Minggu, 28 Juli 2013

The Last Gift

Aku terbangun di pagi hari yang cerah. Sinar matahari menembus masuk ke dalam kamarku melalui jendela dan menyinari sebagian dinding kamarku. Dinding kamarku yang berwarna pink entah bagaimana terlihat sangat indah saat terpapar sinar mentari pagi.
Aku tersenyum seraya bangkit berdiri dan berjalan menuju jendela. Kamarku terletak di lantai dua dan jendelaku menghadap langsung ke taman kompleks. Kusingkap tirai dan seketika mataku terkunci pada pemandangan di taman. Di sana sekelompok anak sedang asyik bermain, berlari, dan tertawa-tawa tanpa beban. Pipi mereka yang gemuk bersemu kemerah-merahan terkena sinar matahari. Serta-merta perasaan iri menyusup dalam diriku.
Aku Rissania Vera. Di usiaku yang hampir mencapai tujuh belas tahun, aku tidak memiliki sahabat. Aku tidak memiliki teman. Aku juga tidak memiliki pacar. Yang kumiliki hanya kasih sayang dari seorang Bunda dan seorang saudara kembar yang selalu senantiasa menemaniku, menjagaku, dan menyayangiku setulus hatinya.
Aku bisa bicara. Aku bisa berjalan. Aku bisa melihat. Aku memiliki wajah cantik dan juga keluarga yang berkecukupan. Sama seperti anak-anak itu.
Tapi untuk apa semua itu ada, jika aku tidak memiliki ginjal yang utuh? Untuk apa semua itu ada, jika aku hanya bisa menghabiskan waktuku di dalam kamar dan rumah sakit? Untuk apa semua itu ada, jika aku tidak mungkin menikmatinya? Sia-sia. Semuanya sia-sia.
Aku tertawa miris dalam hati. Betapa indahnya dunia jika kau bisa tertawa sesuka hatimu, menjejakkan kakimu di alam bebas, dan menatap langit biru tak berbatas. Tanpa sadar air mata kesedihan kembali mengalir membasahi wajahku. Isak tangis penderitaan itu kembali menyesakkan dadaku.
Aku membiarkan kesedihan kembali menggerogoti hatiku, menyusup ke dalam jiwaku, mengoyak-ngoyak pembuluh darahku, dan menghambat laju aliran napasku. Memang apa lagi yang bisa kulakukan selain meratapi nasib?
Kurasakan sepasang lengan kokoh meraihku ke dalam dekapannya. Mencoba menenangkanku. Menghiburku.
Jangan menangis, Rissa. Jangan menangis. bisik Kak Renal lembut.
Aku menggeleng dengan frustasi.
Kakak nggak tahu rasanya jadi aku! Kakak nggak ngerti! jeritku.
Tangannya semakin erat memelukku dan aku menumpahkan air mataku di bahunya.
Jangan sedih, Rissa. Semua akan baik-baik saja." ucapnya sungguh-sungguh.
Namun aku tidak bisa mendengar apa-apa lagi. Karena semuanya berubah menjadi gelap.

***

Ada seseorang yang menggenggam tanganku. Aku membuka mataku perlahan dan melihat langit-langit kamar yang berwarna putih dengan bau pembersih yang begitu menyengat. Aku  tahu ini adalah rumah sakit. Tempat yang sudah ratusan kali menjadi rumah singgahku.
Rissa? panggil Kak Renal pelan.
Aku menoleh ke arahnya dan mencoba tersenyum kecil.
Kakak kembarku ini bernama Renaldy Alfred. Dia laki-laki yang sempurna dan aku menyayanginya. Tak ada sedikit pun kekurangan dalam dirinya. Tidak seperti aku.
Berapa lama aku disini? tanyaku lirih.
“Tiga hari. jawab Kak Renal seraya membelai rambutku dengan lembut.
Apa? Aku tidak sadarkan diri selama tiga hari?
Minggu depan kamu akan menjalani operasi pencangkokan ginjal. Jadi, kamu harus siap-siap ya. kata Kak Renal seraya menyunggingkan senyum tenangnya yang selalu bisa membuat hatiku bahagia. Namun tidak kali ini.
Memangnya ada orang yang dengan rela mendonorkan ginjalnya? tanyaku bingung.
Ada. Kamu tenang saja. Semua pasti akan berakhir dengan baik.” jawabnya yakin.
Perlahan Kak Renal memelukku, mendekapku lembut di dadanya.
Rissa, kamu harus berjanji pada Kakak. Kamu akan tetap baik-baik saja. Kamu akan tetap tersenyum dan memandang langit biru tanpa kesedihan. Kamu akan tertawa, berlari, dan melanjutkan hidup kamu layaknya remaja lain. Kamu harus berjanji, apa pun yang terjadi, kamu akan selalu bahagia dalam hidup kamu. Kamu harus janji, Rissa. ucap Kak Renal serius. Nadanya dipenuhi dengan berbagai emosi yang tak bisa kugambarkan.
Aku tertegun. Entah mengapa, kurasa ada sesuatu yang tidak benar sedang terjadi.
Rissa, kamu janji? tanya Kak Renal sambil menatapku. Matanya memancarkan kesungguhan serta berjuta rasa sayang yang aku yakini selalu diberikannya untukku.
Aku terdiam sesaat. Aku memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Namun ketika kutatap kembali mata teduh sarat akan kejujuran milik Kak Renal, hatiku seakan diliputi keyakinan bahwa semua baik-baik saja. Aku memilih untuk mengenyahkan perasaan aneh itu, lalu lambat-lamba mengangguk.
Aku akan berjanji tentang hal apa pun, asalkan Kak Renal selalu ada di samping aku." janjiku sambil tersenyum lembut.
Kak Renal mengecup keningku, lalu berbisik.
Kakak akan selalu ada di hati kamu.

***

Sepuluh hari kemudian
Aku membuka mata perlahan. Entah untuk yang ke berapa kalinya dalam hidupku ini. Namun kali ini bukan Kak Renal orang yang pertama kulihat. Bukan senyum tenangnya yang menyapaku di awal kesadaranku. Bukan juga tangan hangatnya yang menggenggam tanganku.
Rissa? panggil Bunda lembut. Wajahnya menyiratkan duka mendalam. Meskipun begitu semburat lega tetap muncul di wajahnya.
Di mana Kak Renal? tanyaku lirih.
Dia baik-baik saja, Rissa. Dia bahagia sekarang. Sama seperti kamu.jawab Bunda.
Serta-merta firasat buruk membayangi perasaanku.
Bunda, di mana Kak Renal? Kenapa dia nggak ada di sini? tanyaku panik.
Bunda mulai menangis dan menutup wajahnya. Satu suara lirih berbisik dihatiku. Dan aku merasakan ada sesuatu yang berubah dari dalam ragaku. Seperti separuh nyawaku lenyap. Hilang. Meninggalkan rasa hampa yang tidak kumengerti.
Apa? Ada apa? Kenapa? Aku terus bertanya-tanya dalam hati. Hati kecilku terus membisikkan jawaban, namun aku tidak mau memikirkan kemungkinan itu. Tidak.
Bunda menyerahkan amplop berwarna kuning yang sedari tadi di pegangnya. Perlahan kubuka amplop itu. Ada tiga lembar kertas di dalamnya yang berisi tulisan tangan Kak Renal. Kubuka lipatan kertas itu dan kubaca lembar pertama dengan tangan gemetar.

Rissa
Saat kamu membuka surat ini, pasti aku sudah tidak ada disamping kamu. Aku minta maaf karena tidak bisa merayakan hari ulang tahun kita bersama-sama. Tapi aku harap, hadiah yang aku berikan cukup untuk menggantikan ketidakhadiranku.
Rissa, ada satu hal yang tidak pernah aku ceritakan pada kamu. Dulu, pada tanggal 14 Februari 1993, telah lahir bayi kembar. Bayi itu kemudian diberi nama Renal dan Rissa. Kamu tentu tahu itu. Tapi sebenarnya perut kita menyatu. Kita ini kembar siam. Setelah dilakukan pemeriksaan, kita bisa dipisahkan. Hanya saja salah satu dari kita akan kehilangan satu ginjalnya, karena di perut yang menyatu itu hanya terdapat tiga ginjal. Jadi terpaksa, salah satu dari kita harus hidup dengan satu ginjal.
Akhirnya Ayah dan Bunda memilih untuk memberikan aku dua ginjal dan mengorbankan kamu. Sungguh, seandainya saat itu aku tahu dan mengerti, aku tidak akan pernah mengorbankan kamu. Aku benar-benar minta maaf, Rissa. Karena aku, kamu harus merasakan kesedihan dalam hidup kamu, dan kamu juga harus kehilangan masa-masa indah yang seharusnya kamu rasakan. Maafkan aku.
Tapi sekarang aku sudah mengembalikan ginjal kamu. Anggap saja, ini sebuah hadiah ulang tahun terbaik yang bisa aku berikan.

            Aku menangis tersedu-sedu. Otakku seakan berhenti berpikir. Dan yang dapat kurasakan hanya rasa sedih tak berujung ini. Kubuka lagi lembar selanjutnya.

Kamu pernah bertanya padaku, apakah ada orang yang dengan rela memberikan ginjalnya untuk kamu? Tentu saja ada. Orang itu dengan bersuka rela akan memberikan apapun untuk kamu. Dia tidak hanya akan memberikan ginjalnya, tapi dia juga akan memberikan seluruh hidupnya untuk kamu. Kamu tahu kenapa? Karena dia sangat menyayangi kamu.
Maafkan aku jika saat ini aku membuat kamu menangis. Tapi percayalah padaku, aku melakukan semua ini untuk kebaikan kamu. Aku yakin, inilah jalan terbaik yang diberikan Tuhan untuk kita.
Terima kasih untuk tujuh belas tahun kehidupan yang sangat indah. Terima kasih untuk seluruh kasih sayang dan kepercayaan yang kamu berikan. Terima kasih sudah membuat hidupku sempurna dengan semua canda, tawa, air mata, dan senyum. Setelah ini, berjanjilah bahwa kamu akan baik-baik saja. Bahwa kamu akan tersenyum dan menatap langit biru tanpa kesedihan. Bahwa kamu akan melanjutkan hidup kamu layaknya remaja lain.
Berbahagialah untukku...

Isak tangisku semakin keras. Dadaku terasa sesak dan kepalaku berdenyut-denyut nyeri. Ya Tuhan, mengapa Kak Renal harus melakukan ini? Tidakkah ia tahu aku sangat membutuhkannya? Tidakkah ia tahu aku sangat menyayanginya?
Dengan hati yang sudah luluh lantak tak bersisa, kubuka lembar terakhir.

Percayalah padaku.
Walaup ragaku tak lagi kau lihat, kau sentuh, dan kau peluk, jiwaku tetap tinggal bersamamu.
Percayalah padaku.
Walau dunia berubah hingga tak lagi kau temukan cinta, cintaku tak kan pernah terhapus untukmu. Cintaku tetap abadi, bersemi dalam relung jiwamu.
Dan percayalah padaku.
Walau aku tak akan bisa lagi menemanimu, menjagamu, dan berada di sisimu, aku akan selalu ada di dalam hatimu.

Renaldy Alfred

***

Aku berdiri di hadapan makam Kak Renal. Angin sore yang berhembus dengan pelan seakan mencoba menenangkan batinku. Perlahan, aku duduk bersimpuh di samping makam dan mengelus permukaan batu nisannya.
Tertulis disana :
Renaldy Alfred Gunawan
14.02.1993  -  14.02.2010
Dia adalah lelaki terbaik yang pernah terlahir di dunia ini. Dia adalah kakak terhebat yang pernah dimiliki seorang adik. Dan dia adalah manusia tersempurna yang pernah ada dalam hidupku. Aku yakin, Tuhan akan memberikan tempat terbaik untuknya.
Sekarang aku tahu apa arti nama Kakak. ucapku seraya tersenyum lembut. Kukenang lagi hari-hari penuh warna yang kulewati bersama Kak Renal.
Senyumnya, tawanya, tatapan matanya, bahkan genggaman tangannya masih dapat kuingat dengan jelas. Seakan-akan ia ada disini bersamaku. Menemaniku, menjagaku, dan menyayangiku.
Renal. Diambil dari nama lain ginjal. Kakak diberi nama itu agar bisa menjadi ginjal di dalam kehidupanku. Dan benar, memang begitu kenyataannya. lanjutku pelan.
Aku menarik napas dalam, Kakak keliru saat mengatakan bahwa Kakak membuatku sedih, padahal sebenarnya Kakak-lah yang membuatku bahagia. Kakak juga keliru saat mengatakan bahwa Kakak membuatku kehilangan masa-masa indahku, padahal sebenarnya masa-masa indah itu aku rasakan saat ada Kakak di dalam hidupku. ujarku lirih.
Kuletakkan buket bunga matahari yang kubawa di atas makamnya, lalu bangkit berdiri dan berbisik pada angin sore yang membawa pesanku ke surga.
Thanks for loving me that much. I love you.  Always and forever.
Satu kertas yang kuletakkan di bawah buket bunga terbang ke langit tertiup angin. Aku tersenyum, lalu membalikkan tubuh dan mulai berjalan menjauh.

Aku percaya padamu.
Meskipun mentari tak kan memberikan sinarnya, rembulan meredupkan cahayanya, dan bintang menutupi kilaunya, jiwamu selalu ada bersamaku.
Aku percaya padamu.
Meskipun seluruh dunia membenciku, memusuhiku, dan ingin melukaiku, kau akan selalu menyayangiku, menjagaku, dan mencintaiku setulus hatimu.
Dan aku percaya padamu.
Meskipun jiwamu meninggalkan dunia ini, kau akan selalu hidup di dalam hatiku.

Rissania Vera

Tidak ada komentar:

Posting Komentar