Senin, 29 Juli 2013

Malaikat Pendamping Hati

Malaikat Pendamping Hati

            Aku cukup puas dengan hidupku. Bukan berarti bahagia, meskipun aku nyaris memiliki segalanya : keluarga yang berkecukupan dan juga menyayangiku, kelebihan fisik yang tidak dipunyai semua gadis, serta sahabat yang selalu mendukungku. Aku merasa belum benar-benar bahagia, karena aku ingin memiliki seseorang yang mencintaiku. Bukan dalam artian sahabat atau keluarga, namun seseorang yang menjadi pendamping hatiku.
Sudah lebih dari dua puluh kali aku berganti pacar dalam waktu satu tahun terakhir, tapi tidak ada satu pun yang mampu menyentuh hatiku. Sering kali aku merasa iri pada Adhis dan Prita, kedua sahabatku. Mereka memiliki pacar, yang meskipun menurutku biasa saja, tapi dapat membuat mereka bahagia. Entah apa yang salah pada diriku.
            Aku mendesah dan mengangkat wajahku dari layar laptop untuk menatap seseorang yang duduk di seberang mejaku. Dia adalah seorang pemuda bertubuh tinggi dan tegap, dengan kulit berwarna cokelat muda yang menurutku terlihat sangat memesona, serta rambut pendek sedikit ikal berwarna hitam. Aku tersenyum pada diriku sendiri saat kembali menundukkan wajah.
            Mungkin inilah yang salah pada diriku. Sudah satu tahun aku melakukan hal ini setiap hari sepulang sekolah : menempati meja di sudut kanan restoran yang terdapat di taman kota, dengan memakai seragam SMA, sesekali melirik pemuda yang juga memakai seragam SMA dan selalu menempati meja di seberang mejaku. Aku selalu memerhatikannya, mengagumi ketampanannya, dan berharap dalam hati akan datang keajaiban yang membuatku mengenalnya.
            Hari ini tanggal dua puluh dua Februari, tepat satu tahun sejak pertama kali aku melihatnya. Saat itu dia mengenakan kaus berwarna merah, celana jeans, dan topi berwarna hitam. Gayanya yang santai dan terkesan tidak peduli dengan sekitarnya membuatku terpaku menatapnya. Sejak saat itu aku selalu duduk di tempat ini dan memandanginya tanpa pernah merasa bosan. Setiap harinya justru membuatku semakin terpesona.
            Suara ringtone ponsel menyadarkanku pada kenyataan. Aku mengerjap dan segera membuka pesan singkat yang dikirimkan kakakku, isinya mengingatkanku untuk pulang sebelum Mami dan Papi pulang dari kantor. Aku mendesah, lalu mematikan laptop dan mulai membereskan barang-barangku. Tepat saat aku akan bangkit berdiri, seseorang berdeham dan menyapaku dengan suara ragu. Aku mendongak dan seketika ternganga melihat dia, pemuda yang selama ini aku kagumi.
            “Hai.” sapanya lagi.
            Aku tersadar dan langsung tergagap, namun untungnya aku masih bisa mengangguk dan tersenyum membalas sapaannya. Entah mengapa tiba-tiba lidahku terasa kelu dan otakku membeku. Aku hanya bisa menatapnya, mengagumi mata hitamnya yang terlihat begitu dalam, dan senyum tipisnya yang memikat. Aku tidak tahu ia jauh lebih tampan jika ditatap dari jarak dekat.
            “Sorry sebelumnya, komik yang lo pegang tadi Bleach volume berapa ya?” tanyanya sopan.
            “Eh, mmm, ti-tiga puluh tujuh.” jawabku gugup. Dalam hati aku memaki diriku sendiri yang bisa bersikap sebodoh ini.
            Dia tersenyum dan mengulurkan tangan. “Gue Ravidyo. Panggil aja Ravi.”
            “Marsya Carnetta.” sahutku seraya membalas senyum dan uluran tangannya.
            “Boleh gue panggil lo Netta?”
            Meskipun dalam hati bertanya-tanya, aku tetap mengangguk. Rasanya aku tidak bisa menolak apa pun yang diinginkan Ravi, dan anehnya hal itu tidak menggangguku. Saat ini aku merasa sangat bahagia.
            “Nggak keberatan ngobrol sebentar, kan?” tanya Ravi seraya duduk di hadapanku.
            Aku menggeleng dan bersorak dalam hati. Ternyata keajaiban itu benar-benar datang. Seandainya ini adalah mimpi, aku tidak ingin terbangun selamanya.

***

            Dua bulan kemudian
           
“Hayo, lagi lihat siapa? Mau selingkuh dari gue ya?” tegur Ravi seraya mencubit hidungku dan duduk di sampingku. Wajahnya terhiasi oleh senyum ceria.
Aku menyingkirkan tangannya dan balas mencubit lengannya. Ia tersenyum dan memasang ekspresi meminta maaf yang terlihat begitu memelas, hingga aku tidak tahan untuk tidak tertawa. Ravi ikut tertawa bersamaku, lalu membuka laptopnya dan menyalakannya.
Sudah dua bulan kami dekat. Bukan dalam ikatan pacar, karena sampai sekarang Ravi belum mengatakan apa pun tentang perasaannya dan mungkin saja ia hanya menganggapku sahabat. Hampir setiap hari kami duduk di meja favoritku, bercanda dan berbagi cerita. Ravi bersekolah di SMA Altrista dan sudah menginjak tahun terakhirnya sebagai siswa SMA. Sering kali aku menyesal karena dulu memutuskan untuk sekolah di SMA Bhakti Purnama, bukan SMA Altrista. Tapi aku tidak pernah mengatakannya pada Ravi karena aku takut ia akan berpikir bahwa aku menyukainya, meskipun kenyataannya memang begitu.
“Sekarang malah ngelamun. Pasti lagi mikirin gue ya?” goda Ravi sambil menyunggingkan seulas senyum bangga.
Aku mencibir. “Narsis gila.” balasku dengan wajah yang pasti terlihat menahan senyum.
Terkadang aku merasa Ravi tahu segalanya tentang diriku. Mulai dari kebiasaanku, kesukaanku, hingga sifatku. Sedangkan aku tidak tahu apa pun tentang dirinya kecuali fakta bahwa ia teman yang baik dan selalu menolongku serta melindungiku. Aku tahu ia berasal dari sebuah keluarga ternama di negeri ini, tapi Ravi tidak mau memberitahukan nama keluarganya padaku dan anehnya itu tidak membuatku terganggu. Aku justru merasa nyaman.
Aku tersenyum dan mengalihkan tatapanku pada Ravi yang sedang mengetik tugas sekolahnya. Ravi membalas tatapanku dan aku langsung salah tingkah.
“Nett, boleh nggak gue jadi pendamping hati lo?” tanya Ravi.
Aku membeku dan kembali menatapnya tanpa mampu mengeluarkan suara. Bukan karena kalimatnya yang tanpa basa-basi, tapi karena kata “pendamping hati” yang ia ucapkan. Seolah-olah Ravi tahu apa yang diinginkan hatiku.
Aku menatapnya dan mencoba mencari keraguan di mata hitamnya. Namun mata itu memberiku kesungguhan, kejujuran, dan ketulusan hingga aku merasa aku dapat tenggelam dalam tatapannya. Baru kini aku menyadari, bahwa sejak awal aku tidak hanya sekedar mengaguminya, tapi juga menyukainya dan bahkan kini mencintainya.
Setelah lama terdiam dan berpikir, akhirnya aku tersenyum dan mengangguk. Ravi membalas senyumku dan merangkulku. Sama seperti dua bulan yang lalu, seandainya ini adalah mimpi, aku tidak ingin terbangun lagi.

***

            “Ya ampun, Ravi ke mana sih?” gumamku gelisah. Aku kembali berjalan tak tentu arah di teras rumahku, sambil sesekali melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kananku.
            “Marsya, kamu belum berangkat?” tanya Kak Sheira.
            Aku mendesah. “Ravi belum jemput. Kemarin dia bilang mau jemput jam tiga, tapi sekarang udah hampir jam empat belum dateng juga. Udah gitu pake acara matiin HP. Aku kan jadi bingung, Kak. Padahal hari ini kita satu bulanan, Ravi kok tega banget sih bikin aku cemas.” jawabku panjang-lebar.
            Kak Sheira tersenyum, lalu merangkulku dan berusaha menenangkanku. Saat aku mulai merasa tenang, sebuah mobil masuk melewati gerbang dan berhenti di depan teras rumahku. Seorang gadis yang sepertinya lebih muda dariku turun dari kursi penumpang dengan wajah pucat dan mata sembab. Ia berjalan menghampiriku dan menyunggingkan seulas senyum lemah.
            “Kak Netta?” tanyanya.
            Aku mengangguk dan semakin bertanya-tanya dalam hati karena selama ini yang memanggilku Netta hanya Ravi.
            “Aku Zhia, adiknya Kak Ravi.” katanya seraya mengulurkan tangan.
            Awalnya aku mengira Zhia mengulurkan tangan untuk mengajakku bersalaman, tapi ternyata tangannya memegang sebuah tempat CD dan ia memberikannya padaku. Aku segera menerimanya dan menatap Zhia dengan pandangan bertanya.
            “Ravi dimana?” tanyaku.
            “Aku berharap dia ada di surga sekarang.” jawab Zhia dengan suara serak. Matanya berkaca-kaca.
            Bagaikan ada petir yang menyambarku, aku terdiam mematung dengan ekspresi tak percaya. Jantungku berdebar cepat dan aku sungguh berharap ini hanya sebuah lelucon konyol yang disiapkan Ravi untuk membuatku menangis.
            “Apa maksud kamu?” tanyaku lirih.
            “Kak Ravi bunuh diri.” jawab Zhia dengan wajah dialiri air mata.
            “Nggak mungkin.” bisikku. Air mataku mengalir dan aku menggelengkan kepala, mencoba untuk membangunkan diriku dari mimpi buruk ini. Tapi saat Kak Sheira memelukku dan tangisku berubah menjadi jeritan, aku tahu aku tidak bermimpi.
Ini adalah kenyataan.

***

            Aku menatap CD yang ada di tanganku dengan nanar. Laptopku sudah dalam kondisi menyala, namun aku masih ragu. Ada rasa penasaran yang luar biasa menyelimuti hatiku, tapi entah mengapa terkalahkan oleh rasa takutku. Aku memejamkan mata, lalu menarik napas dalam-dalam. Dengan gemetar aku memasukkan CD itu, lalu mengklik tanda play.
            Wajah Ravi dengan senyum tipis memenuhi layar laptopku, membuatku menahan napas. Ia terlihat begitu sehat, tidak pucat seperti yang kulihat kemarin.

“Netta, aku benci tanggal dua puluh dua, karena tanggal itu selalu membuatku mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu, saat Bunda bunuh diri tepat di hadapanku. Tapi pendapatku itu berubah setelah aku melihat kamu di tanggal dua puluh dua Februari tahun lalu. Sejak itu setiap harinya aku selalu melihat kamu, semakin mengagumi kamu, dan berharap dalam hati bisa mengenal kamu. Kamu membuat hidupku jadi berbeda, memberiku harapan.” ucap Ravi dengan senyum ceria di bibirnya. Matanya menerawang mengingat kenangan yang sepertinya sangat membuatnya bahagia.
Aku mengembuskan napas yang sedari tadi kutahan, lalu menggigit bibirku.
“Hari di saat aku mengajak kamu berkenalan, sebenarnya adalah hari perjodohanku. Aku tahu ini terdengar kolot, tapi ini adalah tradisi untuk anak pertama keturunan keluarga Pratama. Hari itu aku memberanikan diri untuk menghampiri kamu, karena aku pikir, seandainya kamu mengabaikanku rasanya pasti tidak akan terlalu sakit. Tapi ternyata kamu tidak mengabaikanku. Dengan mata cokelat terangmu itu, kamu memberiku rasa yang jauh lebih besar dari bahagia. Dan saat itu juga aku sadar, aku mencintaimu. Sangat mencintaimu, tanpa alasan.” lanjutnya lembut.
Setetes air mata mengaliri pipiku. Cepat-cepat aku menghapusnya, karena Ravi tidak suka melihatku menangis. Meskipun ia hanya menatapku lewat video ini, aku merasa ia masih berada di sini. Bersamaku. Mendampingiku.
“Aku berharap Ayah akan mengerti dan membiarkan aku memilih kamu. Tapi Ayah tetap teguh pada pendiriannya, dan hal ini yang membuatku tidak mampu bertahan. Bukan karena perjodohanku, tapi karena aku nggak sanggup menyakiti kamu. Aku nggak sanggup meninggalkan kamu demi gadis lain.” ucapnya. Nada suaranya berubah menjadi menyesal, dan aku bisa melihat kesedihan dalam mata hitamnya.
“Maaf karena aku pergi tanpa penjelasan. Aku tahu kamu pasti marah, sedih, kecewa, dan mungkin nggak akan pernah maafin aku. Tapi aku melakukan ini karena aku nggak sanggup menyakiti kamu. Aku nggak sanggup lihat kamu nangis. Mungkin menurut kamu tindakanku ini konyol dan bodoh, tapi inilah yang terbaik.”
Aku tidak sanggup lagi menahan air mata. Kubiarkan tetes bening itu mengalir turun, lalu kupeluk tubuhku erat-erat. Suara isakanku memenuhi kamar. Saat Ravi kembali berbicara, aku kembali mengigit bibir dan menahan napas.
“Aku harap, suatu hari nanti kamu memaafkanku. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku akan selalu menjadi malaikat pendamping hatimu. Dan selalu mencintaimu.”  ujar Ravi seraya tersenyum lembut. Ia meletakkan kepalan tangannya di dada kirinya, lalu mengulurkan jari telunjuknya. Seperti caranya selama ini ketika mengatakan selamat tinggal padaku.
            Aku terisak semakin keras, lalu meletakkan tanganku di dada kiri, dan mengulurkan telunjukku pada telunjuk Ravi di layar. Tepat ketika jariku menyentuh layar, wajah penuh senyum Ravi menghilang dan diganti dengan warna hitam pekat. Ketika aku menjerit memanggil Ravi, sebuah suara di hatiku berbisik. Aku nggak akan pernah memaafkan kamu, Ravi. Nggak akan pernah.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar