sekolah bahwa gue kalah
dari lo yang dulu gue nilai sebagai cowok tanpa masa depan? Atau lo punya
permintaan lain yang lebih kreatif dari itu?” tanya Cloudy.
Hening.
Tanpa mereka sadari, aula kini sudah berubah menjadi hening. Bahkan tarikan
napas pun dapat terdengar dan bergema di ruangan itu.
“Cukup,
Ares.” bisik Cloudy.
Ares
menahan kalimat di ujung bibirnya, melepas pegangannya pada tangan mungil itu,
dan sekali lagi membiarkan gadis bermata sekelam langit malam itu melangkah
pergi meninggalkannya.
***
Hamparan sawah dengan
perbukitan sebagai latar belakang adalah objek yang paling mendekati
kesempurnaan bagi Cloudy, atau setidaknya sebelum sosok Ares Pragata menghantui
hidupnya dan membuat segala hal di sekitarnya nampak tidak berarti.
Cloudy menatap hampa
pemandangan indah di hadapannya, membiarkan tubuhnya berguncang mengikuti
gerakan mobil yang dikemudikan ayahnya melewati jalan berbatu. Waktu menuju
pergantian tahun seakan berlari sementara Cloudy hanya berdiam diri. Merenungi
nasib; menyesali dua kali kegagalannya mengalahkan Ares dalam lomba itu.
“Cloudy, ayo turun.”
ajak Vander—kakak Cloudy—seraya menepuk lengan adiknya.
Cloudy menghela napas,
lalu melangkah keluar dari mobil dan langsung berhadapan dengan sebuah danau
yang di kelilingi villa unik bernuansa kayu. Udara di sekelilingnya yang sangat
sejuk mendukung kilau warna oranye lembut yang tengah menyelimuti langit,
seakan mencoba menina-bobokan saraf-saraf yang tegang. Cloudy mengerjap kagum
dan memutuskan dalam hati bahwa ia menyukai tempat itu.
Sementara Cloudy
membiarkan matanya menjelajahi villa itu, Vander sibuk dengan ponselnya untuk
mengetik. Tak lama kemudian ponselnya berbunyi, membuat Cloudy melayangkan
pandangan bertanya.
“Ya, gue di Bogor. Nama
tempatnya Panjang Jiwo, di kampung Cijulang. Balik ke Jakarta lusa. Lo ikut
gabung saja. Orangtua gue pasti nggak keberatan. Gue tunggu ya.” ucap Vander
lugas.
Setelah
Vander menurunkan ponsel, ia membalas tatapan adiknya yang lebih muda tiga
tahun darinya dengan seulas senyum riang.
“Kamu
ingat cerita tentang teman satu klub taekwondo Kakak itu, kan?” tanya Vander.
“Ya.
Dia lebih muda dari Kakak tapi kemampuannya lebih hebat dan yang membuat Kakak
semakin kagum adalah karena dia itu punya cerita hebat yang sayangnya nggak mau
Kakak ceritakan ke aku.” jawab Cloudy.
Vander
tertawa dan mengangguk.
“Nah,
dia mau gabung sama kita. Gimana menurut kamu?” balas Vander.
“Setelah
Kakak minta dia untuk datang, Kakak baru tanya pendapat aku. Memang ada
gunanya?” sahut Cloudy datar.
Gadis
itu membalikkan tubuh sementara Vander menggeleng pasrah, menyadari sikap
dingin adiknya sudah kembali naik ke permukaan. Vander hanya bisa berharap,
kedatangan temannya akan mencairkan dinding es dalam diri Clody.
Namun
harapan tetap menjadi harapan, karena beberapa jam kemudian sikap dingin itu
justru membalut Cloudy dengan sempurna. Cloudy bahkan tidak bersedia
mengucapkan sepatah kata pun selama makan malam berlangsung. Ia hanya diam,
mengabaikan setiap pertanyaan paling sederhana sekali pun.
Setelah
menyelesaikan makannya, Cloudy meminta izin untuk pergi ke kamarnya. Kedua
orangtuanya hanya mengangguk, tak ingin mengusik kegundahan gadis kecilnya yang
sedang beranjak dewasa. Sedangkan Vander menghela napas lelah melihat tingkah
polah adiknya yang sungguh tidak bisa dikategorikan sebagai orang ramah.
***
Cloudy
melangkah cepat menuju tangga demi menghindari sosok itu. Cloudy tidak
menyangka hantu dalam benaknya bisa mewujudkan diri secara nyata dalam waktu
secepat kilat. Cloudy berpikir ia bisa melewati malam tahun baru dengan nyaman
dan membosankan seperti biasa, namun kenyataan berkata lain dengan menghadirkan
sosok itu; Ares Pragata.
“Cloud!”
panggil Ares lantang.
Sontak
puluhan tatap mata tertuju padanya, namun ia tidak peduli karena bukan gadis
yang dipanggilnya yang menoleh. Ia tetap memanggil dengan suara lantang,
sementara kedua kakinya berusaha menjajari langkah Cloudy.
Ketika
akhirnya berhasil membuat Cloudy menghentikan langkah, Ares menghela napas
lega.
“Gue
harus jawab pertanyaan lo.” ucap Ares.
“Gue
nggak pernah nanya apa pun ke lo.” sahut Cloudy.
Ares
berdecak, lalu mengacak rambutnya dengan gemas. Tanpa kata, ia menarik tangan
Cloudy menuju ujung danau tempat berdirinya puluhan lilin. Alih-alih romantis,
Ares merasa konsep itu terlalu berkesan menghemat listrik. Atau mungkin dirinya
saja yang tidak diberkati jiwa romantis.
“Apa
dua kali kemenangan atas gue belum cukup, Ares? Bagi gue, lo sudah lebih dari
cukup membuktikan diri lo. Gue nggak tertarik untuk terlibat dalam hal apa pun
lagi bareng lo. Gue sudah merasa cukup. Lebih dari cukup.” kata Cloudy dingin.
Meski begitu, kedua tangannya terkepal erat demi menyembunyikan getarannya.
Ares
memandang Cloudy lekat, membiarkan cahaya lilin membuat bayang gelap dari gadis
sedingin es di hadapannya. Ares mengagumi Cloudy, bersamaan dengan kesadaran
meresahkan bahwa jantungnya tak mau berdetak normal.
“Bisa
dipercepat? Gue nggak punya waktu selamanya cuma buat berdiri di sini dan
membiarkan lo meneliti gue seperti artefak di museum.” ucap Cloudy datar. Tetap
tanpa menatap Ares.
Ares
menarik napas dalam-dalam, lalu mempersempit jarak dengan tambahan satu
langkah. Kedua tangannya menyentuh bahu Cloudy lembut, memaksa gadis itu
menatapnya.
“Satu
minggu yang lalu, lo bertanya apa gue punya permintaan lain yang lebih kreatif
selain meminta lo untuk minta maaf. Saat itu gue terlalu ragu untuk meminta,
tapi setelah berpikir ulang selama ribuan kali, akhirnya gue yakin bahwa cuma
ini satu-satunya permintaan yang bisa gue minta ke lo.” sahut Ares serius.
Cloudy
terpaku dalam bayang semu sementara waktu berlalu. Mungkin ia hanya meracau,
namun gadis itu yakin bahwa kini mereka membeku. Seakan hanya ada mereka dalam
satu frame itu.
“Gue mau lo tersenyum
untuk gue, Cloud. Gue mau lo menatap gue dengan lembut, tanpa sinar persaingan.
Dan gue mau lo menangis di bahu gue, bukan di balik punggung gue.” ucap Ares
sungguh-sungguh.
“Sejak
awal gue nggak berminat jadi anak tercerdas. Gue cuma mau lo bisa lihat gue dan
jadi teman gue. Tapi semakin gue jadi orang seperti yang lo bilang akan punya
masa depan, lo justru semakin menjauh. Jadi juara umum, atlet taekwondo, musisi
hebat, dan ketua OSIS, semua itu gue lakukan supaya gue bisa jadi teman lo. Gue
mau jadi teman lo, bukan rival lo.” lanjut Ares lembut.
Cloudy
menggeleng lemah.
“Lo
bohong. Lo cuma kasihan sama gue.” sahut Cloudy.
Ares
tersenyum sendu, membiarkan gadis di hadapannya melihat dirinya apa adanya.
“Beberapa
hari sebelum MOS, kedua orangtua gue meninggal. Mereka pergi dan membiarkan gue
melewati masa-masa itu sendiri. Kakak perempuan gue tinggal di Singapura dan
dia cuma merasa berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan finansial gue. Apa lo
bisa membayangkan seperti apa rasanya? Ketika semua orang menganggap gue sempurna
dan memuja gue, gue justru merasa muak dan tersesat. Cuma lo yang menganggap
gue normal. Setelah pertemuan konyol kita itu, gue merasa normal. Gue mampu
untuk kembali berharap. Setiap harinya setelah hari itu, gue selalu memikirkan
lo dan cara-cara yang memungkinkan gue untuk membuat lo melihat gue. Tanpa
sadar lo menjadi candu bagi gue. Gue menjadi lebih kuat karena lo, Cloud. Gue
mampu melangkah tegak demi lo. Bagi gue, lo adalah harapan, Cloudy Navasli.”
Cloudy
menangis. Ia membiarkan air mata berguguran membasahi wajahnya. Benaknya
dipenuhi berbagai gambaran tentang sosok Ares yang berdiri di hadapan makam
kedua orangtuanya dan tetap mampu menjalani hidup dengan baik. Ares tidak
menyia-nyiakan apa pun. Ares justru mensyukurinya. Sedangkan Cloudy, apa yang
dia lakukan selain mementingkan dirinya sendiri?
Kali ini, Cloudy
membiarkan Ares memeluknya, menenangkannya dengan sabar dan penuh kelembutan. Sementara
Cloudy menyesali seluruh prasangka buruk yang telah ditimbunnya.
“Terima
kasih karena lo mau nangis di bahu gue. Lo tahu? Itu adalah keinginan terbesar
gue selama dua tahun belakangan ini.” aku Ares dengan wajah sedikit memerah.
Cloudy
tertawa pelan seraya mengurai pelukannya.
“Lo
itu punya segalanya tapi justru mau gue nangis di bahu lo? Benar-benar konyol.”
sahut Cloudy.
Ares
mengangkat bahu acuh tak acuh, sementara bibirnya membentuk sebuah lengkung
sempurna yang terlihat manis.
“Tapi
lo tahu, keinginan terbesar gue saat ini adalah menjadi satu-satunya cowok yang
selalu ada di samping lo dan jadi tempat bersandar lo. Lo setuju untuk mengabulkan
keinginan gue?” tanya Ares penuh harap.
Cloudy
merasa jantungnya berhenti berdetak selama sesaat, kemudian kembali berdetak
dengan kecepatan luar biasa cepat. Setelah hening menegangkan yang terasa
sangat lama, akhirnya Cloudy tersenyum tipis.
“Gue
akan jawab, tapi bukan sekarang.” jawab Cloudy.
Ares
membalas senyum Cloudy dengan tulus, membiarkan kedua tangannya menangkup wajah
cantik di hadapannya.
“Gue
tunggu.” sahut Ares tenang.
Malam itu, diiringi
ledakan warna-warni kembang api yang mewarnai langit, Cloudy tertawa lepas
bersama keluarganya. Mereka mengingat segala hal yang mengisi tahun 2013 seraya
mengharapkan segala hal terbaik untuk tahun 2014.
Cloudy menatap wajah
Ares yang dihiasi tawa riang dengan hati mengucap syukur. Pada akhirnya ia
benar-benar tahu bahwa Cloudy Navasli hanya memiliki satu jawaban untuk Ares
Pragata. Sekarang atau pun nanti, hanya akan ada satu jawaban.
Dan
jawaban itu tentu saja bukan tidak.