Rabu, 30 Oktober 2013

XII IPA 2 : Part of Introducing

XII-IPA 2 adalah sebuah kelas angkatan tahun 2013/2014 di SMAN 7 Bogor. Dihuni oleh 36 siswa serta siswi dari berbagai kasta dan dipimpin oleh Bu Tati.
            Pertama kali ide untuk menulis ini muncul saat gue makan biskuit cokelat dicampur softdrink, rasanya menyengat tapi manis. Ya, itulah kalimat yang cocok untuk menggambarkan XII-IPA 2.
            Dengan dikepalai oleh Ferdyanto dan Arif Budiharjo sebagai Ketua Kelas yang selalu melakukan stand up comedy di mana pun mereka berada, didampingi oleh Moudy K.D dan Erina Sandra sebagai Sekertaris favorit versi seluruh cowok di muka bumi, dan diikuti Riska Amelia juga Tarsius—Yeni maksudnya hehehe peace—sebagai Bendahara paling cekatan dalam masalah narik duit, XII-IPA 2 benar-benar kelas paling nggak sepi di SMAN 7.
            Dan masih banyak rakyat lain yang ajaib bin alay dan mungkin akan gue tulis di kesempatan-kesempatan berikutnya. Sekarang biar gue menyelesaikan part of introducing XII-IPA 2.
Pertama kali masuk ke kelas ini yang terpikir oleh gue adalah betapa beruntungnya gue karena bisa satu kelas dengan orang-orang pintar yang kompeten di bidangnya masing-masing, dan tidak ada satu pun anak yang menunjukkan gejala ‘anak gaul’. Itulah yang paling gue syukuri. Bisa dikatakan seluruh warga XII-IPA 2 memang sedikit keterlaluan ketika bercanda, namun mereka tidak pernah bermaksud untuk menyakiti dan yang paling penting mereka tidak pernah terlibat dalam hal non-academic yang sudah menjadi prestasi khas SMAN 7.
            Setiap anak selalu bersemangat ketika pelajaran Eksakta—Matematika, Fisika, Kimia—dan akan tidur berjama’ah saat pelajaran PKn berlangsung. Yang lebih mengesankan lagi, ketika ada jam kosong mereka akan melakukan berbagai permainan kocak yang selalu mengundang tawa. Lalu bagian anehnya adalah saat jam istirahat, kelas selalu hampir kosong, karena biasanya yang tersisa hanya gue dan teman sebangku gue; Aul.
            XII-IPA 2 bahkan menjadi semacam tempat cinlok paling pewe, karena para pemuda-pemudi yang menggebet teman sekelasnya sendiri bisa jadi lebih rajin ke sekolah dan rajin berbaur di mana pun gebetannya berada. Misalnya cowok yang duduk di depan bisa pindah ke belakang demi cewek gebetannya, pun begitu sebaliknya. Dan gue suka melihat itu, karena khas anak SMA. Saat jatuh cinta menjadi hal sederhana yang membahagiakan dan melihat orang yang disukai tersenyum pun menjadi alasan kuat untuk tenggelam dalam ribuan angan konyol. Ya, itulah SMA.
            XII-IPA 2 juga kompak dalam hal ‘garing’ ketika mengerjai temannya yang ulang tahun. Contohnya saja dua kasus baru-baru ini, ketika Masekal dan Aul ulang tahun. Sebenarnya niat kami baik—untuk membuat mereka panik atau tidak nyaman atau entahlah—namun akhirnya semua berakhir awkward karena jebakannya gatot alias gagal total bin cacat parah.
            XII-IPA 2 nggak pernah absen dalam hal melakukan game konyol, apalagi ada Bara Dahana sebagai tetua terhormatnya. Contohnya saat mereka bermain truth or dare beberapa bulan lalu. Moudy kebagian jatah untuk berpose alay, Arif dapat tugas mencium ketiak Deden, Eva kelimpahan misi untuk merayu Wahyudin, and the best dare ever jatuh pada Bara yang dapat jackpot untuk mencium kaus kaki Deden.
Just FYI, setelah itu Bara muntah-muntah dan wajahnya pias selama satu jam. Entah racun seperti apa yang sudah dihasilkan tubuh Deden, karena sepertinya semua orang begitu niat menjadikannya objek penciuman dan subjek yang dijadikan korban pasti hampir koma.
            Nah, beberapa hari yang lalu gerombolan gamers itu kembali beraksi. Kali itu mereka memainkan ‘kotak pos’ dan mereka menciptakan berbagai nama sebutan yang demi kebaikan generasi muda bangsa Indonesia tidak usah disebutkan di sini. Secara bergantian mereka bermain dan ada saja tingkah yang membuat penontonnya tertawa. Contohnya saat Faqih digerayangi Bara, lalu saat Bara ditinggal sendirian di dalam kelas sementara seluruh penghuni XII-IPA 2 lainnya cekikikan di luar.
            Okay, mungkin itu saja yang bisa gue tulis untuk saat ini. Kalau mengikuti gaya bahasa Aul, Basa Sunda dan Sejarah lagi minta dikelonin so I gotta go. See ya in next posting about XII-IPA 2.

Hari Libur Mandi, 27-10-13
Sambil makan Togo dan Fanta

Ditemani lagu Somewhere in Neverland

Jumat, 25 Oktober 2013

Kembali untuk Harapan

            I have a superduper terrible day in this week. I’m messed up in every way that I knew.
            Minggu ini adalah masa di mana bom waktu yang gue simpan meledak berhamburan tak tentu arah, bom yang sudah gue erami layaknya induk ayam mengerami telurnya selama berbulan-bulan. Ketika gue kehabisan tenaga untuk menahan bom itu, efek meledaknya seperti meluluh-lantakan hati hingga tak bersisa, dan yang bisa gue lakukan hanya menangis-mengacau-meresahkan para kerabat-melarikan diri.
            Gue benar-benar berniat untuk menyerah saja sekalian, karena untuk apa bertahan jika alasan yang mempertahankan gue selama ini akan pergi tanpa mampu gue selamatkan? Satu-satunya alasan yang membuat gue bertahan untuk ribuan harapan, percaya akan masa depan yang lebih baik, sekolah, belajar, juga berjuang untuk hidup. Alasan itu terenggut begitu saja karena sebuah putusan yang mungkin ditujukan untuk menguji kekuatan hati gue, namun sekali ini gue sungguh-sungguh tidak mampu menahannya lagi. Gue menyerah untuk bertahan. Gue lelah dan gue siap untuk melepaskan.
Gue bahkan sudah tidak yakin pada diri gue sendiri dan yang paling parah, gue mendorong setiap orang yang gue cintai untuk meninggalkan gue. Ya, gue mendorong mereka semua untuk mengakui kelemahan gue dan gue membiarkan mereka untuk beranjak pergi.
            Karena saat masalah menjadi begitu menyesakkan, tak ada jalan kembali untuk memutar langkah selain mencoba untuk melepaskan. Dan saat bertahan tak lagi mampu menahan setiap luka, harus selalu ada yang dikorbankan. Itulah yang gue tahu.
            Namun orang-orang yang sudah gue dorong untuk pergi, tetap berkeras bahwa selalu ada jalan kembali. Bahkan untuk sebentuk hati yang patah, yang tak lagi mampu mengandung harapan. Akan selalu ada kesempatan untuk setiap orang—seburuk apa pun orang itu—memperbaiki dirinya; kesempatan kedua.
            Mungkin ini klise—karena bahkan gue sudah pernah menulis novel bertema serupa—namun gue benar-benar merasakan harapan itu masih ada. Saat mereka tetap berjuang mempertahankan gue, barulah gue tahu harapan itu belum meninggalkan gue. Gue masih memiliki kesempatan kedua.
            Bahkan setelah gue bersikap bodoh, menyia-nyiakan setiap waktu, juga berniat untuk menyerah kalah pada keadaan, mereka tetap ada. Mereka; yang telah gue nilai sebagai tempat yang tak bisa gue sebut sebagai keluarga, yang telah gue tinggalkan demi kelemahan hati gue, juga yang telah gue kecewakan karena keputusan egois gue.
            Mereka tetap ada, bahkan setelah segala hal buruk yang gue lakukan.
            Gue sadar akan setiap resiko yang bisa gue dapatkan karena kembali mendekap harapan, namun gue akan melakukan segalanya untuk tetap tegak, untuk tetap berjuang. Karena setiap keyakinan yang pernah gue yakini membawa gue pada kesimpulan bahwa tak ada manusia yang lebih buruk selain manusia yang menyerah untuk berjuang. Dan gue tidak akan menjadi salah satunya; gue akan tetap berjuang meski gue harus terjatuh, terpuruk, dan terluka lagi.
            Terkadang, kita bisa begitu buta akan satu hal yang begitu jelas di depan mata hanya karena hal itu tertutup oleh kesederhanaan. Kita selalu mengharapkan hal baik dengan bungkus yang tak kalah baik. Padahal sesungguhnya, tak ada yang lebih baik selain hal baik yang terbungkus oleh kesederhanaan.
            Dan itulah yang gue temukan dalam keluarga kecil gue, yang tetap bertahan menghadapi setiap kebodohan dan keegoisan gue, juga memberi kekuatan saat gue bahkan tak lagi memiliki tempat untuk gue sebut sebagai ‘rumah’.
            Kita melakukan kesalahan, namun itu adalah hal yang wajar ketika kita melakukannya untuk kali pertama. Dan ketika kita melakukannya lagi, maka hal itu tak lagi menjadi pemakluman, karena itu adalah pilihan. Itulah sebabnya setiap orang berhak untuk kesempatan kedua.
            Untuk seluruh anggota HIRISMAN 7 Bogor, yang sudah bersedia menyangga dan mendukung gue di masa terburuk gue, terima kasih. Hanya itu kata yang sanggup gue ucapkan untuk kalian. Mungkin benar Allah SWT menguji gue karena Dia tahu gue mampu, Allah Maha Mengetahui, right? Dan mungkin kalian adalah anugerah yang nggak pernah gue sadari—karena kita melalui banyak hal baik juga buruk bersama—sebuah keluarga yang gue harapkan meski tak sempurna, dan gue baru menyadari itu saat gue nggak lagi memiliki kalian.
            Terima kasih juga untuk Sulistya Ningrum, sepupu baik hati yang kadang nyebelin setengah hidup, yang membuat gue sadar bahwa gue harus tetap berjuang. Untuk Gita Bernadus, yang nggak pernah berhenti menyediakan bahunya untuk setiap air mata gue. Untuk Aulia Khoirunnisa, yang punya pandangan berbeda pada hidup, membuat gue tahu setiap kesalahan gue. Untuk Riska Amelia, Muhammad Hafiz, dan Bintang G.M yang sudah membuat gue belajar untuk menerima kenyataan. Untuk Andhika Dwiantara Poetra yang nggak pernah memecat gue dari jabatan adiknya yang cengeng. Juga untuk Helsien A.M yang dengan berbesar hati membiarkan gue memilih jalan gue dan tetap berusaha menyelamatkan sisa-sisa harapan gue. Terima kasih untuk setiap orang yang telah membantu gue, meski tanpa kalian sadari.
            Dan yang paling utama terima kasih untuk Allah SWT yang tak pernah menyerah pada gue, yang selalu melindungi gue, dan selalu mengirimkan orang-orang berharga dalam hidup gue untuk mengajari gue arti dari kehidupan.
Gue nggak akan berjanji bahwa gue pasti berubah menjadi gadis yang lebih baik, karena gue pasti akan kembali mengacau, namun gue berjanji akan mencobanya. Gue akan berjuang dan nggak menyerah pada keadaan. Gue akan membuktikan bahwa masalah ini—yang benar-benar gue benci namun harus gue hadapi—akan membawa masa depan yang lebih baik untuk hidup gue.
Dan gue akan kembali percaya.

NB : Gue menulis ini untuk mengingatkan diri gue di kemudian hari ketika gue kembali mengacau dan ingin menyerah. Gue harus ingat bahwa seburuk apa pun masalah hingga keadaan tak memungkinkan untuk bertahan, selalu ada kesempatan dan jalan untuk kembali berjuang.

Hari Besar Islam, 25-10-13
Setelah merenung dan membaca ulang setiap kalimat motivasi

Juga setelah membaca direct message dari Helsien A.M

Jumat, 18 Oktober 2013

Talk about Pacific Rim

            Setelah berhari-hari hanyut dalam sosok Channing Tatum di The Vow, akhirnya gue memutuskan untuk menghatamkan satu film lain yang bertolak belakang dari film itu dan jatuhlah putusan gue pada Pacific Rim.
            Thanks to Fajar Prabowo, bagian Sumber Daya Perfilman gue, yang dengan baik hati selalu memberikan film dengan gambar berkualitas bagus dan kadang terlalu baik hati karena ngasih filmnya kebanyakan.
            Nah, talk about Pacific Rim, hal pertama yang membuat gue tertarik menonton film ini adalah karena film ini semacam bentuk manifestasi dari imajinasi gue semasa kanak-kanak dulu. Pertama kali gue dengar ide ceritanya melibatkan ‘Ranger’ dan ‘Robot Raksasa’, hal pertama pula yang melintas di pikiran gue adalah “Ini power rangers versi Hollywood!”. Meski sebenarnya setelah gue lihat, sama sekali tidak ada unsur Berubah-Menjadi-Power-Ranger-Penuh-Kibasan-Tangan-Dan-Gaya seperti yang gue bayangkan.
            For your information, gue ini penggila Power Rangers dan selalu berharap bahwa suatu hari nanti gue akan direkrut oleh suatu organisasi rahasia super-canggih demi menumpas para alien yang senangnya numpang eksis di tengah-tengah kota. Gue bahkan berharap bisa jadian dengan salah satu Ranger—mungkin Ranger merah yang ganteng dan berambut pirang madu—dan menjalankan kehidupan happily ever after, meski sebenarnya tidak ada film Power Ranger yang menayangkan cerita seperti itu. Tapi biar sajalah gue berkubang dalam imajinasi itu.
            Back to Pacific Rim, menurut gue film ini cukup bagus dan punya semacam ikatan batin yang bagus di antara para karakternya, khususnya dalam hubungan orangtua-anak. Gue sempat menitikkan air mata di bagian perpisahan Father-and-Son dan disitulah gue baru benar-benar bisa menghanyutkan diri gue sepenuhnya pada film. Karena di bagian-bagian awal, jujur saja gue sama sekali tidak mendapat kesan dan justru sibuk mengoceh dalam hati. Ada banyak hal yang menurut gue terlalu ‘aneh’ dan sumpah demi malaikatnya Jace Herondale, para monsternya film ini very-very-very ugly dan super-duper jorok kuadrat.
            But in the end, gue benar-benar suka film ini. Setelah mengesampingkan berbagai keanehan, dengan senang hati gue mengakui film ini cukup menegangkan dan membuat gue berpikir tentang pentingnya mendahulukan kepentingan umum, seperti jangan merokok ataupun ngorok di dalam angkot—abaikan saja.
            Satu poin penting yang menambah nilai film ini adalah tidak ada kontak fisik berlebihan antara aktor dan akrisnya, juga  karena pemeran utama prianya—entah siapa namanya—sooo hot and good looking, apalagi warna rambutnya itu loh u,u

Hari Ulang Tahun Aulia Khoirunnisa, 18-10-13
Setelah tidur tiga jam dengan perut sibuk
menggelar konser Rock


Kamis, 17 Oktober 2013

A Day with Normal Activity

Wuah, very tired! But honestly, I have a good day.
            Hari ini dimulai dengan sesi curhat bersama Gita Bernadus, the best parabatai in downworld, lalu mengikuti KBM seperti biasa. Ketika jam menunjukkan pukul dua belas lebih tiga puluh menit, “drama remaja sekolah” terjadi begitu saja dan gue memutuskan untuk pulang.
            Gue nggak akan membahas masalah drama nggak penting itu, karena sebagian hati gue dengan jelas mengatakan bahwa gue bereaksi berlebihan dan seharusnya gue bisa mencegah hal semacam itu. Tapi sudahlah, dramanya sudah tayang, jadi tidak bisa ditarik lagi.
            Demi menghibur kegalauan hati gue—juga dompet gue—Gita berbaik hati untuk traktir makan siang, jadilah kami melakukan Girl’s Day sepanjang hari. Nah, saat gue mau pulang, Diya Ardita—sahabat gue sejak SMP—datang menyapa dan akhirnya kami terdampar di salah satu stan minuman demi mengobrol dan mendengarkan dia mengoceh tentang gebetannya.
Gue sama sekali tidak keberatan mendengar semua itu—meski gue masih dalam masa re-cover—karena jauh dalam lubuk hati, gue tahu gue membutuhkan satu hari untuk benar-benar menjadi remaja normal, bukan hanya mengurung diri di dalam kamar dan mojok bersama laptop.
            Jadilah kami menghabiskan sore dengan tertawa dan saling mencela satu sama lain. Gue bahkan memberi beberapa saran untuk PDKT, meski sebenarnya gue sama sekali nggak berpengalaman. Tapi entah kenapa, rasanya jauh lebih mudah untuk menyelesaikan masalah orang lain dibanding masalah diri sendiri. Apa itu berhubungan dengan sudut pandang objektif yang hanya kita miliki saat menasihati orang lain?
            Kembali pada poin tentang remaja normal, gue pun sebenarnya nggak tahu apa definisi dari kata itu. Gue bahkan mulai membayangkan seperti apa remaja normal itu seharusnya. Di samping belajar di sekolah dan duduk membicarakan gebetan, gue sama sekali tidak tahu bagaimana remaja normal seharusnya bersikap supaya bisa menjadi remaja normal berkualitas dan bermutu tinggi.
            And the end of the day, I should said thank you so much, for everyone in my life who’s never give up on me. Terkadang gue bisa sangat menyebalkan juga menyusahkan, tapi gue benar-benar bersyukur karena Allah SWT masih membiarkan gue memiliki mereka dalam hidup gue yang berwarna kacau ini.

Hari Pakai Batik, 17-10-13
Setelah adegan bikin video clip di angkot 08
bersama lagu Time-Bomb versi akustik dari All Time Low


Rabu, 16 Oktober 2013

Something 'bout My Wish

Satu hal yang selalu gue lakukan demi menghalau kegalauan akut akibat single stadium akhir adalah menonton film roman. Ya-ya-ya gue tahu itu sesat, karena justru semakin membuat gue gigit jari dan kadang menggaruk layar laptop ketika melihat adegan-adegan manis melelehkan hati yang dilakoni oleh sang aktor bersama aktrisnya. Namun apalah daya, memang salah satu efek samping dari single adalah punya kelebihan hormon “manja bin alay” yang harus disalurkan demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang hidup di sekitar gue.
            Jadiiiii, sampailah gue pada keputusan untuk menonton film The Vow pada tengah malam buta dengan ditemani Chiara—boneka kelinci kesayangan gue yang sudah menyandang status jones selama tiga tahun.
Gue menonton film itu di laptop dengan headset baru warna pink, hadiah dari Mba Wati dan Om Luki weekend kemarin. Jangan tanya kenapa gue nulis itu, gue cuma mau nulis saja karena Aul pasti bakal cinta berat sama si pingky ini.
            Okay, enough for cuap-cuip not important and here we go for my comment about The Vow.
            Ada dua alasan yang melatar-belakangi gue untuk tertarik pada film tersebut. Satu, karena Channing Tatum pemainnya, yang mana menurut gue dia adalah pria keren bin hot yang sumpah haram banget buat diabaikan begitu saja. Dua, karena salah satu followers di twitter gue bilang bahwa kissing scene-nya itu sumthin’ banget. Jangan protes, karena rasa ingin tahu para remaja umumnya memang sedikit berbahaya dewasa ini, dan gue nggak mau bertindak muna dengan mencari alasan lain.
            Dan setelah satu jam empat puluh menit dua puluh satu detik, akhirnya gue merampungkan kegiatan menonton film itu dengan hati yang sepenuhnya termangu dalam bisu. Gue nggak akan me-review film itu, atau pun spoiler mengenai inti ceritanya, tapi gue akan mengatakan dua pelajaran penting yang gue dapat dari film itu.
            1. Maybe every single memories couldn’t be remembered, but the felt about it was always have a way to come back to your self, especially to your heart.
            2. Gue harus tetap bertahan dan tinggal dengan orang yang gue cintai karena semua kebaikan yang pernah dilakukannya, dan gue nggak bisa berdiri lalu pergi begitu saja hanya karena satu kesalahan besar yang sudah dilakukannya, tidak peduli sesakit apa pun itu.
            So, I just have a superbig faith, that someday—I don’t even know when, but just let me be a normal teenager—seseorang yang akan gue jadikan sebagai objek penyataan cinta akan menjaga gue dan berusaha sekuat hatinya untuk membahagiakan gue dan tetap bertahan dengan gue, even if I got really stupid accident and I was stuck in a simply like hell trouble.
            Gue berharap dia baik, sabar, penuh pengertian juga perhatian, bersedia diajak bergembel ria di setiap tempat aneh untuk menemani gue menulis, dan akan ikut berpartisipasi dalam setiap hal bodoh yang gue rencanakan.
Maybe I have to wish that he will be more handsome than Channing Tatum, Lee Min Ho, or Prince Stefan.

Satu Hari Setelah Lebaran Embe, 16-10-13
Juga setelah termehek-mehek karena keracunan The Vow
Dan ditantang Aulia Khoirunnisa supaya bisa dapat lunch gratisss

Menyukaimu dalam Satu Waktu di Hidupku

Pertama kali aku menyadari kehadirannya adalah ketika ia melangkah ke depan kelas untuk mengejakan namanya pada salah satu guru kami.
            Ia seorang pemuda unik dengan rambut yang selalu diacak-acak lalu dirapikan kembali.
            Bulan-bulan awal mengenalnya aku hanya mengetahui satu hal darinya; ia memiliki wangi tubuh seperti rumah lamaku. Ia membawa suasana itu dan tanpa sadar aku terpikat karenanya, nyaris seperti lebah yang pada akhirnya menemukan sarang madunya.
            Aku suka berbincang dengannya, sekadar melihatnya tertawa canggung dan menyebabkan kerutan di sudut matanya. Aku menyukainya, entah atas alasan apa, dan aku bahkan rela menutup segala kemungkinan cinta lain dalam hidupku hanya untuk mempertahankannya.
Yah mungkin karena aku memang ditakdirkan untuk menyukainya dalam satu waktu dalam hidupku, tanpa pernah bisa memilikinya dalam arti juga keadaan sesungguhnya.
            Aku membiarkannya menyentuh hatiku, lalu ia memilikinya tanpa pernah sekalipun mencoba untuk menjadikanku miliknya. Ya, benar, ia hanya tetap berdiri melakoni perannya sementara aku memberinya hatiku.
            Sungguh, bukan salahnya jika aku menyukainya dengan cara yang tidak akan pernah bisa dilakukannya untukku. Aku menyadari itu; kami tidak akan pernah ada dalam satu kata “kita”.
            Maka aku pun bermetamorfosa menjadi gadis lugu nan dungu yang membiarkan saja setiap keping hatinya hancur hanya untuk tetap bertahan di sisinya. Aku tetap berharap, dan semakin berharap, bahwa suatu hari nanti ia akan memberi kesempatan pada “kita” untuk membingkai hidupnya.
            Ia tidak pernah bermaksud untuk menyakitiku dan aku tahu itu. Sejak awal ia bahkan sudah memberitahuku bahwa tak kan pernah ada kesempatan bagiku untuk membuatnya mengubah prinsip itu. Namun aku hanya termangu, membeku dan tersenyum ragu. Meski dalam hati, aku benar-benar bertekad untuk mengabaikan peringatan itu dan tetap berusaha memperjuangkannya, memperjuangkan kami.
            Dan seperti hukum alam yang tak lagi bisa diingkari, tidak akan pernah ada kemenangan untuk suatu usaha yang hanya dilakukan oleh satu pihak. Begitu pula dengan kami; tak pernah ada akhir yang menandakan bahwa ia menyerah dan berbalik untuk memperjuangkanku. Ia tetap berdiri teguh mendekap prinsipnya dan rasa semu yang kami miliki hancur. Aku tak lagi mampu.
Dengan hati yang kuyakini tak kan sanggup untuk rekat kembali, aku berjalan pergi darinya. Tanpa pernah sekalipun mencoba melepasnya. Aku masih saja berpegang pada harapan bodoh bahwa suatu hari nanti, ia akan benar-benar memperjuangkanku. Aku memercayai ucapannya ketika ia mengatakan entah berapa ribu detik lagi, kami akan diberi kesempatan dan ketika kesempatan itu datang, maka tanpa ragu ia pun akan memperjuangkanku.
Namun hari ini, akhirnya aku menyadari satu hal yang sungguh telah jelas dan selalu kuabaikan, bahwa ia tak kan pernah cukup kuat untuk melakukannya. Ia tidak akan pernah sungguh-sungguh denganku. Dan aku melepasnya, dengan segenap hati yang telah rekat untuk kembali memperjuangkan cinta lain yang lebih berharga.
Ada begitu banyak kenangan manis yang tak mampu kuusir bayangnya, bahkan setelah aku memutuskan untuk melepasnya. Ada begitu banyak tanya yang tak mampu kujawab, bahkan setelah aku tahu ia tak cukup baik bagiku. Dan ada begitu banyak kata “seandainya”, bahkan setelah aku tahu ia telah memiliki dan dimiliki oleh sebentuk hati yang lain. Hati yang tidak menerakan namaku padanya.
            Namun masa itu telah terlewati. Saat aku berdiri dan melihatnya kembali, aku tahu perasaan itu sudah meninggalkanku bersamaan dengan keputusannya untuk memiliki hati yang lain. Kini aku dapat tersenyum, dan bahkan mampu berharap bahwa suatu hari nanti aku akan seberuntung dirinya untuk menemukan pendamping sesungguhnya yang akan memperjuangkanku, tidak peduli prinsip apa yang dimilikinya.
            Karena aku percaya ketika kita mencintai seseorang begitu rupa, kita akan melupakan asal-usul, mengabaikan setiap peringatan, dan memperjuangkannya hanya demi melihatnya tersenyum. Itulah yang aku percayai, dan aku sungguh berharap ketika cinta seperti itu datang padaku, maka tak ada lagi perjuangan satu pihak.
            Yah mungkin karena aku ditakdirkan untuk menyukainya dalam satu waktu dalam hidupku, hanya untuk mempelajari bahwa aku harus kembali menunggu seseorang yang sungguh akan memberikan segalanya untukku, tanpa pernah aku meminta atau pun memperjuangkannya.

Pagi yang Cerah dengan Hati Berselimut Kabut, 16-10-13
Setelah membaca bio twitter seseorang

ditemani lagu Last Kiss