Jumat, 18 Oktober 2013

Talk about Pacific Rim

            Setelah berhari-hari hanyut dalam sosok Channing Tatum di The Vow, akhirnya gue memutuskan untuk menghatamkan satu film lain yang bertolak belakang dari film itu dan jatuhlah putusan gue pada Pacific Rim.
            Thanks to Fajar Prabowo, bagian Sumber Daya Perfilman gue, yang dengan baik hati selalu memberikan film dengan gambar berkualitas bagus dan kadang terlalu baik hati karena ngasih filmnya kebanyakan.
            Nah, talk about Pacific Rim, hal pertama yang membuat gue tertarik menonton film ini adalah karena film ini semacam bentuk manifestasi dari imajinasi gue semasa kanak-kanak dulu. Pertama kali gue dengar ide ceritanya melibatkan ‘Ranger’ dan ‘Robot Raksasa’, hal pertama pula yang melintas di pikiran gue adalah “Ini power rangers versi Hollywood!”. Meski sebenarnya setelah gue lihat, sama sekali tidak ada unsur Berubah-Menjadi-Power-Ranger-Penuh-Kibasan-Tangan-Dan-Gaya seperti yang gue bayangkan.
            For your information, gue ini penggila Power Rangers dan selalu berharap bahwa suatu hari nanti gue akan direkrut oleh suatu organisasi rahasia super-canggih demi menumpas para alien yang senangnya numpang eksis di tengah-tengah kota. Gue bahkan berharap bisa jadian dengan salah satu Ranger—mungkin Ranger merah yang ganteng dan berambut pirang madu—dan menjalankan kehidupan happily ever after, meski sebenarnya tidak ada film Power Ranger yang menayangkan cerita seperti itu. Tapi biar sajalah gue berkubang dalam imajinasi itu.
            Back to Pacific Rim, menurut gue film ini cukup bagus dan punya semacam ikatan batin yang bagus di antara para karakternya, khususnya dalam hubungan orangtua-anak. Gue sempat menitikkan air mata di bagian perpisahan Father-and-Son dan disitulah gue baru benar-benar bisa menghanyutkan diri gue sepenuhnya pada film. Karena di bagian-bagian awal, jujur saja gue sama sekali tidak mendapat kesan dan justru sibuk mengoceh dalam hati. Ada banyak hal yang menurut gue terlalu ‘aneh’ dan sumpah demi malaikatnya Jace Herondale, para monsternya film ini very-very-very ugly dan super-duper jorok kuadrat.
            But in the end, gue benar-benar suka film ini. Setelah mengesampingkan berbagai keanehan, dengan senang hati gue mengakui film ini cukup menegangkan dan membuat gue berpikir tentang pentingnya mendahulukan kepentingan umum, seperti jangan merokok ataupun ngorok di dalam angkot—abaikan saja.
            Satu poin penting yang menambah nilai film ini adalah tidak ada kontak fisik berlebihan antara aktor dan akrisnya, juga  karena pemeran utama prianya—entah siapa namanya—sooo hot and good looking, apalagi warna rambutnya itu loh u,u

Hari Ulang Tahun Aulia Khoirunnisa, 18-10-13
Setelah tidur tiga jam dengan perut sibuk
menggelar konser Rock


3 komentar:

  1. Euy... udah mlai aktip lagi nih yaaa ^^ blog yg lama apa baru niyh?? Qt feedback2an yuukkk aq jga ada blog... tapi blom dibenahin...

    *liz

    BalasHapus
    Balasan
    1. ohoho ini yg baru, yg lama udah wassalam mba :D hehehe iyasippp~

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus